Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kemarau Panjang dan Wali Mastur dari Damaskus

Avatar photo
26
×

Kemarau Panjang dan Wali Mastur dari Damaskus

Share this article

Tahun 1070 H, Damaskus (Dimasyq) mengalami kemarau panjang. Masyarakat Damaskus sudah melaksanakan shalat Istisqa berkali-kali, namun hujan tak kunjung datang.

Saat itu, wali yang hendak saya kisahkan ini juga berdoa istisqa sendiri, belum ikut masyarakat karena tawadhu (menutup diri). Melalui wali majzub, Allah mengilhamkan bahwa jika kalian menginginkan hujan maka hendaklah beristisqa dengan keturunan Sayyidina Abbas Radhiyallâhu ‘anhu.

Setelah itu, penguasa Syam menunjuk Sayyid Muhammad bin Umar al-Abbasi al-Khalwati ad-Dimasyqi ash-Shalihi untuk memimpin shalat Istisqa bersama-sama masyarakat. Dengan sangat sungkan, beliau pun bersedia. Beliau lalu berdoa “Ya Allah, mereka ini adalah hamba-hamba-Mu. Mereka telah berbaik sangka padaku. Karenanya janganlah Engkau singkap (aib)ku di antara mereka. Berikanlah hujan karena kebinasaan mereka.”

Masyarakat lalu pulang ke rumah masing-masing. Namun dengan kesulitan, karena paska doa itu, hujan turun dengan deras dan terus-menerus hujan selama tiga hari.

Setelah itu, masyhurlah nama Sayyid Muhammad bin Umar al-Abbasi al-Khalwati. Beliau tak mampu lagi menutupi kewaliannya.

Kisah ini terdapat dalam as-Suhûb al-Wâbilah ‘alâ Dharâih al-Hanâbilah, halaman 422.

Baca juga: Menjadi Wali dari Jalur Logika

Kemudian pada tahun 1108 H, Damaskus juga dilanda kemarau panjang, sehingga masyarakat saat itu berpuasa selama tiga hari dan pada hari keempat mereka keluar menuju tanah lapang (mushala) dalam keadaan berpuasa.

Saat itu, yang menjadi imam adalah Syekh Abul Mawahib bin Abdil Baqi, Mufti Hanabilah Damaskus, setelah terbit matahari.

Di tengah mushala diletakkan kursi. Beliau menaiki kursi dan memberikan khotbah Istisqa dan berdoa. Suara tangis semakin meninggi dan histeris sembari berdoa sepenuh hati pada Allah. Para petani juga menghadirkan sapi, kambing, dan domba di kanan-kiri mushalla.

Lalu Syekh Abul Mawahib memegang jenggot. Sembari menangis beliau berdoa, “Ilâhi, janganlah Engkau singkap jenggot putih ini di antara hamba-hamba-Mu.”

Seketika itu, muncullah dari sisi barat awan hitam. Setelah mentari berpendar dari awal musim dingin, tak terlihat di langit mendung, dan tak turun ke bumi setetes air hujan pun.

Kemudian, masyarakat pun bubar dan kembali ke rumah masing-masing.

Ketika berkumandang azan Magrib malam itu, pintu-pintu langit pun terbuka dengan air yang tercurah dan hujan mengalir selama tiga hari tiga malam.

Kisah ini terdapat dalam Silk ad-Durar, 1/80.

Kontributor

  • Nur Hasim

    Asal Madiun Jawa Timur. Menyelesaikan studi di Institut Agama Islam Banten dan sekarang melanjutkan di Qatar.