Senin, 20 Oktober 2025, barangkali akan terukir sebagai satu momen bersejarah di Masjid Istiqlal Jakarta. Hari itu menyaksikan pertemuan agung antara dua samudra ilmu: Habib Umar bin Hafidz Tarim, Yaman dengan Sayyid Abdul Aziz al-Syahawi al-Huseini Mesir. Pertemuan keduanya bukan sekadar agenda ulama. Ia adalah perjumpaan dua arus besar tradisi Islam — Tarim dan Al-Azhar — dua mercusuar yang selama berabad-abad menjaga cahaya ilmu, adab, dan kemanusiaan.
Di Mesir atau Yaman, pertemuan dua madrasah ini mungkin bukan hal istimewa. Tapi di Indonesia, ia adalah peristiwa langka — satu lintasan sejarah yang mempertemukan dua arus besar peradaban Islam dalam satu ruang.
Indonesia, dengan seluruh dinamika sosial dan tradisinya, kini menjadi saksi bahwa sanad ilmu tidak pernah benar-benar terputus. Ia mengalir, melampaui batas negara, bahasa, bahkan waktu.
Pertemuan Habib Umar dan Syekh Abdul Aziz bukan hanya momen seremonial, tapi isyarat bahwa dua warisan besar — warisan ilmu dan cinta — telah bersatu di bumi yang jauh dari asalnya, namun tetap dalam orbit yang sama: orbit sunnah, adab, dan sanad.
Keduanya sama-sama tidak lahir dari universitas modern. Keduanya adalah ‘anak-anak’ dari perjalanan ilmu: menapaki tangga ilmu dari masjid ke masjid, dari satu guru ke guru lain, dari satu kitab ke kitab berikutnya. Dalam diri mereka berdua, ada representasi dari dua madrasah besar Islam— Tarim dengan tradisi sanadnya yang hidup, dan Al-Azhar dengan sistem transmisi ilmu yang dialektik.
Lebih dalam dari itu, keduanya juga bertemu dalam nasab. Habib Umar berasal dari keluarga Alawiyyin, keturunan Imam Ali Uraidhi bin Ja‘far al-Shadiq melalui jalur Sayyidina Husain. Sementara Syekh Abdul Aziz al-Syahawi berasal dari keluarga al-Syahawi, keturunan Imam Musa al-Kadzim bin Ja‘far al-Shadiq. Dua jalur nasab itu bertemu pada satu mata air kemuliaan — Imam Ja‘far al-Shadiq bin Imam Muhammad Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Imam Ali bin Abi Thalib, pewaris ilmu dan cahaya Nabi.
Dua Jalur Sanad, Satu Sumber Ilmu
Habib Umar bin Hafidz adalah salah satu figur sentral dalam jaringan keilmuan Ahlussunnah wal Jama‘ah, khususnya di Tarim, Hadramaut. Dalam bidang fikih Mazhab Syafi‘i, sanad keilmuannya bersambung secara utuh hingga Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘i (w. 204 H). Jalur itu dimulai dari ayahnya, al-Mufti Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz (w. 1392 H / 1972 M), ulama besar Tarim yang menjadi guru pertamanya dalam Al-Qur’an, hadis, dan fikih.
Dari ayahnya, sanad keilmuan itu mengalir melalui para ulama besar Hadramaut seperti Habib Ali al-Habsyi (w. 1333 H), Habib Abdullah bin Husein bin Thahir (w. 1272 H), dan Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (w. 1132 H) — para penjaga dan pengembang Mazhab Syafi‘i di selatan Jazirah Arab. Dari Hadramaut, jalur ini menembus abad-abad sebelumnya hingga sampai pada Syekh Abu Bakar bin Salim (w. 992 H) dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H / 1566 M), yang menjadi simpul utama transmisi ilmu Syafi‘iyyah di Haramain kala itu. Dari sinilah, tradisi fikih Syafi‘i kemudian dibawa ke Yaman oleh para ulama Hadramaut dan bersemi di Tarim — menjadi mata air ilmu dan akhlak yang menumbuhkan generasi demi generasi hingga kini.
Sementara itu, Syekh Abdul Aziz al-Syahawi (lahir 1947 M) merupakan pewaris sanad keilmuan yang tumbuh di lingkungan Al-Azhar, Mesir. Jalur keilmuannya berawal dari ayahandanya Syekh Abdul Hamid al-Syahawi dari kakeknya Syekh Abdul Majid al-Syahawi yang bermuara kepada Grand Syekh Al-Azhar abad ke-19 seperti Imam Ibrahim al-Bajuri (w. 1277 H) dan Imam Abdullah al-Syarqawi (w. 1227 H), yang meneruskan mata rantai keilmuan dari Syekh ‘Athiyah al-Ajhuri (w. 1190 H), Syekh Muhammad al-Bisybisyi (w. 1170 H), dan Imam Sulthan al-Mazahi (w. 1075 H).
