Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Syekh Ramadhan Al-Buthi: Mencintai Allah Butuh Pembuktian

Avatar photo
33
×

Syekh Ramadhan Al-Buthi: Mencintai Allah Butuh Pembuktian

Share this article

Untuk mengetahui tulus atau tidaknya cinta seseorang, sebetulnya mudah saja, yaitu sebesar apa pengorbanan yang ia lakukan. Semakin besar pengorbanannya, semakin tulus pula cintanya. Sebaliknya, mengaku cinta tapi enggan berkorban, merupakan bukti kurangnya ketulusan. Demikian halnya cinta kepada Allah SWT.

Sebelumnya, penulis kemukakan dulu mengapa kita wajib mencintai Allah. Dalam konsep yang sederhana dan cukup logis, Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam Al-Ḫubbu Fil Qur’ân menjelaskan, posisi kita sebagai hamba adalah penerima, sedangkan Allah adalah pemberi. Sedangkan pemberian Allah tidak ternilai dan, sudah barang tentu kita tidak mampu membalasnya. Nah, atas pemberian yang maha besar itulah kita wajib mencintai Dzat yang Maha Pemurah.

Keutamaan Mencintai Allah

Terkait keutamaan mencintai Allah sendiri, dalam satu hadits dijelaskan:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Ada tiga hal, barangsiapa memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman, (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka.” (Mutafaqun ‘alaih)

Hadits di atas menjelaskan, salah satu keutamaan mencintai Allah dan rasul-Nya adalah dapat merasakan manisnya keimanan. Secara tidak langsung, hadits ini juga menyampaikan bahwa orang yang yang tidak mencintai Allah dan rasul-Nya, tidak dapat merasakan manisnya iman. Sebagaimana orang yang sedang sakit secara jasmani, tidak dapat merasakan manisnya buah.

Imam Ibnu Hajar dalam Faḫtul Bârî menjelaskan, hadits ini merupakan analogi yang cukup menarik. Semakin kuat cinta seseorang kepada Allah dan rasul-Nya, semakin kuat juga ia bisa merasakan manisnya keimanan. Sebaliknya, jika cintanya redup, keimanan tidak akan terlalu manis baginya. Seperti orang yang kadang jika sakitnya parah, makanan manis terasa pahit. Semakin sakitnya berkurang, semakin ia bisa merasakan manis. (Ibnu Hajar, Faḫtul Bârî, Vol. I, juz 77)

Logika keharusan mencintai Allah dan rasul-Nya juga dikemukakan oleh Ibnu Hajar. Menurutnya, jika seseorang berpikir bahwa perintah dan larangan Allah untuk hamba-Nya semata-mata untuk kebaikan si hamba, baik di dunia maupun di akhirat, secara logika, seharusnya ia mencintai Dzat yang telah sedemikian baik kepadanya. (Ibnu Hajar, Vol. I, juz 78)

Cinta Wajib dan Sunnah

Berangkat dari hadits itu pula, Ibnu Hajar  membagi cinta kepada Allah menjadi dua, yaitu cinta yang wajib dan cinta yang sunnah. Cinta yang wajib adalah cinta yang mendorong seorang hamba untuk mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya. Selain itu, ia juga merasa ridha atas segala keputusan Tuhan baginya, tidak banyak protes.

Sehingga logikanya, jika seseorang terjerumus dalam perbuatan maksiat, berarti cintanya itu tidak tulus. Ia telah tergoda oleh nafsu dalam dirinya.

Sementara cinta yang sunnah adalah rasa cinta yang mendorong seorang hamba untuk melakukan amalan-amalan sunnah dan menjauhkan dirinya dari perkara syubhat. (Ibnu Hajar, Vol. I, juz 78)

Pembuktian Cinta

Sebagaimana penulis kemukakan di awal. Sebuah cinta membutuhkan sebuah pembuktian. Untuk menguji ketulusan cinta seorang hamba kepada Tuhannya, Allah akan memberinya berbagai ujian. Sehingga Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi menyatakan dalam Fiqhus Sirah an-Nabawiyah, sebuah ujian bagi hamba bukan karena Allah tidak mau membalas cinta hamba-Nya dengan kelembutan dan kasih sayang, tetapi untuk menguji mana yang cintanya serius dan mana yang abal-abal.

Berikut penulis kutipkan pernyataan al-Buthi tersebut, “Kalau saja manusia dibiarkan mengaku-aku beriman dan mencintai Allah  SWT di bibir saja, susah membedakan mana yang betul-betul beriman dan mana yang isapan jempol belaka. Jadi, ujian akan menjadi alat ukur untuk membedakan mereka  yang jujur dan  mereka yang dusta.” (Al-Buthi, Fiqhus Sirah an-Nabawiyah, hal. 78)

Bahkan besarnya sebuah cobaan akan disesuaikan dengan kadar kecintaan seorag hamba kepada Allah SWT. Semakin tinggi cintanya, semakin besar pula ujiannya. Al-Buthi menegaskan, “Kedekatan setiap Muslim dengan tujuan yang hendak dicapai sebanding dengan siksaan yang mereka hadapi.” (Al-Buthi, hal. 79)

Kita tahu, generasi terbaik dalam sejarah Islam adalah mereka yang hidup pada zaman Rasulullah SAW. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kualitas ketulusan cinta yang sangat tinggi kepada Allah dan rasul-Nya. Sebab ketulusan itu, ujian mereka pun sangat berat. Dalam catatan sejarah, mereka adalah para sahabat yang kerap kali mendapat siksaan bahkan pembunuhan oleh orang kafir Quraisy demi mempertahankan keimanan dan kecintaan mereka kepada Allah dan rasul-Nya.

Baca tulisan menarik lainnya tentang Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi di sini.

Kontributor

  • Muhamad Abror

    Jurnalis lepas dan penulis artikel keislaman (alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon, mahasantri Mahad Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta). Asal Brebes Jawa Tengah.