Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Dr. Syarif Hidayatullah, MA, mengecam keras pernyataan Fuad Plered yang menyamakan Guru Tua, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, dengan monyet. Pernyataan tersebut dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap ulama besar yang telah berjasa dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di tanah Sulawesi.
Sebagai akademisi dan putra dari almarhumah Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Dr. Syarif juga memiliki darah Sulawesi dari garis keturunannya. Dengan latar belakang tersebut, ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membela kehormatan ulama besar Sulawesi yang telah berkontribusi dalam mencetak generasi cendekiawan Muslim di Indonesia.
Dalam keterangannya yang diberikan melalui pesan singkat saat dihubungi pada 28/03/2025, Dr. Syarif menyampaikan bahwa pernyataan Fuad Plered mencerminkan kedangkalan berpikir dan kurangnya penghormatan terhadap tokoh yang telah berjasa besar dalam pendidikan Islam di Indonesia.
“Sebagai akademisi dan bagian dari komunitas ilmiah yang menjunjung tinggi adab serta penghormatan terhadap para pendidik dan ulama, saya dengan tegas mengkritik pernyataan saudara Fuad Plered yang menyamakan Guru Tua dengan monyet. Pernyataan tersebut bukan hanya tidak beradab, tetapi juga menunjukkan kedangkalan berpikir serta kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai keilmuan dan penghormatan kepada figur yang berjasa dalam pendidikan dan keislaman,” ujar Dr. Syarif.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa Guru Tua adalah salah satu ulama besar yang telah memberikan kontribusi besar bagi umat Islam di Indonesia. Sebagai pendiri Alkhairaat, beliau telah mencetak banyak cendekiawan Muslim yang berperan di tingkat nasional, termasuk dalam bidang akademik, keagamaan, dan sosial. Salah satu murid beliau yang paling berpengaruh adalah almarhumah Prof. Dr. Huzaemah Tahid Yanggo, MA., pakar fikih dan ulama perempuan terkemuka di Indonesia.
“Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, atau yang lebih dikenal sebagai Guru Tua, adalah salah satu ulama terkemuka di tanah Sulawesi. Beliau merupakan pendiri Alkhairaat, lembaga pendidikan Islam yang telah mencetak banyak cendekiawan Muslim yang berkontribusi besar di tingkat nasional. Murid-murid beliau memiliki peran besar dalam berbagai bidang, termasuk sebagai ulama, akademisi, dan pemimpin umat. Salah satu murid beliau yang paling berpengaruh adalah almarhumah Prof. Dr. Huzaemah Tahid Yanggo, MA., seorang pakar fikih dan tokoh penting dalam keilmuan Islam di Indonesia,” tambahnya.
Dr. Syarif juga mengingatkan bahwa dalam tradisi keilmuan Islam, perbedaan pandangan adalah sesuatu yang wajar, namun tidak seharusnya disampaikan dengan penghinaan. Menurutnya, kritik terhadap tokoh atau pemikiran tertentu haruslah berbasis argumen ilmiah, bukan cacian yang merendahkan kehormatan seseorang.
“Dalam tradisi intelektual Islam, perbedaan pandangan adalah keniscayaan, namun penghinaan terhadap seorang guru—terlebih seorang ulama—bukanlah bagian dari diskursus akademik yang sehat. Kritik dan perbedaan pendapat haruslah didasarkan pada argumen yang ilmiah, bukan cercaan atau penghinaan yang mencerminkan kegagalan dalam beretika dan beradab,” tegasnya.
Sebagai penutup, Dr. Syarif menegaskan bahwa pernyataannya ini adalah bentuk sikap akademik dalam menjaga kehormatan para ulama. Ia berharap agar diskusi mengenai figur-figur yang berjasa bagi umat tetap dilakukan dengan cara yang santun dan ilmiah, tanpa merendahkan martabat seseorang.
Please login to comment