Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Khitan Wanita dalam Tinjauan Medis dan Syariat

Avatar photo
38
×

Khitan Wanita dalam Tinjauan Medis dan Syariat

Share this article

Khitan
dikenal juga dengan istilah sunat atau sirkumsisi,
adalah prosedur
bedah atau operasi kecil dengan membuang foreskin penis (bagian ujung kulit
penis yang menutupi kepala penis).

Secara medis telah terbukti bahwa khitan
bagi laki-laki
memiliki banyak manfaat bagi
kesehatan. Di antara tujuannya adalah menjaga agar kemaluan bersih dari
tumpukan lemak yang terdapat di lipatan kulit, menurunkan risiko infeksi
saluran kemih, infeksi pada penis, maupun risiko mengalami penyakit menular
seksual pada usia dewasa.

Khitan bagi laki-laki secara fikih hukumnya wajib
menurut mayoritas ulama.

Khitan Wanita Perspektif Medis

Terdapat banyak perbedaan pendapat tentang hukum khitan
bagi wanita
. D
alam
prakteknya pun terjadi banyak perbedaan dalam prosedur yang dilakukan.

Menurut WHO, khitan
wanita
termasuk kedalam mutilasi genital wanita atau female
genital mutilation
(FGM). Ada beberapa tipe FMG sesuai dengan klasifikasi
Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu mulai dari melukai, menusuk, atau menggores
klitoris atau prepusium, hingga memotong seluruh klitoris dan seluruh labia
minor dan mayor dan menyisakan saluran kemih saja tanpa indikasi medis.

Dari segi medis, tidak ada rekomendasi untuk melakukan khitan
pada bayi perempuan. WHO dan Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi Dunia (the
International Federation of Gynecology and Obstetrics
) menolak seluruh
jenis FMG dan menyebut tindakan tersebut sebagai “praktik medis yang tidak
diperlukan, yang memiliki risiko komplikasi serius dan mengancam nyawa”.

Persatuan Dokter Anak Amerika (American Academy of
Pediatrics
– AAP), juga melarang seluruh anggotanya melakukan tindakan ini,
untuk alasan di luar medis. FMG dianggap mengancam nyawa karena terdapat banyak
pembuluh darah di daerah kemaluan perempuan sehingga memiliki risiko perdarahan
yang hebat.

Kebanyakan praktik FMG dilakukan secara ilegal,
menyebabkan meningkatnya risiko infeksi akibat praktik medis yang tidak steril.
Selain itu, perempuan yang mengalami FMG juga akan mengalami ketidaknyamanan
dalam melakukan hubungan seksual yang dapat menyebabkan efek samping jangka
panjang. Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tidak
merekomendasikan khitan
wanita dalam arti pemotongan
klitoris.

Hanya saja, pada keadaan tertentu seperti terdapatnya
selaput di klitoris, dapat dilakukan pembukaan selaput tersebut. Risiko
perdarahan yang besar dan kemungkinan menyebabkan kerusakan pada daerah genital
perempuan menyebabkan prosedur ini tidak rutin dilakukan oleh banyak organisasi
kesehatan dunia.

Khitan Wanita Perspektif Syariat

Sedangkan dalam fikih, hukum khitan wanita adalah:

Pertama adalah wajib menurut mayoritas
ulama
mazhab Syafii dan ulama Hanbali, dan
inilah mayoritas pendapat ulama salaf.

Kedua adalah sunah menurut Imam Abu
hanifah dan
ulama mazhab Maliki.

Dalam muktamad mazhab Syafi’I, hukum khitan wanita memang wajib, namun sebagian Syafi’iyyah lain
menyatakan bahwa hukumnya adalah sunah baik bagi wanita maupun laki-laki
. Sebagian lainnya
berpendapat bahwa hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunah bagi wanita.
Hal ini
disebutkan oleh Imam Nawawi:

الختان
واجب على الرجال والنساء عندنا، وبه قال كثيرون من السلف، كذا حكاه الخطابي، وممن أوجبه
أحمد، وقال مالك وأبو حنيفة سنة في حق الجميع، وحكاه الرافعي وجها لنا، وحكى وجها ثالثا
أنه يجب على الرجل وسنة في المرأة، وهذان الوجهان شاذان، والمذهب الصحيح المشهور الذى
نص عليه الشافعي رحمه الله وقطع به الجمهور أنه واجب على الرجال والنساء” المجموع
شرح المهذب 1/300-301

