Kitab Mishbah
adz-Dzulam ‘Ala an-Nahji al-Atamm fi Tabwib al-Hikam adalah satu di
antara puluhan kitab karangan ulama besar Makkah asal Indonesia, yaitu Syaikh
Nawawi al-Bantani al-Jawi (w. 1314 H/1897 M).
Kitab ini merupakan komentar dan ulasan (syarah) atas kitab an-Nahj
al-Atamm fi Tabwib al-Hikam karya Syaikh Ali al-Muttaqi al-Hindi (w. 975
H/1567 M). Sedangkan an-Nahju al-Atamm sendiri bisa dibilang susunan baru untuk
kitab al-Hikam karya Ibnu Athoillah as-Sakandari (w. 709 H/1309 M).
Kitab al-Hikam adalah kitab yang memuat ratusan
untaian kata mutiara as-Sakandari. Di Indonesia, kitab ini terkenal sebagai kitab tasawuf tingkat tinggi. Pengkajinya pun tidak sembarang orang, hanya
santri yang sudah mumpuni dalam keilmuan yang berani membacanya.
Dalam penulisan kitab al-Hikam, sang muallif (pengarang) hanya menyebutkan
mutiara-mutiara hikmah tanpa memberikan judul yang sesuai dengan temanya.
Sampai akhirnya, kurang lebih tiga abad setelah zaman Imam
As-Sakandari, datang seorang ulama besar asal India yang menulis ulang
kitab al-Hikam dalam bentuk baru. Yaitu dengan cara merapikan,
mengklasifikasikan dan memberi judul untaian hikmah yang tercecer itu
berdasarkan tema yang sesuai dengan kandungannya.
Setelah tersusun rapi kitab tersebut diberi nama An-Nahju
al-Atamm fi Tabwib al-Hikam. Ulama dari India ini bernama Syaikh Ali bin
Abdul Mallik Husamuddin bin Qadli Khan al-Muttaqi al-Hindi (w. 975 H/1567 M).
Setelah 330 tahun pasca wafatnya Syaikh Ali al-Muttaqi,
Syaikh Nawawi Banten menulis kitab Mishbah adz-Dzulam. Kitab ini
merupakan syarah (komentar, keterangan dan penjabaran) atas kitab an-Nahj
al-Atamm.
Dalam penulisan kitab Mishbah adz-Dzulam, Syaikh
Nawawi Banten menggunakan metode tahlili, yaitu dengan cara menjelaskan untaian
hikmah dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang terkandung di
dalamnya. Tidak jarang muallif juga membubuhi keterangannya dengan
kisah-kisah ulama terdahulu agar pembaca lebih memahami isi hikmah yang telah
dijelaskan.
Dalam penyusunannya, kitab Mishbah adz-Dzulam
mengikuti susunan kitab an-Nahju al-Atamm. Yakni dengan cara membagi isi
kitab menjadi 30 bab yang terdiri dari 253 mutiara hikmah, dan penutup. Ke-30
bab tersebut adalah Bab Ilmu (3 hikmah), Tobat (5 hikmah), Ikhlas dalam Amal (917
hikmah), Shalat (8 hikmah), Uzlah dan Khumul (5 hikmah), Menjaga dan
Memanfaatkan Waktu (6 hikmah), Dzikir (3 hikmah), Tafakkur (3 hikmah), Zuhud
(11 hikmah), Faqir kepada Allah (7 hikmah), Riyadlah an-Nafs dan Waspada akan
tipu dayanya (15 hikmah), Khauf dan Raja’ (9 hikmah), Adab Berdoa (14 hikmah),
Pasrah kepada Allah dan Meninggalkan Usaha (9 hikmah), Sabar ketika Musibah (4
hikmah), Pertolongan dan Anugrah Allah yang Tersembunyi (21 hikmah), Pertemanan
(4 hikmah), Tamak (3 hikmah), Rendah Hati (4 hikmah), Istidraj (2 hikmah),
al-Wird dan al-Warid (14 hikmah), Tingkatan para Salik menuju Allah (13
hikmah), Qobdl dan Basth (4 hikmah), al-Anwar wa Ru’yatuha (9 hikmah),
Kedekatan Hamba kepada Allah (9 hikmah), Kedekatan Allah dari hamba-Nya (13
hikmah), Keutamaan para Arif Billah (4 hikmah), Firasat dan Istidlal atas Suatu
Hal (10 Hikmah), Nasehat dan Syaratnya agar Dapat Mempengaruhi Hati Pendengar
(6 hikmah), Syukur dan Tingkatannya (8 hikmah).