Mereka semua mengambil dari Nuruddin Ali al-Ziyadi (w. 1024 H), murid dari Imam Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H) — penerus langsung Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, sang mufti besar Mesir pada abad ke-10 Hijriah. Dari Zakariya al-Anshari inilah, sanad tersebut mengalir hingga kepada Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Imam al-Nawawi (w. 676 H), Imam al-Rafi‘i (w. 623 H), Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H), dan Imam al-Muzani (w. 264 H) — murid langsung Imam al-Syafi‘i.
Dengan demikian, dua sungai besar keilmuan ini — sungai Hadramaut yang mengalir menuju Habib Umar bin Hafidz, dan sungai Mesir yang bermuara pada Syekh Abdul Aziz al-Syahawi — sejatinya bersumber dari satu mata air yang sama, yaitu Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘i, pendiri mazhab yang menggabungkan ketajaman rasionalitas Irak dan kesucian tradisi Madinah.
Dalam lintasan panjang sejarah keilmuan Islam, sanad bukan sekadar deretan nama, melainkan denyut kehidupan ilmu yang berpindah dari hati ke hati, dari guru ke murid. Di antara keindahan yang jarang disadari ialah bahwa dua samudra besar ilmu — Mesir dan Hadramaut — bertemu di satu titik cahaya: Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, yang menjadi simpul penghubung antara dua dunia; dunia azhari yang rasional dan dunia hadrami yang ruhani.
Dari Mesir, ilmu itu mengalir ke Al-Azhar; dari Hadramaut, ia berhembus ke Dar al-Musthafa. Dari al-Haitami ke Habib Umar, dari al-Ramli ke Syekh Syahawi. Dua arus yang berbeda jalur, tetapi berjumpa pada satu lautan makna — bahwa ilmu yang hidup bukanlah yang hanya dibaca, melainkan yang diwariskan dengan adab, ketulusan, dan cinta.
Dua Jalan Ilmu: Rasionalitas dan Dzauq
Secara umum yang aku lihat, meski bersumber dari mata air yang sama, jalan yang ditempuh dua arus keilmuan ini — Mesir dan Tarim — berbeda dalam napas dan cara pandang terhadap ilmu. Di Mesir, ilmu dipelihara dalam struktur akademik yang rapi. Al-Azhar menjadi rumah besar bagi nalar Islam; di sana, tradisi keilmuan tumbuh melalui perdebatan, penalaran, dan argumentasi hukum. Ulama Mesir menekankan pentingnya istidlāl dan ta‘līl — menggali sebab, menguji dalil, menimbang logika dari berbagai pandangan. Ilmu di sana dibentuk untuk melahirkan keluasan cara berpikir, keberanian dalam berpendapat, dan ketajaman dalam menimbang perbedaan.
Sementara di Tarim, ilmu tidak dibangun di atas logika debat, melainkan di atas dzauq dan adab. Para masyayikh Hadramaut menanamkan bahwa ilmu bukan hanya apa yang dipahami oleh akal, tapi apa yang menundukkan hati. Murid tidak diajak berdebat, melainkan dilatih untuk merasakan kehadiran Allah di setiap hukum dan pengetahuan. Di sana, proses belajar adalah perjalanan batin: mendengar, menghayati, dan membersihkan niat sebelum memahami makna.
Struktur Al-Azhar membentuk keilmuan yang horizontal dan terbuka, di mana murid bisa bersentuhan dengan beragam disiplin — dari fikih hingga filsafat, dari tafsir hingga ilmu sosial. Sementara Tarim bersifat vertikal dan sanadik; keilmuan dijaga dalam rantai transmisi yang penuh keheningan dan penghormatan, tanpa banyak intervensi dunia modern.
Dari dua tradisi ini lahir dua wajah Islam yang sama-sama indah: wajah Al-Azhar dengan keberanian rasional dan keluasan wacana,serta wajah Tarim dengan kelembutan adab dan kedalaman ruhani. Di Al-Azhar, ilmu tumbuh lewat pena dan perdebatan. Di Tarim, ilmu bersemi lewat adab dan doa. Dan dua-duanya, seperti siang dan malam, saling melengkapi — menjaga agar cahaya Islam tak pernah padam.
Titik Temu: Zakariya al-Anshari, Sang Jembatan Zaman
Pada abad ke-15, dunia Islam menyaksikan satu figur kunci yang menjadi muara dari banyak sanad ilmu: Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari. Beliau adalah jembatan antara ulama klasik dan modern, antara Timur dan Barat dunia Islam, antara formalitas ilmu dan ruh tasawuf.
Dari beliau, lahir dua aliran besar keilmuan: Aliran Nil, yang melahirkan ar-Ramli dan al-Bajuri, lalu berkembang di Mesir hingga ke tangan Syekh Abdul Aziz al-Syahawi. Aliran Hadramaut, yang mengalir melalui Ibnu Hajar al-Haitami dan menembus Haramain, lalu dibawa pulang oleh ulama Hadramaut hingga sampai ke Habib Umar bin Hafidz.