Di antara dalil yang dijadikan landasan hukum dalam
khitan
bagi
wanita
adalah:

Pertama: Riwayat Ummu Athiyah. Ketika
itu ada seorang wanita di Madinah yang berkhitan, lalu Rasulullah Saw bersabda,
“Jika kamu mengkhitan maka hendaklah sedikit saja, jangan dihabiskan, karena
yang demikian itu lebih mempercantik wajah dan lebih disukai suami.”
(HR. Abu Dawud
dan Al-Khotib)

Kedua: Riwayat Abu
Hurairah
. Rasulullah
Saw bersabda
Dasar
kesucian (
fitrah) itu ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu
kemaluan,
mencukur bulu ketiak, mencukur
kumis, dan
memotong kuku. (HR. Bukhari
dan Muslim)

Ketiga: hadis Rasulullah Saw, “Apabila
bertemu dua khitan maka mereka wajib mandi
. (HR. Turmudzi,
Ahmad dan Ibnu Majah)

Keempat: Dalam ayat Al-Quran Surat An-Nahl
123 disebutkan:

أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيْمَ حَنِيْفٗا

Kita diperintahkan untuk mengikuti
syariat Nabi Ibrahim as. dan diantara syariatnya adalah berkhitan.

Menurut Syeikh Syarawi dan
Syeikh Yusri Jabr Al-Hasani, sebenarnya penggunaan istilah ‘al-khitan
bagi wanita kuranglah tepat
. Yang lebih
tepat yaitu ‘al-khifadz’, karena secara prosedur khitan laki-laki sangat
berbeda dengan khitan wanita.

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim
menjelaskan: “Yang wajib bagi laki- laki adalah memotong seluruh kulit (
qulf) yang
menutupi kepala khasyafah sehingga kepala zakar terbuka seluruhnya.
Sedangkan bagi wanita yang wajib hanyalah memotong sedikit daging (
jildah) yang berada
pada bagian atas
farji.

Pada tahun 2006, Darul Ifta Mesir mengeluarkan fatwa haramnya khitan bagi
wanita. Fatwa keharaman khitan ini dikeluarkan setelah konsultasi dan riset
ilmiah dari berbagai lembaga kesehatan yang terpercaya, juga kajian terhadap pendapat
yang dipaparkan oleh WHO, dimana riset ini membuktikan adanya bahaya dan dampak
negatif dari khitan perempuan.

Keharaman khitan wanita ini juga diakui oleh para ulama
besar di Al-Azhar
. Di antaranya: Prof.
Dr. Ahmad Tayyib, Prof. Dr. Ali Jum
ah, Prof. Dr.
Muhammad Rajab Bayumi, Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq Prof. Dr. Nasr Farid
Washil, Prof. Dr. Abdul Mu`thi Bayumi, Prof. Dr. Qushbi Zalth, Prof. Dr. Mahmud
Imarah, Prof. Dr. Muhammad Rif’at Utsman, Prof. Dr. Abdul Fatah Syeikh, Prof.
Dr. Muhammad Ahmadi Abu Nur, Prof. Dr. Ismail Diftar, Prof. Dr. Abdul Fadhil
Qushi, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, dan beberapa ulama besar lainnya.

Di antara sebab dan alasan pengharaman khitan bagi
wanita adalah:

Pertama: Syeikh Sayyid Thantawi (mantan Grand
Syeikh al-Azhar), Syeikh Ali Jum’ah (mantan mufti agung Mesir), dan Syeikh
Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi menyatakan bahwa tidak ditemukan dalil syar’i shahih
yang bisa dijadikan landasan dalam hukum khitan wanita; baik dari Al-Quran,
hadis maupun ijma sahabat.

Disebutkan dalam kitab Aunul Ma’bud bahwa “Hadis-hadis
tentang khitan wanita diriwayatkan dari banyak jalur, namun semuanya lemah dan ada
`illah-nya sehingga tidak bisa digunakan sebagai hujjah (dalam
pengambilan hukum).”

Disebutkan oleh Ibnu Mundzir: “Tidak ditemukan riwayat
yang benar maupun sunah yang bisa diikuti dalam hukum khitan wanita.”

