Pon Pes Nurul Azhar, Riau pada hari Rabu, 5 Februari 2025 mengadakan acara talaqqi (pengajian tatap muka) bersama Maulana Syekh Abdul Aziz Asy-Syahawi, seorang guru besar mazhab syafii di masjid Al-Azhar, Mesir. Acara ini merupakan agenda pertama Syekh Abdul Aziz di Riau. Acara yang diselenggarakan Pon Pes Nurul Azhar tersebut dihadiri oleh banyak murid beliau ketika di Al-Azhar.
Pada kesempatan tersebut, Syekh Abdul Aziz Asy-Syahawi berkenan membacakan kitab Abu Syuja, yakni sebuah matn (ringkasan) kecil tentang fikih mazhab syafii. Kitab ini merupakan kitab yang banyak diajarkan di pondok-pondok Indonesia untuk pelajar pemula. Pada pembacaan kitab itu Syekh Abdul Aziz menjelaskan Bab Nikah.
Ada beberapa catatan yang beliau sampaikan tentang permasalahan nikah dari pengajian tersebut. Beberapa catatan merupakan maklumat yang sering beliau sampaikan berulang kali dalam pengajiannya di Mesir. Meski demikian catatan-catatan tersebut merupakan catatan yang sangat penting untuk diingat mengingat rujukan yang diambil oleh Syekh Abdul aziz adalah kitab fikih syafii yang berada dalam level tinggi.
Diantara yang beliau sampaikan adalah berkaitan dengan ‘adalah (integritas) seorang saksi nikah. ‘Adalah pada dasarnya ada dua macam: yang tidak terlihat (bathinah) dan yang terlihat (dzahirah). Integritas yang terlihat adalah segala perbuatan seseorang yang dapat teramati secara umum, seperti orang yang suka berjamaah, dan sebagainya.
Sementara integritas yang tak terihat adalah sebaliknya, begitulah hematnya. Syekh Abdul Aziz melanjutkan bahwa Umar bin khatab meletakkan tiga hal prinsipil untuk mengukur integritas tak terlihat: pertama, bertetangga, kedua, kebersamaan, ketiga, banyaknya interaksi sosial. Tiga hal ini disimpulkan dari sebuah cerita ketika Umar bin Khattab dihadapkan dengan masalah kehakiman. Oleh karenanya, beliau melanjutkan, seorang hakim tidak cukup mengandalkan integritas terlihat dari saksi ia juga harus mengetahui integritas tak terlihat seorang saksi.
Tiga hal dasar di atas memiliki landasan logis. Seseorang yang bertetangga akan mengetahui sedikit banyak karakter tetangganya, sementara orang yang selalu membersamai orang lain dalam banyak momen memiliki dokumen kuat yang berisi tentang ahlak orang yang ditemaninya, demikian halnya dengan orang yang sering berinteraksi social dengan orang lain akan memahami karakter orang yang diajak interaksi. Tiga hal dasr ini menjadi urgensitas sendiri dalam membentuk integritas tertutup seseorang.
Beliau menambahkan bahwa integritas tertutup sejatinya seing dikaji dalam ilmu jarh wa ta’dil. Namun, dalam masalah saksi nikah integritas tertutup tidak terlalu dibutuhkan. Sebab, apabila integritas saksi nikah disyaratkan harus integritas terbuka dan integritas tertutup juga akan banyak pernikahan yang gugur. Sementara dalam wilayah kehakiman seorang saksi disyaratkan harus memiliki integritas tertutup juga di sampingg integritas terbuka, dan seorang hakim harus menggetahui kedua integraitas tersebut di dalam diri seorang saksi. Sebab, persaksian dalam wilayah hakim berkaitan dengan pidana sehingga tidak boleh gegabah, harus dibangun dengan dasar yang ketat.
Selanjutnya, terkait persyaratan wali nikah, beliau menjelaskan bahwa wali nikah harus laki-laki muslim –baik ayah, paman, dan sebagainya sesuai urutan wali di dalam fikih syafii. Namun, catatan keislaman seorang wali nikah hanya berlaku ketika perempuan yang dinikahkan adalah muslimah. Apabila perempuan yang dinikahkan berstatus nonmuslim maka wali nikah perempuan tersebut tidak disyaratkan beragama Islam.
Selain syarat Islam, seorang wali nikah juga disyaratkan ‘adalah. Namun, syarat ini berlaku jika wanita yang dinikahkan adalah wanita merdeka. Sementara wali nikah bagi budak perempuan tidak harus disyaratkan ‘adalah. Sebab, yang menjadi wali nikah bagi perempuan yang berstatus budak adalah tuannya. Dan tuan dai budak perempuan menikahkan bukandengan dasar perwalian, namun dengan dasar kepemilikian. Dengan demikian tidak ada syarat ‘adalah bagi wali nikah untuk perempuan budak.
