Pada era modern kini, degradasi moral generasi muda bangsa ini kian menjadi-jadi. Bagaimana tidak, dalam dunia pendidikan misalnya, tak sedikit murid yang ‘berani’ melawan gurunya. Niat hati sang guru menasihati dan sesekali berbuat agak tegas, namun pada akhirnya berujung bui.
Kasus seperti ini sudah banyak mewarnai dinamika pendidikan nasional kita. Memang kalau kita amati, etika murid kepada guru seiring pergantian tahun semakin memudar—bahkan menguap lenyap—sehingga kasus-kasus tak mengenakkan seperti yang disebutkan di atas sangat mudah terjadi. Padahal, dalam norma sosial dan agama, murid itu diharuskan menghormati gurunya. Akan tetapi, keharusan demikian ini tidak lagi dianggap penting dan sering kali diabaikan.
Hormat kepada guru merupakan perbuatan mulia yang semestinya dilakukan oleh seorang murid secara inisiatif. Maksudnya, dirinya sadar tetap dilakukan meskipun tanpa diperintah. Demikian ini sebagai wujud terima kasih sang murid kepada gurunya yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu kepada dirinya.
Di samping itu, menghormati guru pada hakikatnya juga merupakan manifestasi sikap memuliakan diri sendiri. Pasalnya, dengan menghormati guru, murid akan dinilai sebagai pribadi yang berakhlak mulia oleh banyak orang. Demikian ini karena orang yang berakhlak mulia sajalah yang berkenan menghormati gurunya.
Lebih daripada itu, menghormati guru sejatinya juga menghormati ilmu itu sendiri. Artinya, orang yang tidak menghormati guru berarti ia tidak menghormati ilmu, dan barangsiapa tidak menghormati ilmu (khususnya yang sedang dipelajari) pastinya ia akan sulit berhasil menguasai ilmu tersebut.
Berbicara mengenai menghormati guru—yang merupakan kunci dan modal awal kesuksusan seorang murid—ada satu nasehat dari Abuya as-Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki al-Hasani tentang belajar dan menuntut ilmu yang masyhur di kalangan santri.
Beliau pernah mengatakan:
ثبات العلم بالمذاكرة ونفعه بالخدمة وبركته برضا الشيخ
Artinya: “Melekatnya ilmu itu hanya bisa didapatkan dengan mudzakarah (belajar dan mengulang-ulang materi pelajaran), kebermanfatannya bisa didapatkan dengan khidmah (mengabdikan diri agar menjadi orang bermanfaat), dan keberkahannya bisa didapatkan dengan adanya ridha dari sang guru.”
Dari nasehat tersebut, kita akan semakin yakin dan seharusnya mengerti bahwa menghormati guru, selain merupakan adab kita sebagai murid, sejatinya bukan lagi kewajiban bagi kita, melainkan kebutuhan yang harus kita penuhi dan lakukan demi kebaikan diri kita sendiri sebagai seorang murid di masa mendatang.
Selanjutnya, dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim fii Thoriq at-Ta’allum (hlm. 21), Imam Burhanuddin Az-Zarnuji menuturkan keterangan serupa sebagai berikut:
اِعْلَمْ بِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لاَ يَنَالُ الْعِلْمَ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَتَعْظِيْمِ الْأُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ. قِيْلَ مَا وَصَلَ مَنْ وَصَلَ اِلَّا بِالْحُرْمَةِ، وَمَا سَقَطَ مَنْ سَقَطَ اِلاَّ بِتَرْكِ الْحُرْمَةِ
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya seorang penuntut ilmu (murid) tidak akan bisa memperoleh ilmu dan mengambil manfaatnya kecuali dengan menghormati ilmu dan orang yang berilmu, memuliakan guru dan menghormatinya. Dikatakan (pula bahwa) orang yang sukses (sebenarnya) tidak akan sukses kecuali dengan sikap hormat, dan orang yang gagal (sebenarnya) tidak akan gagal kecuali disebabkan sikap tidak hormat.”
Dari keterangan di atas, kita harus semakin yakin bahwa menghormati guru memang merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan bagi setiap murid. Siapa pun yang ingin belajar kepada seorang guru tentang ilmu pengetahuan, maka wajib baginya untuk menghormati guru tersebut. Dalam hal menghormati guru, para ulama terdahulu—semasa menuntut ilmu—memberikan contoh keteladanan yang sangat luar biasa tentang bagaimana adab seorang murid dalam menghormati gurunya.
Untuk merepresentasikan keteladanan murid kepada guru, penulis akan menceritakan kisah teladan seorang murid kepada gurunya, yakni antara Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Kholil Bangkalan.
Dikisahkan bahwa dulu Kiai Hasyim Asy’ari pernah nyantri dan menjadi ‘santri kinasih’ (murid kesayangan) Kiai Kholil. Setelah menyelesaikan mondok di tempat Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan rihlah ilmiahnya dengan melalang buana ke berbagai daerah di tanah air, dan bahkan sampai ke wilayah Timur Tengah, tepatnya di kota Makkah Al-Mukaromah.