Kedua: Hadis Ummu Athiyah yang
meriwayatkan tentang khitan wanita dianggap lemah oleh Imam Syaukani dan
beberapa ulama lainnya bahkan sangat lemah (daif jiddan), ada `illah,
sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalil atas hukum khitan bagi
wanita.

Ketiga: Hadis Abu Hurairah, “Lima hal
yang termasuk fitrah: momotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak,
memotong bulu kemaluan dan berkhitan,”
maksud khitan disini adalah bagi
laki-laki bukan wanita seperti halnya memotong kumis.

Keempat: Darul Ifta Mesir menegaskan bahwa
k
hitan wanita merupakan bagian dari adat masyarakat, sama
sekali tidak ada dasarnya dalam syariat Islam. Sedangkan yang disyariatkan
dalam Islam adalah khitan bagi laki-laki. Adat ini pertama kali berasal dari kebiasan
beberapa kabilah Arab.
Namun di masa kini, para dokter
dan ulama telah bersepakat menetapkan adanya bahaya medis dan dampak psikologis
pada praktek khitan bagi wanita.

Kelima: Rasulullah Saw tidak mengkhitan
satu pun anak perempuannya, dan juga tidak ada satu riwayat pun menyatakan
bahwa Rasulullah Saw memerintahkan untuk mengkhitan cucu-cucu perempuan beliau.

Keenam: Syeikh Ali Jum’ah menyatakan, “Sebenarnya
hukum khitan bagi wanita ditetapkan oleh para fukaha dengan disandarkan pada adat
dan pendapat medis di zaman tersebut.
Kemudian kondisi
dan zaman sudah berubah sebagaimana banyak hal berubah mengikuti perkembangan
zaman. Setelah dilakukan penelitian panjang oleh para pakar medis terbukti
bahwa khitan wanita membahayakan. Semua dokter profesional yang terpercaya di
dunia mengatakan hal ini. Dengan demikian, hukum yang paling tepat dalam khitan
wanita pada masa kini adalah haram. Imam Qarafi dalam Al-Ihkam

mengatakan bahwa
menghukumi keadaan dengan apa yang ada dalam buku tanpa
pengamatan pada realita adalah sesat dan menyesatkan
.”

Demikianlah, saat Islam datang adat khitan sudah ada
pada kaum Arab
. Ada seorang sahabiyah yang mempunyai keahlian dalam
mengkhitan, lalu Nabi Saw mengatakan padanya
, “Jika kamu mengkhitan maka hendaklah sedikit saja, jangan dihabiskan.”

Hadis Ummu Athiyah di atas menunjukkan
bahwa Rasulullah saw mengikrar kebolehan khitan.
Dari sini
disimpulkan bahwa hukumnya boleh
. Namun beliau
tidak pernah memerintahkannya, dengan demikian berlanjutlah adat tersebut.

Namun seiring berjalan waktu dan banyaknya penelitian
dari lembaga medis terpercaya dan pengakuan banyak dokter di seluruh dunia,
telah ditetapkan bahwa khitan wanita sama sekali tidak membawa manfaat bagi
kesehatan. Bahkan sebagian prosedur tidak bisa dijamin keamanannya, seperti
yang terjadi di beberapa daerah adanya praktek khitan wanita ilegal, praktek
khitan yang menyebabkan cedera medis dan kenyataan bahwa sebagian dari prosedur
khitan wanita dilakukan oleh dukun bayi yang tidak punya profesionalitas yang
diakui.
Hal inilah
yang mendorong sebagian ulama untuk memfatwakan bahwa
hukum khitan
bagi wanita yang
paling sesuai di masa kini, dan selaras dengan berbagai maslahat adalah haram.

Oleh karena itu, mayoritas penduduk Mesir tidak lagi
melaksanakan praktek khitan bagi anak-anak perempuan mereka, setelah lembaga
fatwa Mesir memfatwakan keharaman khitan bagi wanita dan pemerintah juga
menegaskan praktek ini
ditetapkan sebagai tindak kriminal dan
pelakunya bisa dipidana.
Begitu
juga yang akan ditemukan pada penduduk Aljazair, Maroko, Libya, Tunisia, tidak ada
yang melaksanakan praktek khitan wanita karena notabene mayoritas bermazhab
Maliki. Bagaimana dengan penduduk Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i?