Kemudian kitab ini diakhiri dengan khatimah yang berisi munajat Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari kepada Tuhannya.
Kisah Penulisan Kitab:
Syaikh Nawawi al-Bantani menerangkan pada kata pengantar
kitab bahwa sebagian muridnya meminta beliau untuk menuliskan syarah atau
komentar dan keterangan atas kitab Al-Hikam. Namun olehnya permintaan
tersebut ditolak, dengan alasan sudah banyak ulama yang menulis penjabaran atas
kitab tersebut. Dengan penuh ketawadluan, Syaikh Nawawi juga beranggapan bahwa
dirinya tidak pantas untuk menulis itu.
Akan tetapi pada suatu saat, ketika melaksanakan ziarah ke
kota Madinah, beliau menemukan kitab Al-Hikam sudah tersusun rapi sesuai
dengan tema-temanya. Penyusunan dan perapian dilaksanakan oleh Syaikh Ali
al-Muttqi, ulama besar asal India yang hidup pada abad ke-10 H. Pada saat membaca itu, Syaikh Nawawi terketuk hatinya untuk menulis
syarah al-Hikam sebagai jawaban atas permintaan yang pernah diajukan
kepada beliau sebelumnya. Sehingga pada akhirnya tersusunlah karya monumental
ini, kitab Mishbah adz-Dzulam.
Keterangan lain yang terdapat pada kata pengantar adalah dua
hal yang memotivasi Syaikh Nawawi dalam penulisan kitab ini. Pertama, bahwa
sebagian orang mungkin saja melakukan pekerjaan baik dengan niat riya (pamer),
tetapi dengan amal itu banyak masyarakat yang mengambil manfaat. Sehingga
masyarakat ikut mendoakannya dan Allah menerima amal itu dengan berkah
keikhlasan doa mereka.
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada sebagian ulama. Setelah
membangun mushalla untuk tempat ibadah, ulama tersebut berkata dalam hati, “Aku tidak tahu, apakah amalku ini ikhlas karena Allah atau
tidak.” Maka ketika ia tertidur, seseorang mendatanginya dalam mimpi
seraya berkata, “Jika amalmu ini tidak karena Allah, cukuplah doa muslimin yang
ditujukan untukmu itu ikhlas karena Allah.” Ia pun bahagia dengan hadirnya
mimpi tersebut.
Motivasi kedua adalah kisah Sayyidi Abu al-Mawahib
asy-Syadzili. Beliau bercerita bahwa ia mimpi bertemu Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam. Beliau berkata, “Wahai Rasulullah, saya
masih pemula dalam ilmu tasawuf.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Bacalah kalam ahli tasawuf. Sesungguhnya orang yang
masih pemula dalam hal ini adalah wali Allah. Adapun orang yang sudah alim tasawuf,
maka dia bagaikan bintang yang tak dapat digapai.”
Pada keterangan yang disebutkan oleh Syaikh Nawawi ini, terlihat jelas betapa tawadlunya beliau. Sehingga menganggap
dirinya belum mampu ikhlas dan masih dangkal akan ilmu tasawuf. Sedangkan kita
sebagai pembaca harus berkeyakinan penuh bahwa ia sudah benar-benar ikhlas
karena Allah saat menulis kitab dan sudah Alim Allamah Arif billah dalam tasawuf.
Dalam kolofon, Syaikh
Nawawi menjelaskan bahwa kitab Mishbah adz-Dzulam ini ia selesaikan
pada bulan Jumadal Ula 1305 H (bertepatan dengan bulan Januari/Februari 1888
M). Kurang lebih satu bulan sebelumnya, ia telah menyelesaikan kitab tafsir
monumental, Marah Labid atau Tafsir al-Munir. Tepatnya pada malam
Rabu, 5 Rabiul Akhir tahun 1305 H/20 Desember 1887 M.
Kitab Mishbah adz-Dzulam diterbitkan oleh Mathba’ah
al-Miriyyah yang ada di Makkah sembilan tahun setelah selesai ditulis. Tepatnya
pada tahun 1314 H/1897 M, yang juga pada tahun ini Syaikh Nawawi al-Bantani
wafat.
Kini, penerbit Turats Ulama Nusantara kembali mencetak ulang
dengan tampilan baru yang sesuai dengan era millenial. Naskah terbitan ini
selain mengacu pada naskah yang diterbitkan pada tahun 1314 H, juga dimuqobalah
(dikomparasikan) dengan manuskrip An-Nahju al-Atamm yang ada ta’liqat
(komentar) dari penulisnya juga.