Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Al-Ghazali Pernah Menjadi Ateis? (Bagian I)

Avatar photo
44
×

Al-Ghazali Pernah Menjadi Ateis? (Bagian I)

Share this article

Kendati pertanyaan dalam judul terkesan mengada-ngada karena tak ada satu riwayat pun yang masyhur berkata demikian, namun pendapat bahwa Al-Ghazali pernah dalam keadaan ateisme, sesumbang dan sesayup apa pun itu, tetap perlu dikaji dan tentu saja diluruskan.

Sumber utama dari tuduhan itu tidak lain adalah autobiografi Al-Ghazali berjudul Al-Munqidz min al-Dhalal, di mana sebagian dari pengakuan Al-Ghazali disalahpahami sebagai bentuk ateisme.

Autobiografi Al-Ghazali tersebut, oleh beberapa pengkaji, baik Barat maupun Timur, disamakan (dalam konteks maupun konten) dengan ‘Pengakuan’-nya St. Augustinus. Tidak, tidak persis demikian.

Autobiografi tersebut lebih dekat kepada tradisi Islam daripada jauh ke peradaban lain. Tradisi tersebut berasal dari Al-Muhasibi, seorang sufi terkenal yang hidup di abad ke-3 H. Dan berdasarkan pengakuannya dalam Al-Munqidz, Al-Ghazali pernah memperlajari kitab-kitabnya Al-Muhasibi.

Dalam menyusun Al-Munqidz, inspirasi Al-Ghazali adalah mukadimah kitab Al-Washaya karangan Al-Muhasibi. Keduanya sama-sama mengawali kitabnya dari banyaknya pertentangan antar kelompok dalam Islam, kemudian menyebutkan hadis masyhur yang berbunyi: “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, yang selamat dari mereka hanya satu.”

Baca juga: Imam Al-Ghazali di Mata Murtadha Az-Zabidi

Dari prediksi sekaligus janji Nabi tersebut, timbul pertanyaan dalam diri Al-Ghazali dan Al-Muhasibi: dari sekian banyak golongan, kelompok manakah yang selamat? Pertanyaan inilah yang melandasi pengembaraan intelektual Al-Ghazali dari satu ilmu ke ilmu yang lain.

Dilihat dari inspirasi Al-Ghazali saja, sangat tidak mungkin ia pernah menanggalkan keimanannya. Tetapi, agar lebih jelas, kita akan menelusuri pengakuan Al-Ghazali sendiri yang dijadikan landasan atas tuduhan ateisme di atas.

Kritis Sejak Belia

Al-Ghazali mengaku bahwa sejak belia ia sangat haus ilmu pengetahuan. Bahkan, ia bersikap kritis terhadap apa yang secara turuntemurun ia pelajari dari guru-gurunya. Ia dengan tegas menentang taklid (buta). Bahkan dalam perkara akidah yang lebih banyak diwariskan oleh Islam konservatif pada masanya yang tidak lain adalah Sunni. Kita simak sendiri pengakuan Al-Ghazali berikut ini:

“Dahaga atas lubuk dari hakikat segala sesuatu merupakan kebiasaan dan perangaiku di permulaan urusanku dan di usia beliaku. (Hal tersebut) sebagai jati diri dan fitrah yang diletakkan Allah pada penciptaanku, bukan berdasarkan pilihan maupun upayaku. Sehingga terputuslah tali taklid dariku dan koyaklah atasku akidah warisan semenjak awal semula masa beliaku.”

Setelah pengakuan itu, Al-Ghazali kemudian mengungkap alasan logis di balik sikap kritisnya. Ia melihat bahwa akidah warisan yang berdasarkan taklid buta lahir dari tidak adanya bekal untuk mengkritisi warisan tersebut, lantaran anak yang lahir dari keluarga Nasrani kebanyakan akan menjadi seorang nasrani, begitu juga agama lain. Pertanyaan Al-Ghazali: kenapa demikian yang terjadi? Bukankah tiap bayi lahir dalam keadaan fitrah sebagaimana dalam hadis Nabi? Yang membengkokkan fitrah ini adalah tradisi dan lingkungan, sehingga turun-temurunlah sistem akidah warisan. Proyek kritis Al-Ghazali adalah untuk mencari fitrah yang dimaksud dalam hadis Nabi di atas.

Proyek di atas memiliki tahapan sebagaimana berikut:

1. Membedakan mana fitrah asli dan mana akidah yang datang dari ajaran orang tua maupun guru.

2. Membedakan taklid-taklid tersebut.

3. Mencari perbedaan antara taklid yang benar dan salah.

Tiga tahap dalam mencari kebenaran sejati ini tidak akan terlaksana jika saja seseorang tidak mengetahui apa itu hakikat ilmu, sehingga dengan hakikat tersebut seseorang bisa mencapai keyakinan yang tak bisa diganggu gugat.