Dalam masalah perwalian syekh Abdul Aziz juga menjelaskan bahwa meskipun syarat wali harus laki-laki dari keluarganya,namun anak laki-laki tidak bias menikahkan ibunya. Terrkecuali apabila anak tersebut memiliki status lain selain “anak” seperti status “cucu paman”. Beliau mencontohkan ketika seorang wanita dinikahi oleh anak pamannya sendiri (saudara sepupu) maka anak yang lahir dari hasil pernikahan tersebut memiliki dua status: petama, anak kandung, kedua, cucu pamannya. Status anak kandung menghalanginya menjadi wali nikah bagi ibunya. Tetapi, statusnya sebagai cucu paman dari ibunya tidak menghalanginya menjadi wali nikah bagi ibunya sendiri.
Dalam masalah talak Syekh Abdul Aziz menjelaskan bahwa wanita yang tertalak raj’iy (talak yang asih bias dirujuk) tidak boleh dilamar selama masa iddah –baik dengan pola bahasa yang tegas atau atau dengan pola konotatif. Hal itu dikarenakan wanita tersebut masihh dalam hukum nikah. Berbeda dengan wanita yang tertalak ba`in (talak yag tidak dapat dirujuk) atau yang ditinggal wafat suaminya, dalam masa iddah wanita tersebut boleh dilamar dengan pola bahasa konotatif, seperti kamu adalah wanita tercantik, dan sebagainya.
Pada kesempatan ini Syekh Abdul Aziz juga menyampaikan bahwa poligami sebenarnya memiliki sisi positif dalam relasi sosial. Namun, permasalahannya adalah keadilan suami terhadap istri-istrinya. Sikap adil tersebut yang sering membawa problem pada banyak kasus poligami. Oleh karena itu jika tidak mampu berlaku adil cukup menikahi satu wanita.
Sementara dalam masalah nusyuz Syekh Abdul Aziz menjelaskan bawa ketika istri melakukan nusyuz suami tidak boleh melukai, yang musti dilakukan adalah tiga hal secara bertahap. Tiga hal tersebut adalah; pertama menasehati , kedua ttidak mengajak bicara dengan catatan tidak boleh lebih dari tiga hari, ketiga memukul tetapi tidak boleh melukai. Dalam masalah tidak mengajak bicara yang beliau berikan catatan “tidak boleh lebih tiga hari” itu didasari oleh Hadis bahwa: “seseorang tidak boleh saling diam selam lebih dari tiga hari”.
Terkait hal ini beiau menceritakan kisah Hasan dan Husein. Satu hari Hasan dan Husein pernah merasa saling kesal, sehingga keduanya tidak mau berbicara satu sama lain. Saat memasuki hari ketiga Husein mengirim surat kepada kakaknya, Hasan, yang berisi: wahai kakakku, Rasulullah Saw,. bersabda: apabila dua orang bermusuhan lalu salah satuya mengajak damai maka yang mengajak damai akan didahulukan masuk surga. Kesinilah wahai kakakku, ajak aku damai, aku tidak ingin mendahului kakakku masuk surga.
Beliau juga memberi catatan tentang cerita ini, bahwa marah pada dasarnya bukan sebuah aib, ia adalah tabiat manusia, namun harus terkondisikan agar tidak berlebihan. Beliau memberikan sebuah untaian mutiara dari salah seorang salaf bahwa barang saiapa dibuat marah tetapi tidak marah maka dia seperti keledai (bodoh), tetapi barang siapa yang dimintai maaf tidak memaafkan maka tempatnya di neraka.
Terkait khulu’ beliau menjelaskan bahwa khulu’ adalah hak perempuan untuk meminta pisah dari suaminya dengansejumlah harta yang harus dibayar. Dalam hal ini khulu’ boleh dijatuhkan pada masa suci atau haid, berbeda dengan talak yang haram dijatuhkan saat masa haid. Logikanya adalah masa haid dapat memperpanjang masa idah sehingga tidak boleh menalak istri di masa tersebut karena kan memberatkannya. Tetapi ketika perempuan menjatuhkan khulu’ maka harta yang dia bayarkan sebagai ganti saat khulu’ menandakan bahwa dia rela dengan masa idah yang panjangg.
Acara ini berlangsung dengan tiga sesi. Sesi pertama dimulai pada pagi hari, dilanjutkan sesi kedua sore ari, dan sesi ketiga malam hari. Acara ini berlangsung dengan khidmah dan antusias para peserta. Dan diakhiri dengan pemberian ijazah umum yang berisi riwayat belajar beliau yang terhubung ke Imam Syafii higga Rasulullah saw.











Please login to comment