Syeikhuna Dr. dr. Yusri Rusydi Jabr al-Hasani asy-Syafi’i,
Sp.BTKV,. Lc. Menyatakan
, “Ulama Syafi’iyah mewajibkan
khitan bagi wanita dengan mengkiaskannya pada laki-laki, namun khitan yang
dimaksud adalah yang dilakukan dengan prosedur medis yang tepat sehingga
terjamin keamanannya, ini poin penting yang harus diingat. Tidak mungkin kita
menjadikan pendapat Syafi’iyyah sebagai alasan untuk membenarkan praktek khitan
yang menyebabkan bahaya bagi wanita hingga menyebabkan pendarahan sampai
kematian.
Praktek-praktek khitan yang berbahaya ini jelas-jelas bukan
ajaran agama Islam.”

Dengan demikian, fatwa pengharaman yang dikeluarkan sejumlah
ulama di Mesir tidak lepas dari kondisi maraknya praktek ilegal khitan yang
tidak memenuhi standard medis yang tepat sehingga dilaporkan banyaknya kasus
pendarahan dan kematian karena khitan.

Jika ada penduduk Indonesia yang mengikuti pendapat ulama Syafi’iyyah,
hendaknya melakukannya dengan ahli medis bukan dengan nonmedis, apalagi
kalangan tradisional atau dukun bayi, sehingga prosedur khitannya aman dalam
artian prosesnya steril dan bisa menghindari potensi komplikasi. Lebih bagus
lagi jika ada pengembangan penelitian
untuk menemukan syarat,
prosedur dan tatalaksana agar khitan
tersebut tidak
membahayakan.
Karena sebagaimana diketahui bahwa penelitian medis merupakan
penelitian yang terus mengalami perubahan dan perkembangan.

Di sisi lain, perlu dicatat bahwa ruh beragama adalah taat
kepada Allah bukan asas manfaat atau maslahat.
Adanya berita bahwa Nabi
Ibrahim
as. berkhitan di usia 80 tahun
sementara resiko pendarahan di usia tersebut lebih tinggi, juga bagaimana sikap
beliau yang langsung taat tanpa bertanya manfaatnya
, juga tidak peduli mekipun tanpa anastesi atau
mempertimbangakn resiko pendarahan.

Semangatnya adalah berkorban untuk Allah dengan memotong
sebagian tubuhnya mengikuti perintah Allah. Semangat ketakwaan seperti ini
sebenarnya yang dimaksudkan ulama Syafi’iyyah saat menyimpulkan hukum wajib
khitan bagi wanita, bukan karena tahu itu ada manfaatnya ataukah tidak.

Di akhir kesimpulan, penulis menutup bahwa permasalahan khitan
wanita
berada dalam ranah khilafiyah, dan sebagaimana
yang diketahui bahwa “la yunkar al-mukhtalaf fih”, maka seorang mukalaf
hendaknya mengakui bahwa perbedaan dalam ranah dzaniyyah adalah hal yang
tidak bisa dijadikan legitimasi untuk mengklaim bahwa pendapat yang berbeda
adalah pasti salah. Silahkan mengambil pendapat yang paling diyakini dengan tetap
menghargai pendapat lain yang berbeda. Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.

Referensi:

  1. Sunat dalam Milis
    Sehat Yayasan Orang Tua Peduli.
  2. IDAI: Apakah Bayi
    Prematur Perlu Disunat? (Klik).
  3. Halodoc: Apakah Wanita
    Juga Perlu Disunat? (Klik)
  4. Al-Majmu’ Syarh
    Muhadzab
    , Imam Nawawi.
  5. Fatwa
    Dar
    ul Ifta
    Mesir
    (Klik di
    sini
    dan di
    sini
    ).
  6. Pendapat
    Syeikh Ali Jum
    ah (Klik).
  7. Pendapat
    Syeikh Yusri Jabr
    (Klik).
  8. Nama-nama
    ulama besar Al-Azhar yang mengharamkan khitan

    dapat dibaca di
    sini
    .
  9. Mausuah Fiqih
    Kuwait
    .

Kontributor

  • Sheila Ardiana

    Sheila Ardiana, Lc. MA. Pernah belajar di Darussalam Gontor 3, kemudian melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir hingga meraih gelar magister tafsir di kampus yang sama. Aktif di Pimpinan Cabang Istimewa ‘Aisyiyah (PCIA) Kairo dan menekuni kajian fikih wanita. Sekarang berdomisili di Pati Jawa Tengah.