Shalawat
bagi kaum sufi setara dengan zikir lainnya. Bahkan dalam tataran yang lebih
ekstrem “shalawat bisa menempati syeikh bagi yang belum menemukannya”.
Di akhir zaman, shalawat dianggap bisa
menyampaikan seorang salik menuju tangga makrifat ala para sufi. Sebab Rasulullah
saw. adalah pintunya.
Sehingga membaca shalawat atas Rasul adalah upaya mengetuk pintu itu.
Shalawat juga menjamin keterjalinan
hati dengan sang Rasul sebagai wasilah (perantara) menuju Allah swt. Imam al-Junaid, pimpinan kaum sufi,
sudah menegaskan,
“Semua pintu tertutup
kecuali mengikuti Rasulullah saw.”
Jadi jalan yang benar, dalam perspektif kaum sufi, adalah melalui pintu Rasulullah
saw.
Ibnu
Ajibah dalam salah satu karyanya, Al-Futuhat al-Ilahiyah, membagi tiga
tingkatan shalawat:
Pertama,
adalah orang yang membacanya atas fisik dan bentuk
Rasulullah saw.
Kelompok ini disebut dengan ahli burhan (argumentasi-dalil). Saat
membacanya dia membayangkan rupa fisik Rasul yang sempurna.
Semakin intens proses semacam ini maka
akan meneguhkan imajinasi kehadiran Rasulullah dalam hatinya. Saat itulah kemungkinan
bermimpi Rasulullah akan semakin besar. Dan barangkali Rasulullah akan
menampakkan diri hingga melihatnya secara nyata (dalam keadaan terjaga, bukan
mimpi).
“Barang siapa yang melihatku dalam
mimpi, maka [akan meningkat] melihatku secara terjaga. Sesungguhnya setan tak
bisa menyerupaiku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) adalah hadis
yang menegaskan kemungkinan di atas. Ini yang diyakini kalangan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah.
Bermimpi atau melihat Nabi saw. secara terjaga
adalah anugerah. Tak semua orang mendapatkannya; orang alim belum tentu
mendapatkan hadiah semacam itu. Sebaliknya, orang awam yang shaleh dan selalu
meningkatkan ikatan hatinya dengan Rasulullah, menambah perasaan cinta padanya,
menambah intensitas shalawat atasnya, akan dengan mudah mendapatkannya. Bahkan
dalam keyakinan kaum sufi, bermimpi Rasulullah adalah permulaan kewalian.
Bagaimana dengan orang non muslim yang
bermimpi Rasulullah saw.?
Biasanya orang tersebut dikehendaki kebaikan dan tak lama akan mengkonversi
diri masuk Islam.
Cerita semacam ini terjadi berulang kali.
Ada kisah unik dalam Sa’adatut
Darain karya An-Nabhani: ada seseorang bermimpi Rasulullah saw. dalam tampilan yang
(maaf) buruk rupa. Bahkan seorang tersebut, dalam mimpinya, berani menampar wajah
sang Nabi.
Saat terbangun dari tidurnya, dia
gelisah dan akhirnya meminta takwil mimpi pada orang alim di desanya. Si alim
menyatakan,
“Yang kamu lihat adalah
Rasulullah berdasarkan hadis. Adapun penampilan Rasulullah saw. yang buruk rupa itu
harus dikembalikan pada kelakuanmu. Apa kamu pernah melanggar syariat Rasul?”
Si pemimpi berpikir keras, mencoba menginstropeksi
diri. Akhirnya dia menjawab “Iya,
saya sedang melanggar syariatnya. Saya menggauli istri yang telah diceraikan
tanpa menyatakan rujuk
(kembali).”
“Itulah takwil mimpimu: kamu telah
berzina karena belum rujuk sudah
menggauli istrimu,”
tutup sang alim.
Intinya, bermimpi Rasulullah saw. adalah anugerah, kebaikan,
dan bahkan permulaan kewalian. Dalam wujud apapun pasti Rasulullah, bukan
setan, sebab ada jaminan dari hadis. Hanya saja perlu takwil mimpi tatkala
Rasulullah tampil dalam wujud yang tidak sesuai dalam deskripsi sirah (sejarah
Rasulullah saw).
Kedua, menurut
Ibnu Ajibah, adalah orang yang membaca shalawat atas ruhaniyah Nabi saw. Mereka adalah ahli syuhud
(persaksian) dari kalangan sufi. Membaca shalawat atas pancaran cahaya
Rasulullah dari alam Jabarut. Mereka menyaksikan Rasulullah saw. sepanjang waktu, meski
terkadang masih lalai dari kehadirannya.
Ketiga, adalah
mereka yang membaca shalawat atas ruh asli Rasulullah saw. sebagai cahaya di
atas cahaya. Mereka adalah ahli tamkin wa rusukh (mantap dalam
suluknya-wushul). Sehingga pandangannya pada Rasulullah saw. tak pernah luput sedikit pun. Keseharian dan
waktunya diliputi oleh kehadiran beliau.
Maqam kesufian semacam inilah yang
merefleksikan ucapan Abu Al-Abbas Al-Mursi, murid kinasih Imam
Asy-Syazuli, “Seandainya Rasulullah absen sekejap saja dari pandanganku, maka
saya menganggap diri saya bukan bagian dari kaum muslimin (alias kafir).” Sebuah
ungkapan metaforis betapa mantapnya kelompok ini di hadrat Rasulullah
sebagai wasilah Allah. Pikiran mereka
bertamasya di alam malakut, dan ruh mereka bersatu di alam Jabarut.
Keterangan:
alam mulki adalah yang bisa diindera, malakut adalah yang tak
bisa diindera=gaib, jabarut adalah alam antara Allah dan makhluk–Nya.