Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Renungan untuk Saudaraku Yang Baru Hijrah, Belajarlah Dulu!

Avatar photo
26
×

Renungan untuk Saudaraku Yang Baru Hijrah, Belajarlah Dulu!

Share this article

Sebelum memasuki sebuah hutan belantara atau daerah yang
sama sekali baru dan asing, bukankah seseorang mesti mempersiapkan segala bekal
yang dibutuhkan? Baik berupa makanan, minuman, maupun perlengkapan kesehatan
dan keselamatan.

Kalau ada orang yang masuk ke sebuah hutan yang lebat
atau mendaki gunung yang tinggi, tanpa membawa bekal apa-apa, bukankah wajar
kalau ada yang berkata: ‘Nekad!’. Bahkan, tak salah juga jika ada yang
komentar, “Cari mati!”

Tak cukup mempersiapkan bekal saja, orang itu juga mesti
bertanya dan minta pendapat orang-orang yang pernah memasuki hutan atau daerah
terpencil itu untuk mengetahui bagaimana karakteristik daerahnya, apa saja yang
mesti disiapkan, apa yang mesti dihindari, apa langkah-langkah yang mesti
diambil jika terjadi kondisi yang tak diduga dan sebagainya.

***

Kalau untuk memasuki sebuah wilayah saja semua persiapan
ini mesti dilakukan, apalagi memasuki dunia keilmuan yang jauh lebih
‘belantara’ dan ‘terjal’ dibandingkan hutan dan gunung? Terlebih lagi kalau
‘wilayah’ yang akan dimasuki itu wilayah ikhtilaf sejak dulu? Tentu bekal yang
disiapkan harus lebih ekstra.

Sayangnya, yang terjadi justeru sebaliknya. Berbicara
tentang Islam saat ini telah menjadi sesuatu yang paling mudah dan murah(an).
Siapapun yang mau bicara, bisa bicara. Yang diperlukan ‘hanya’ peci putih ala
jamaah haji. Lebih baik lagi jika ditambah sorban ala Saudi, sehingga kesan
sebagai ustadz semakin diakui. Untuk wanita ‘cukup’ pakai cadar, sehingga
hijrah tampak sangat total (tentu tidak semuanya begitu).

Kalau titel ustadz atau ustadzah sudah disematkan, baik
oleh diri sendiri atau fans, maka dunia keilmuan seolah sudah siap membuka diri
untuk dimasuki. Bagaimana dengan bekal dan peralatan? Ilmu Nahwu, Sharaf,
Balaghah, Ma’ani, Ushul, Mantiq dan sebagainya? Lupakan saja. Itu kan hanya
akal-akalan para ulama agar wilayah itu terlihat angker dan berbahaya. Siapa
bilang kalau agama ini hegemoni mereka? Bukankah Islam milik semua? Berarti
siapapun berhak berbicara atas namanya.

Apa tidak sebaiknya bertanya dulu kepada mereka yang
sudah kembali dari sana? Bukankah mereka jauh lebih mengerti seluk-beluk
daerahnya?

Ah, tidak perlu. Toh kalau mereka bisa, tentu saya juga
bisa. Hum rijal wa nahnu rijal (?)

***

Saudaraku, semua senang melihat semangatmu untuk
‘hijrah’. Engkau yang selama ini bergelimang dengan ‘dunia’, kesenangan, dan
kelalaian (meski kami pun juga demikian), sekarang memutuskan untuk lebih fokus
pada agama dan berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengamalkannya.

Boleh jadi engkau lebih baik dari kami yang tak pernah
‘hijrah’ (dalam makna yang dipahami banyak orang saat ini). Tak ada yang tahu
kualitas iman kita, selain Zat yang Maha Tahu segalanya. Tapi memang, seteguk
air menjadi sangat berarti bagi orang yang sangat kehausan. Sementara orang
yang selama ini memiliki air berlimpah, seteguk air kadang tak begitu
dihiraukan.

Tetapi, dunia keilmuan wilayah yang tak semua orang
boleh dan bisa ‘menjamahnya’. Jangankan engkau wahai saudaraku yang baru
satu-dua hari ‘hijrah’, mereka yang menghabiskan umurnya untuk ilmu pun tidak
semua yang layak berbicara tentangnya. Jadi, kenapa mesti buru-buru?

Kami akan sangat iri melihat dirimu, setelah hijrah,
semakin meningkat kualitas dan kuantitas ibadah, semakin mempesona akhlak dan
budipekertinya, semakin matang pribadinya, semakin terjaga lisan dan anggota
tubuhnya, dan semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Kalau itu yang terjadi, maka semua akan mendoakanmu dan
‘siap’ bersaing denganmu untuk sama-sama memperbaiki diri, meningkatkan
kesalehan pribadi dan mendekatkan diri pada ilahi.

Tapi kalau setelah hijrah beberapa hari, engkau langsung
bicara ‘ini bid’ah’, ‘ini sesat’, dan sebagainya, bukankah wajar kalau diantara
kami ada yang meragukan ketulusanmu? Kami memang tidak tahu apa yang di hati,
tapi lidah menjadi pertanda apa yang ada di dalam sanubari.

Saudaraku, jangan anggap diamnya para ulama melihat
‘ulahmu’ dikarenakan mereka menghargaimu atau ‘gentar’ menghadapimu. Tidak.
Justeru mereka merasa kasihan padamu. Engkau ibarat anak kecil yang dapat
mainan baru. Atau seorang yang baru belajar silat, lalu dapat satu-dua jurus,
bawaannya mau nantang semua orang.

Saudaraku, renungkan syair al-Mutanabbi yang pendek tapi
bermakna ini :

وإذا
ما خلا الجبان بأرض طلب الطعن وحده والنزالا

Ketika pengecut berada di medan sendirian

Ia menantang untuk bertarung dan adu kekuatan

Tak usah berkilah dan mengatakan, “Ini yang saya terima
dari ustadz-ustadz saya.”

Perlu engkau ketahui, kalau sang ustadz membicarakan
masalah-masalah tersebut dalam konteks mengkaji dan mendalami lalu sampai pada
satu kesimpulan, apapun kesimpulannya, dan ia memiliki kompetensi untuk itu,
tentu itu sah-sah saja.

Tapi kalau ia mengangkat masalah itu secara berlebihan
sehingga terkesan masalah itu sangat fundamental, apalagi sampai menilai
keisalaman dan keimanan orang lain dengan kacamata itu, maka ketahuilah,
saudaraku, bahwa diantara tanda keikhlasan seorang dai dalam berdakwah adalah
ia bisa menempatkan sesuatu pada kadarnya yang pas.

Seorang ulama mengatakan:

لو
كان رائدهم الإخلاص لرأوا الصغير صغيرا والكبير كبيرا ووسعهم ما وسع جماعة
المسلمين على توالي القرون

“Seandainya panduan mereka adalah keikhlasan tentu
mereka melihat yang kecil itu kecil, yang besar itu besar. Mereka akan
berlapang dada dan menerima apa yang telah diterima kaum muslimin sepanjang
sejarah.”

هدانا الله وإياكم ووفقنا لما يحبه ويرضاه

Kontributor

  • Yendri Junaidi

    Bernama lengkap Yendri Junaidi, Lc., MA. Pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Thawalib Padang Panjang, kemudian meraih sarjana dan magister di Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.