Al-Ghazali berkata, “Ilmu yang meyakinkan (pasti) adalah ilmu yang menyingkap apa yang diketahui (al-ma’lum), dengan penyingkapan yang tidak menyisakan keraguan sedirkit pun.” Lebih jauh, bagi Al-Ghazali, ilmu pasti tersebut bukanlah ilmu yang berubah tergantung situasi dan konsisi, seperti ilmu yang tidak berubah di hadapan orang yang mampu mengubah batu menjadi emas dan situasi menakjubkan lainnya. Ilmu pasti adalah ilmu yang tidak kenal kondisi.

Baca juga: Mengapa Sebagian Orang Alergi Kitab Ihya’ Ulumiddin?

Setelah dapat pedoman ilmu pasti itu bagaimana, Al-Ghazali menengok ke dalam diri sendiri dan bertanya: apakah ilmu yang selama ini saya pelajari masih menyisakan keraguan di dalamnya? Asumsi dasarnya: kalau ilmu pasti sudah didapat, tentu saja Al-Ghazali tidak ragu dan menanyakannya. Karena “semua ilmu yang tidak ada jaminan aman dengannya bukanlah ilmu pasti (meyakinkan).”

Dari Kritis ke Spektis

Sikap kritis yang jauh hari sudah tertanam dalam diri Al-Ghazali berdampak besar kepada psikologinya. Inilah fase yang Al-Ghazali sendiri sebut dengan ‘fase sofis dan penyangkalan atas semua pengetahuan’.

Di fase ini Al-Ghazali berubah menjadi seorang yang skeptis. Pertama-tama, ia memeriksa ilmu yang telah ia punyai dan menimbangnya dengan neraca pengertian ilmu pasti, dan ia mendapati bahwa ilmu yang termasuk dalam sifat ini hanyalah ilmu indrawi dan elementer.

Namun, ternyata kedua jenis pengetahuan ini tak luput dari penyangkalan Al-Ghazali. Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada pengetahuan indrawi jika ternyata apa yang kita lihat, misalnya, bisa kita sangkal dengan ilmu pasti? Matahari di petala langit sana amat kecil di pandangan mata, tetapi menurut ilmu astronomi dan geometri besarnya berkali-kali lipat dari bumi. Maka, pengetahuan indrawi jelaslah bukan pengetahuan yang mendatangkan rasa aman karena dengan satu dan dua penyangkalan saja ia telah patah.

Tersisa pengetahuan jenis terakhir, yakni pengetahuan rasional yang elementer. Pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak daripada tiga, negasi dan afirmasi tidak bisa bertemu dalam satu perkara, dan lain sebagainya, ternyata menemui cobaan dari berbagai sisi.

Dari sisi pengetahuan indrawi, pengetahuan elementer mendapatkan pertanyaan yang cukup menggoyang: berdasar apa pengetahuan elementer dapat dipercaya sementara pengetahuan indrawi saja yang kelihatan pasti dan meyakinkan nyatanya dapat terbantahkan hanya dengan satu atau dua bantahan? Barangkali di balik pengetahuan elementer ada pengetahuan jenis lain yang bisa digunakan untuk menggugurkan keabsahan pengetahuan elementer tersebut.

Pengetahuan elementer juga mendapat penilaian dari fenomena mimpi. Ketika kita mimpi, kita yakin apa yang benar-benar nyata adalah apa yang ada di mimpi kita. Tetapi ketika kita terbangun, ternyata mimpi itu tak ubahnya khayalan. Maka, manakah yang lebih nyata: mimpi atau kenyataan? Jangan-jangan, mimpi itulah kenyataan dan kenyataan itulah mimpi. Sabda Nabi berbunyi: “Manusia itu tertidur, dan ketika ia mereka mati, mereka akan bangun.”

Penyangkalan model ini biasanya datang dari kaum sufi, yang mana dengan berbagai pendekatan yang mereka lakukan, sampai pada kesimpulan bahwa dunia ini fana. Kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah jeda tidur. Kehidupan sejati ada di akhirat nanti sebagaimana tertulis dalam al-Quran: “Kami singkap penutupmu dari kamu, maka penglihatanmu hari ini (kiamat) menjadi tajam.”

Tiba di posisi inilah Al-Ghazali skeptis terhadap segala sesuatu. Tapi pertanyaannya: apakah Tuhan termasuk yang diragukan oleh Al-Ghazali, yang mana dengan begitu sah dikatakan bahwa ia pernah dalam posisi sebagai ateis? Dan apakah jenis skeptis yang ditempuh oleh Al-Ghazali adalah skeptis mutlak sebagaimana filsuf Barat bernama Montaigne dan pengikut-pengikutnya?

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.