Suatu saat terdapat seorang pemuda yang ahli ibadah. Dia juga merupakan seorang yang alim di desanya. Sehingga semua penduduk akan merujuk pada dia dalam masalah urusan agama. Singkat cerita, pemuda tersebut memotong kuku dengan sengaja pada hari Rabu, padahal dia tahu ada hadits yang melarang hal tersebut.
Melihat itu, salah seorang temannya mencoba mengingatkan dia perihal larangan Nabi dari memotong kuku pada hari Rabu. Namun, karena dia merasa alim dan beranggapan hadits itu sanadnya Dhaif, hal itu tidak perlu diamalkan. Dia tetap bersikeras dengan pendiriannya. Dia tetap memotong kuku di hari Rabu. Satu persatu kuku yang ia punya ia potong dengan pemotong kuku.
Namun terjadi keanehan setelah ia selesai memotong semua kukunya. Di ujung jari kelingkinganya tiba-tiba muncul warna putih kusta yang begitu cepat merambat ke lengannya kemudian menjalar ke badannya. Dilihatnya bagian kakinya. Sama, semua menjadi kusta.
Rasa bingung segera meliputinya. Apa yang terjadi dengan tubuhnya tiba-tiba terserang penyakit barosh (kusta). Ia pun segera tidur untuk menenangkan dirinya.
Baca juga: Hadits Dhaif tapi Mujarab
Tanpa disangka-sangka dalam mimpinya ia bertemu dengan Nabi SAW. Betapa kagetnya ia, selama hidupnya belum pernah sekalipun berjumpa dengan Nabi. Spontan dalam mimpi itu ia mengadukan apa yang terjadi pada tubuhnya hari itu. Apa dosa yang pernah ia lakukan sehingga Allah memberikan penyakit itu. Lantas Rasulullah menjawab,
“Bukankah engkau pernah mendengar perkataanku yang melarang memotong kuku di hari Rabu?” ujar Rasulullah dengan nada agak membentak.
“Iya Nabi, tapi menurut saya itu kan hadits dhaif. Jadi saya tidak mengamalkan.”
“Seharusnya cukup bagimu ketika mendengar itu sebagai laranganku untuk kau amalkan.”
Pemuda itu hanya diam.
Kemudian Rasulullah mengusap badan pemuda tersebut dengan tangannya yang mulia. Dengan izin Allah, penyakit barosh yang ada di badannya hilang seketika. Setelah bangun dari mimpinya ia bertobat dan menyesali apa yang telah dilakukannya.[1]
Hadits Dhaif Bisa Diamalkan
Dari cerita di atas bisa disimpulkan bahwasannya hadits dhaif tetap bisa diamalkan. Namun dengan catatan kandungannya merupakan anjuran yang menerangkan keutamaan ibadah (fadhailul a’mal).
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya al-Manhal al-Lathif menerangkan bahwa ada 4 syarat yang harus dipenuhi hadits dhaif untuk bisa diamalkan.
Pertama, konten atau kandungan hadits berupa anjuran yang menerangkan keutamaan ibadah (fadhailul a’mal).
Kedua, bukan tentang hukum atau akidah.
Ketiga, perawinya bukan seseorang yang terkenal pembohong.
Syarat yang terakhir ketika mengamalkan adalah tidak meyakini ketetapan hadits ini, melainkan dengan berkeyakinan ihtiyath atau berhati-hati.
Baca juga: Sisi Esoteris dalam Sanad Hadits
Sayyid Muhammad menambahkan seharusnya seorang yang mengetahui hadits dhaif tidaklah langsung menghukumi bahwa “redaksi hadits ini dhaif, jangan diamalkan”. Namun menggantinya dengan perkataan “Hadits ini dhaif menurut riwayat ini.” Karena, bisa saja terdapat hadits yang sama namun dengan riwayat yang berbeda termasuk hadits shahih.
[1] Syihabuddin ahmad bin Muhammad bin Umar al-Khofaji al-Mishri, Nasim al-Riyadh fi Syarh al-Syifa lil Qodhi ‘Iyadh, (Beirut: darul Kutub Ilmiyyah) vol. 2 hal. 5