KH. Bahaudin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam salah satu pengajiannya memberi nasihat agar jangan memamerkan aib atau dosa di hadapan orang lain meskipun itu kecil.
Gus Baha mewanti-wanti betul sikap ceroboh itu terjadi. Memang, semua manusia di dunia ini tak luput dari yang namanya kekuarangan dan dosa. Tetapi siapa sih yang ingin aib-aibnya diungkap dan diketahui orang lain?. Pasti tidak ada dari kita yang berkenan.
Seseorang yang mengumbar aibnya sendiri pada saat yang bersamaan sebenarnya ia sedang merobek tirai (kehendak) Allah yang telah ditutupkan kepadanya. Tidak hanya itu saja, memamerkan aib juga bisa menggugah hasrat orang lain untuk melakukan perbuatan buruk. Sehingga sama saja ia menyeret atau membukakan peluang orang lain kepada lumpur dosa.
Menurut Gus baha menyimpan rahasia itu hukumnya wajib. Maka dari itu setiap dari kita sebisa mungkin jangan sampai menceritakan aibnya sendiri kecuali keadaan terpaksa dan darurat.
Gus Baha dan Nasihat Imam Ghazali Menutup Aib
Salah satu sifat-sifat Allah yang paling menonjol adalah Allah suka menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dan baiknya lagi Allah tidak suka terhadap orang yang menyebarkan aibnya sendiri. Inilah alasan mengapa Allah disifati sebagai “Sattarun lil uyub”.
Rasulullah Saw. bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Artinya “Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, “Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.” Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kiai asal Rembang itu juga menjelaskan analisa Imam Ghazali atas hadits di atas. Pertama, bagaimanapun juga Allah tidak suka kemaksiatan itu menjadi tampak dan terlihat. Artinya jika kamu bercerita ke anakmu bahwa dulu pernah pacaran (maksiat) berarti kamu memperlihatkan maskiat ke anakmu. Pilihanya adalah anakmu jadi ingin meniru maksiat seperti bapaknya atau anakmu yang selama ini menghormatimu akan hilang rasa hormatnya karena mengetahui keburukanmu.
Imam Tajuddin Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari Asy-Syadzili berkata:
مَنْ أَكْرَمَكَ إنَّما أَكْرَمَ فِيْكَ جَميلَ سَتْرِهِ. فَالحَمْدُ لِمَنْ سَتَرَكَ، لَيْسَ الحَمْدُ لِمَنْ أَكْرَمَكَ وَشَكَرَكَ
“Siapa yang memuliakanmu, maka sebenarnya ia memuliakan indahnya penutup yang Allah selipkan pada dirimu. Karena itu, segala pujian hanya bagi Allah yang telah menutupimu, bukan bagi orang yang telah memuliakan dan berterimakasih kepadamu” (kitab Al Hikam ‘Athoiyah).
Seandainya Allah SWT mengangkat satir/tabir tersebut darimu, maka belum tentu ada orang lain yang sudi untuk duduk bersama disampingmu, karena tanpa satir (penghalang) aibmu akan terbuka bagi semua orang.
Gus Baha menyimpulkan di akhir pengajiannya bahwa kemaksiatan apabila tidak mendesak diceritakan tidak perlu diceritakan. Sungguh segala puji bagi Allah yang telah menutupi aib dan bopeng yang ada di diri kita sehingga seolah-olah yang tampak adalah kebaikan.
Baca tulisan menarik lainnya tentang Gus Baha di sini.