Isra Mikraj merupakan peristiwa masyhur di telinga umat Islam. Pengajian-pengajian akbar sering diadakan demi memperingati peristiwa mulia ini. Dalam peristiwa ini, Nabi mengadakan perjalanan yang luar biasa dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha dan berakhir di Sidratul Muntaha untuk menerima wahyu shalat dari Allah.
Peristiwa Isra Mikraj merupakan anugerah bagi Nabi. Kepergian dua Siti Khadijah dan Abu Thalib yang kerap melindungi Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam betul-betul menjadi pukulan tersendiri bagi Nabi. Allah lantas menghibur Nabi dengan mengundangnya secara langsung untuk bertemu dengan-Nya dhahiran wa bathinan.
Selain sebagai anugerah, peristiwa ini juga menjadi ujian bagi Nabi. Sebab setelah sampai di Mekah, Nabi menceritakan perihal peristiwa yang dialami kepada orang-orang. Mendengar cerita Nabi, mereka terpecah. Ada yang percaya dan tidak percaya. Bahkan dari kalangan orang-orang mukmin sendiri.
Sebagian dari mereka mendatangi Abu Bakar dan menceritakan apa yang disampaikan Nabi. Abu Bakar lantas menjawab, “Jika dia benar mengatakan yang demikian, sungguh dia telah mengatakan yang sebenarnya.”
Baca juga: Asal Usul Nama Abu Bakar Ash-Shiddiq
Mereka kaget dan merasa heran karena cerita yang mereka anggap janggal justru membuat Abu Bakar percaya. Abu Bakar seraya melanjutkan jawabannya, “Apa yang membuat kalian heran? Saya percaya padanya ketika dia mengatakan sesuatu yang bahkan lebih tidak bisa dipahami oleh akal. Dulu saat dia bilang bahwa dia menerima wahyu dari Allah, saya percaya padanya.”
Abu Bakar kemudian pergi menuju tempat berkumpulnya orang-orang dengan Nabi. Mereka mengutarakan ketidakkepercayaan pada perkataan Nabi. Abu Bakar lantas bertanya kepada Nabi, apakah dia membuat pernyataan bahwa dia telah melakukan perjalanan ke Masjidil Aqsha Yerussalem dan kembali pada malam yang sama. Nabi lantas mengiyakan.
Sahabat setia Nabi ini lantas memberikan penegasan, “Saya percaya pada anda. Anda selalu mengatakan yang sebenarnya.”
Kemudian Abu Bakar meminta Nabi untuk menggambarkan keadaan Masjidil Aqsha. Sesaat setelah Nabi menyelesaikan uraiannya, Abu Bakar mengulangi lagi jawabannya, “Saya percaya pada anda. Anda selalu mengatakan yang sebenarnya.”
Nabi bahagia dan senang mendengar jawaban dari Abu Bakar sehingga diberilah gelar As-Shiddiq. Gelar yang disematkan kepada sahabat sejati yang menjadi bukti pengakuan Nabi terhadap Abu Bakar. Inilah gelar yang digunakan Abu Bakar dan senantiasa dipertahankan selama sisa hidupnya. Gelar yang kita dengar melalui telinga kita. Dan kita pun mengakui gelar mulia itu.
Tidak ada kemuliaan tanpa penderitaan. Tidak ada kenikmatan hidup kecuali setelah bersusah payah. Tidak ada gelar kecuali dengan ujian atau cobaan. Begitupun yang pernah terjadi kepada Abu Bakar.
Makna Sahabat antara Nabi dan Abu Bakar
Nabi dan Abu Bakar telah lama menjalin persahabatan. Bahkan sebelum turunnya wahyu. Umur dan kekayaan tidak menjadi penghalang mereka dalam menjalin persahabatan. Dalam umur, Nabi lebih tua 2 tahun dibandingkan Abu Bakar. Namun dalam harta, keluarga Abu Bakar lebih berkecukupan dibandingkan Nabi. Konon mereka pernah melakukan perjalanan bersama untuk berdagang.