Maka, jika kita membaca sanad kedua ulama ini, kita akan menemukan pertemuan spiritual pada satu poros: Zakariya al-Anshari. Dari beliaulah, dua samudra ilmu ini berpisah untuk mengairi dua tanah yang berbeda, lalu bertemu kembali di abad ke-21 di Jakarta — dalam satu majelis, satu sujud, dan satu cinta kepada Nabi.
Bahasa yang Hidup, Warisan yang Bernapas
Baik Habib Umar maupun Syekh Abdul Aziz bukanlah cendekiawan dalam arti akademik modern. Mereka tidak berbicara dengan bahasa metodologi dan data, melainkan dengan bahasa hati. Tapi justru di situlah letak kekuatan mereka: ilmu yang diajarkan bukan sekadar teks, melainkan pengalaman yang dihidupi.
Pendekatan mereka normatif, tapi tidak kering. Mereka menghidupkan syariat dengan ruh tasawuf. Dalam kalimat mereka, hukum menjadi jalan, bukan beban. Dalam pandangan mereka, cinta kepada Nabi bukan sekadar emosi, tapi disiplin spiritual. Dan barangkali di titik inilah, kita mengerti: bahwa ilmu tidak hanya diwariskan lewat tulisan, tapi juga melalui kehadiran.
Kita hidup di masa ketika ilmu sering terputus dari ruhnya. Tapi di hadapan dua ulama ini, kita melihat bagaimana ilmu tetap hidup — karena ia diteruskan dengan cinta, dijaga dengan adab, dan diajarkan dengan niat yang suci. Maka, pertemuan 20 Oktober 2025 di Masjid Istiqlal ini bukan sekadar temu dua ulama, tapi penyambungan dua cahaya sejarah. Dan tugas kita kini adalah memastikan bahwa cahaya itu tidak berhenti di satu waktu, tapi terus menuntun zaman.
Pertemuan Sanad Syekh Abdul Aziz Asy-Syahawi dan Habib Umar bin Hafizh
| Jalur Mesir (Menuju Syekh Syahawi) | Jalur Hadramaut (Menuju Habib Umar) |
| Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari (w. 926 H) | Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari (w. 926 H) |
| ↓ Mengambil dari beliau (dan ayahnya): | ↓ Mengambil dari beliau: |
| Imam Syamsuddin ar-Ramli (w. 1004 H) – Pilar Mesir | Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) – Pilar Haramain |
| ↓ Diambil oleh: | ↓ Ilmu beliau dibawa ke Hadramaut oleh: |
| Nuruddin Ali az-Ziyadi (w. 1024 H) | Syaikh Abu Bakar bin Salim (w. 992 H) |
| ↓ Diambil oleh: | ↓ Diambil oleh putranya, lalu oleh: |
| Imam Sulthan al-Mazahi (w. 1075 H) | Habib Abdurrahman bin Aqil Atthos (w. 1070 H) |
| ↓ Diambil oleh: | ↓ Diambil oleh: |
| Syekh Muhammad al-Bisybisyi (w. 1170 H) | Habib Aqil bin Abdurrahman As-Saqqaf (w. 1099 H) |
| ↓ Diambil oleh: | ↓ Diambil oleh: |
| Syekh ‘Athiyah al-Ajhuri (w. 1190 H) | Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad (w. 1132 H) |
| ↓ Diambil oleh Syekh al-Azhar: | ↓ Diambil oleh murid-muridnya, lalu oleh: |
| Imam Abdullah asy-Syarqawi (w. 1227 H) | Habib Abdurrahman bin Abdullah Balfaqih (w. 1217 H) |
| ↓ Diambil oleh Syekh al-Azhar: | ↓ Diambil oleh: |
| Imam Ibrahim al-Bajuri (w. 1277 H) | Habib Abdullah bin Husein bin Thahir (w. 1272 H) |
| ↓ Diambil oleh Syekh al-Azhar: | ↓ Diambil oleh: |
| Imam Ibrahim as-Saqqa (w. 1300 H) | Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (w. 1333 H) |
| ↓ Diambil oleh: | ↓ Diambil oleh: |
| Syekh Abdul Majid al-Syahawi (kakek Syekh Abdul Aziz) | Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab (w. 1386 H) |
| ↓ Diambil oleh: | ↓ Diambil oleh: |
| Syekh Abdul Hamid al-Syahawi (ayah Syekh Abdul Aziz) | Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz (w. 1392 H) |
| ↓ Diambil oleh: | ↓ Diambil oleh putranya: |
| Syekh Abdul Aziz al-Syahawi (Lahir 1947 M) | Habib Umar bin Hafidz (Lahir 1963 M) |















Please login to comment