Singkat cerita, setelah betahun-tahun mengembara mencari ilmu, kemasyhuran kealiman Kiai Hasyim terdengar ke segala penjuru tanah air. Di samping itu, banyak pula anak kiai-kiai besar pada waktu itu berbondong-bondong dipondokkan di Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Kiai Hasyim. Mengetahui hal ini, Kiai Kholil Bangkalan (guru Kiai Hasyim) ternyata juga mendatangi mantan muridnya itu ke Tebuireng, Jombang. Tentu saja kunjungan ini mengejutkan Kiai Hasyim Asy’ari.
Guna menyambut tamu istimewa ini, segala hal dipersiapkan oleh Kiai Hasyim di Pondok Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim mengira bahwa kunjungan ini hanya silaturahmi biasa. Namun, ternyata Kiai Kholil tidak sekadar berkunjung, melainkan ingin belajar kepada Kiai Hasyim yang memang sudah masyhur kealimannnya, khususnya sebagai ahli hadits.
Begitu Kiai Kholil datang ke Tebuireng, beberapa santri segera diperintah Kiai Hasyim untuk mempersiapkan kamar khusus untuk Kiai Kholil. Setelah semua persiapan selesai, Kiai Hasyim dengan ta’dhim segera mendekat ke Kiai Kholil. Terjadilah dialektika manis nan indah antara guru dan murid berikut:
“Kiai, mohon istirahatnya di kamar yang sudah dipersiapkan. Tidak usah tidur seperti santri-santri yang lain. Cuciannya juga nanti biar dicucikan, jangan mencuci sendiri,” kata Kiai Hasyim.
Dengan tersenyum Kiai Kholil membalas, “Hasyim, di sini saya datang sebagai santri sebagaimana santri yang lain. Jadi janganlah kamu istimewakan dan pisahkan dengan santri-santri yang lain. Di Pesantren Bangkalan, benar memang aku ini kiai kamu, kamu santriku, tapi di sini sebaliknya, kamu sekarang kiaiku dan aku ini santrimu.”
“Tapi, Kiai…” kata Kiai Hasyim kebingungan.
Membayangkan Kiai Kholil yang merupakan gurunya sendiri hendak tidur bersama para santrinya, tentu saja Kiai Hasyim tidak tega sekaligus merasa suul adab. Meskipun Kiai Kholil sudah mengeluarkan perintah untuk tidak menganggapnya sebagai guru di Pesantren Tebuireng, tapi bagi Kiai Hasyim, Kiai Kholil tetaplah gurunya, tidak peduli tempat atau status pada saat keduanya bertemu kali ini.
Setelah berpikir keras, akhirnya Kiai Hasyim menemukan ide. Lantas, ia mendatangi kembali Kiai Kholil di kamarnya.
“Kiai Kholil,” kali ini Kiai Hasyim mengeluarkan suara sedikit tegas dan keras.
“Apakah benar saya dianggap Kiai sebagai guru?” tanya Kiai Hasyim.
Kiai Kholil awalnya bingung, “Iya memang benar. Kamu adalah guru saya,” balas Kiai Kholil.
“Kalau begitu saya perintahkan Kiai Kholil untuk meninggalkan kamar ini dan segera pindah ke kamar yang sudah dipersiapkan. Berikut juga dengan makanan Kiai Kholil akan diantarkan ke kamar. Jadi Kiai Kholil tidak perlu ikut antri bersama santri yang lain, cucian juga akan dicucikan, tidak perlu antri kamar mandi. Ini bukan permintaan seorang santri kepada kiainya, tapi perintah seorang kiai kepada santrinya,” kata Kiai Hasyim.
Mendengar itu Kiai Kholil terkejut, lalu berdiri dan menuruti perintah “guru”-nya.
Dari kisah teladan di atas, kita dapat mengambil ibrah bahwa sehebat dan sepandai apapun seorang murid, lazimnya kita harus tetap menghormati guru—sebagaimana yang dilakukan Kiai Hasyim terhadap Kiai Kholil—karena hal itu adalah kunci kesuksesan dalam mencari ilmu. Wallahu a’lam.
Referensi:
Imam Burhanuddin Az-Zarnuji. Ta’lim al-Muta’allim fii Thoriq at-Ta’allum. (link akses kitab: https://archive.org/details/talimul-mutaallim-syeikh-burhanuddin-az-zarnuji-al-hanafi/04-Ta%27limul%20Muta%27allim%20-%20Syeikh%20Burhanuddin%20az-Zarnuji%20-%20Cetakan%20Darul%20Alamiyyah/page/n19/mode/2up ).
https://tebuireng.online/syaikhona-kholil-kh-hasyim-asyari-indahnya-dialektika-guru-murid/ (Diakses pada tanggal 9 November 2024)
Please login to comment