Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sebuah Seni untuk Mengabadikan Nasihat guru

Avatar photo
31
×

Sebuah Seni untuk Mengabadikan Nasihat guru

Share this article

Semenjak dahulu rantai keilmuan Islam bisa menjadi kuat karena tradisi tulis menulis yang begitu kuat pula. Hal itu menjadi ciri khas perkembangan Islam hingga sekarang. Kepedulian tersebut tidak lantas dilahirkan dari ruang hampa. Pada dasarnya pada setiap generasi, dalam fase transformasi keilmuan secara verbal, mengharuskan generasi di bawahnya untuk meneruskan keilmuan tersebut ke generasi di bawahnya lagi. Nah hal yang paling efektif untuk menjaga transmisi itu adalah mengabadikannya dalam bentuk fisik. Baik berupa kitab atau lainnya.

Di sisi lain, dalam perkembangannya peran penulisan yang dilakukan murid terhadap keberlangsungan ajaran dan pemikiran sang guru sangatlah penting. Banyak sekali diantara para cendekiawan muslim yang begitu diakui kapabilitas keilmuan di masanya. Akan tetapi, menjadi redup setelah kepergiannnya. Tidak ada rekam-jejak serta peninggalan yang bisa meneruskan  atau paling tidak menjadi representasi pemikiran sang guru di masa kini. 
Fenomena ini bisa sangat mudah kita saksikan pada era awal kemunculan mazhab fikih. Selain 4 madzhab yang sudah masyhur sebenarnya ada lagi satu mazhab yang juga saat itu mempunyai banyak pengikut. Mazhab ini banyak tersebar di Negeri piramida Mesir, karena sosok promotornya juga berasal dari Mesir. Beliau adalah Imam Laits bin Sa’d. Posisi intelektual Imam Laits pada waktu itu sungguh sangat diperhitungkan. Pengaruhnya di Mesir begitu kuat. 

Namun, kini kita tak bisa lagi menemukan eksistensi dari mazhab ini. Karena pada dasarnya, keilmuan tersebut tidak didukung oleh kesinambungan yang berarti. Murid-murid Imam Laits tidak ada yang mendokumentasikan serta membukukan pemikirannya. Akibatnya kini tidak lagi dikenal mazhab fikih Imam Laits yang dulu pernah mendominasi mazhab fikih di Mesir dan sekitarnya. Bahkan Imam Syafii pernah menyinggung perihal ini:

«اللَّيْثُ أَفْقَهُ مِنْ مَالِكٍ إِلاَّ أَنَّ أَصْحَابَه لَمْ يَقُوْمُوا بِهِ»
“Imam Laits bin Sa’ad itu lebih alim dalam masalah fikih daripada Imam Malik bin  Anas. Akan tetapi murid-muridnya tidak menghidupkannya”

Beda kasus dengan mazhab yang hingga saat ini masih eksis. Karena murid-muridnya mendokumentasikan serta mempublikasikannya. Sebut saja murid-murid Imam Syafii yang ikut menulis pemikiran Imam Syafii seperti Imam Buwaithi, Imam al-Muzani, Al-Rabi’ yang juga ikut berperan dalam penulisan kitab As-Syafi’i. Begitula mazhab-mazhab lain yang hingga saat ini masih siar tersebar. Salah satu faktor kuncinya adalah murid-muridnya berperan menulis serta mempublikasikan pemikiran serta karya dari sang guru.

Dalam disiplin-disiplin ilmu lain pun demikian. Semuanya akan bisa langgeng dan eksis hingga saat ini jika semua pemikiran tersebut terbukukan dan terkodifikasi dengan baik. 
Oleh sebab itu para ulama menganjurkan para santri untuk sebisanya menulis serta mengabadikan pemikiran guru-gurunya. Agar keilmuan serta pemikiran ulama tidak hanya bersifat temporer, terbatas pada murid-murid ulama yang menimba ilmu kepadanya. Akan tetapi lebih dari itu, agar pemikiran tersebut bisa abadi, sekalipun ulama itu telah lama mati. 
Contoh nyata yang bisa kita temukan mengenai usaha murid dalam mengabadikan ajaran sang guru adalah apa yang dilakukan oleh Syekh Ahmad bin Abdul Karim al-Hasawi as-Syajjar murid dari  al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.  Dimana beliau menulis kumpulan perkataan dari gurunya. Kitab kumpulan tersebut berjudul “Tatsbit al-Fuad bi Dzikri Kalam al-Majalis al-Quthb al-Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad”. 

Lewat kitab tersebut, Syekh Ahmad As-Syajjar berjasa menuliskan kembali nasihat-nasihat Habib Abdullah Al-Haddad yang mungkin bila tak dituliskan bisa jadi generasi kita saat ini tidak banyak mengenal nasihat-nasihat dari Habib Abdullah al-Haddad. Kitab ini pun hingga saat ini menjadi rujukan dalam menukil perkataan Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad selain dari kitab-kitab asli karangan beliau. 

Contoh lain adalah apa yang dilakukan oleh murid Syekh Abdul Qadir al-Jailani  yang telah menghimpun semua perkataan Syekh Abdul Qadir baik dalam majelis ilmu ataupun di tempat lain dalam satu kitab yang berjudul “Jalaul Khatir fi Kalami Muhyiddin Abdul Qadir”. Ada juga sosok Ibnu Arabi, dimana berkat sang murid yakni Abdullah bin Badr al-Habsyi kalam-kalam serta nasihat dari Ibnu arabi dapat terdokumentasi dengan baik. 
Ada pula Habib Abu Bakar bin Abdullah bin Alawi al-Habsyi (w. 1416 H) beliau menulis faidah -faidah dari pengajiannya kepada Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas (w. 1369 H) Beliau menulis kitab Tadzkir an-Naas yang juga berisi kumpulan-kumpulan nasihat dari Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas.

Kalau contoh terkini kita bisa menemukan kitab Fawaid al-Mukhtarah karangan Habib Ali bin Hasan Baharun putra pendiri Pondok pesantren Dalwa Pasuruan. Kitab tersebut merupakan kompilasi dari kalam-kalam sang guru yakni Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Madinah.
Oleh sebab itu, perlu kiranya di kalangan santri digalakkan kembali semangat untuk menulis serta mendokumentasikan kalam-kalam serta catatan pengajian para kiai di Indonesia. Karena, selain akan menjadi prasasti keilmuan yang abadi. Hal tersebut juga akan meningkatkan kualitas karya tulis santri di Indonesia. 

Karena bagaimanapun, sehebat sealim apapun seorang ulama di masa kini. Jika tak ditulis dengan baik kehebatan serta samudra ilmu yang dipunya akan hilang begitu saja. Sebagaimana diungkapkan dalam syair milik Habib Ahmad bin Hasan al-Athas:

تموت الخبايا فى الزوايا ومالها * من الناس بين الناس فى الناس ذاكر
تفوت كرامات الرجال شواردا * إذا لم تقيدها علينا دفاتر

“Berbagai rahasia di sudut-sudut dunia telah sirna, tak satu manusia pun yang menyadarinya
Betapa sering kita kehilangan kemulian dari tokoh dan ulama , Jika tak ditulis dengan kertas dan pena”

Kontributor

  • Ahmad Yazid Fathoni

    Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.