Persahabatan mereka semakin kokoh setelah Nabi menerima wahyu. Mendengar sang sahabat mengaku sebagai Rasulullah, Abu Bakar segera mendatangi rumahnya selepas pulang dari Yaman karena urusan bisnis. Setelah berbincang, tanpa pikir panjang Abu Bakar langsung mengimani atas apa yang datang kepada Muhammad di gua Hira.
Keislaman Abu Bakar menjadi momentum baru dalam sejarah Islam. Sebab persahabatan mereka berawal di masa jahiliyyah berlanjut di masa Islam. Bahkan persahabatan keduanya menjadi tonggak tersebarnya Islam di tanah suci Mekah.
Penyebaran Islam semakin intensif di tangan keduanya. Mereka memulai dakwah Islam di kalangan keluarga, kolega bahkan orang-orang yang tidak mereka kenal. Perjuangannya membuahkan hasil. Nama-nama tenar seperti Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidhillah, Sa’aad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin Auf adalah sederet sahabat yang diislamkan Abu Bakar. Pengikut Islampun semakin banyak.
Baca juga: Empat Nasihat Abu Bakar agar Hidup Bernilai Ibadah
Puncak persahabatan mereka tertulis dalam tinta sejarah Islam yaitu saat mereka melakukan hijrah ke Madinah. Mereka mencari jalan lain menuju Madinah karena dikejar segerombolan pemuda yang diutus para pemimpin kafir untuk menghabisi nyawa Nabi. Mereka bersembunyi di Gua Tsur. Allah lantas menyelamatkan mereka dari kejaran orang-orang kafir.
Saat mereka bersembunyi, banyak lubang ular di dalamnya. Abu Bakar menggunakan segala upaya untuk menutupi lubang-lubang itu. Sampai akhirnya tersisa satu lubang. Tidak ada jalan lain kecuali dengan tangannya. Walhasil tangan Abu Bakar kegigit ular. Namun dengan mu’jizatnya, dengan izin Allah, Nabi dapat menyembuhkan gigitan ular di tangan Abu Bakar hingga sembuh.
Setelah hijrah ke Madinah, jumlah umat Islam semakin banyak. Abu Bakar masih setia menemani Nabi. Ia tidak pernah ketinggalan mengikuti perang dengan senantiasa membersamai Nabi. Begitupula semua wahyu yang diturunkan kepada Nabi, ia hafal dan tahu dengan rinci.
Abu Bakar tidak pernah meninggalkan Nabi. Begitupun sebaliknya. Dalam keimanan, mereka saling support untuk menegakkan agama Allah. Bahkan sesaat Nabi menjelang wafat, yang dipilih untuk menggantikannya menjadi imam shalat adalah Abu Bakar. Yang akhirnya, penunjukkan ini menjadi penanda bagi para sahabat saat itu bahwa Abu Bakarlah yang pantas menjadi khalifah sepeninggal Nabi.
Sungguh luar biasa perjalanan Nabi dan Abu Bakar dalam menjalin persahabatan. Mereka telah menorehkan tinta persahabatan dari yang sebatas ukhuwwah insâniyyah menuju ukhuwwah islamiyyah. Mereka saling percaya atas apa yang terjadi. Abu Bakar percaya kepada Nabi dengan sepenuh walaupun saat risalah Islam baru saja diterima Nabi. Ia terus mensupport Nabi dengan segala yang dimilikinya.
Nabi juga demikian, percaya kepada Abu Bakar dengan sepenuhnya. Banyak para pembesar dari kalangan sahabat yang beriman karena Abu Bakar. Bahkan di akhir hayat, Nabi mengisyaratkan untuk menyerahkan urusan umat Islam kepada Abu Bakar. Sungguh makna persahabatan yang mulia. Apalagi jika di kalangan umat Islam menjadikan dua sahabat ini sebagai teladan dalam merekatkan tali persahabatan. Wallâhu a’lam.