Akhir-akhir ini semangat berislam semakin tinggi, teriakan jihad
semakin menggema, seruan takbir hanya dijadikan legitimasi dan bahan bakar
untuk melakukan kekerasan, kebencian, dan permusuhan. Di mana-mana
terdengar ajakan berislam namun dengan cara keras dan panas tanpa etika dan
sikap santun, seolah-olah Islam merupakan agama yang dipenuhi dengan kekerasan
dan paksaan.
Meski pada dasarnya mencintai Islam itu merupakan tindakan
yang sangat baik, dan semangat
beragama Islam juga sangat baik, jika tidak diiringi dengan ikhtiar
mendalami ilmu, akan terbawa pada kedangkalan makna dan peran dirinya dalam
menjalankan Islam. Sehingga tanpa terasa ia tidak bisa membedakan mana yang
benar dan salah menurut Islam itu sendiri.
Sangat disayangkan ketika semangat berislam
bertambah semakin tinggi, namun dalam memahami ajaran Islam sendiri cenderung
semakin melemah. Banyak ajaran-ajaran agama yang dipahami begitu sempit. Salah satunya yang paling fatal adalah
memahami “ibadah” sebagai ritual-ritual yang hanya berhubungan dengan Allah saja,
hingga moralitas-moralitas kehidupan sosial kurang begitu mendapat perhatian
bahkan cenderung dilalaikan. Dampaknya, “fenomena kebencian” perlahan demi
perlahan mulai membudaya di negeri kita tercinta ini.
Semangat beragama yang betul-betul telah
didasari atas kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala dan Baginda Nabi
Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam, seharusnya membawa kedamaian,
kerukunan, serta menebar rasa cinta-kasih kepada sesama, bukan malah saling
bertikai atau menebar kebencian dan teror di mana-mana.
Sikap kasih sayang dan lemah lembut
dalam menyebarkan Islam disebabkan memahami Islam secara utuh. Karena, Islam selalu
mengajarkan sikap kasih sayang kepada semua makhluk Allah subhanahu
wata’ala. Dengan kata lain, salah satu buah kecintaan seorang hamba kepada
Allah subhanahu wata’ala adalah memperlakukan seluruh hamba-Nya dengan
penuh kasih-sayang dan kecintaan. Serta tiada henti berharap keselamatan mereka
di Dunia dan Akhirat. Rasa kasih-sayang ini tidak kontradiksi dengan
perintah-Nya agar “membenci karena Allah” (al-bughdu fillah) sebab “al-bughdu
fillah” ini hanya terbatas pada wilayah perbuatan mereka saja (kemaksiatan
dan kekufuran) tidak sampai pada manusianya.
Dengan demikian, tidak benar jika
penggiringan opini yang yang berkepanjangan dan berkembang belakangan ini,
bahwa “Islam harus disebar dengan kekerasan dan peperangan”. Sebab,
opini tersebut terbantahkan oleh bagaimana al-Qur’an menjelaskan tentang
sesungguhnya Islam:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau
(Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta.” (QS. al-Anbiya’: 106)
Jika Rasulullah sallallahu
‘alaihi wasallam diutus sebagai rahmat untuk alam semesta maka seluruh yang
dibawa oleh beliau adalah “kasih-sayang” untuk seluruh alam semesta. Menyebarkan Islam dengan kekerasan sama
artinya dengan menganggap cara berdakwah nabi Muhammad sallallahu
‘alaihi wasallam yang penuh dengan kasih-sayang sudah tidak relevan.
Sukseskah Rasulullah dalam menyampaikan
dakwah dengan cara tersebut?
Peradaban Islam menjadi saksi bahwa
Rasulullah telah sukses membumikan Islam dengan ajaran penuh kasih sayang.
Betapa banyak orang kafir Makkah, bahkan luar Makkah masuk Islam dengan
penuh kerelaaan, bukan sebab terpaksa. Tidak hanya peradaban, al-Qur’an juga mengafirmasi bahwa dakwah
Rasulullah dengan ajakan “kasih-sayang” telah sukses dalam membumikan Islam.
Dalam al-Quran Allah subhanahu wata’ala:
فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah engkau (Muhammad) dapat berprilaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan
mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Semangat berislam yang tepat adalah dengan
berlomba-lomba memperoleh balasan mahabah (kecintaan) dari Allah subhanahu
wata’ala. Dia (Allah) telah menyebutkan melalui pesan yang dibawa hamba terkasih-Nya,
Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam, tentang bagaimana seorang Hamba
bisa memperoleh mahabah-Nya. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:
حقَّتْ مَحَبَّتِي عَلَى الْمُتَحَابِّينَ فِيَّ، وَحقَّتْ مَحَبَّتِي عَلَى
الْمُتَنَاصِحِينَ فِيَّ، وَحقَّتْ مَحَبَّتِي عَلَى الْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ،
وَحقَّتْ مَحَبَّتِي عَلَى الْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ
“Sungguh
nyata kecintaan–Ku terhadap hamba-hamba–Ku yang saling mencintai satu sama lain,
saling memberi nasihat, saling menyambung kekerabatan, saling mengunjungi
rumahnya, dan saling memberi di antara mereka.” (HR. Ahmad)
Dengan hadist tersebut, sikap kasih
sayang seharusnya semakin ditumbuhkan pada diri seseorang dalam menampakkan
wajah Islam yang memang penuh kasih sayang. Budaya saling menasehati,
menyambung kekerabatan, mengunjungi rumah satu sama lain, dan budaya saling
berbagi, tidak lain adalah buah dari kecintaan yang telah terpupuk di antara
mereka. Mustahil kesemuanya ditemukan tanpa
adanya perasaan cinta diantara mereka.
Hadist di atas tentu juga menjadi bukti,
bahwa sebenarnya tidak ada sedikit pun dalil yang menunjukkan Islam sebagai
agama yang penuh dengan kekerasan, paksaan, dan radikalisme.
Dalam sudut pandang hukum taklifi
(halal-haram), Syaikh Wahbah az-Zuhaili memiliki pandangan yang juga tak kalah menarik:
أما حب الإنسانية والناس فهو مندوب إليه كما جاء في الحديث السابق “لا
يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه ” لأن الانسان صنع الله
تعالى ومن مخلوقاته.
“Mencintai
kemanusiaan atau manusia hukumnya adalah sunnah sebagaimana kandungan hadist
yang telah lalu, ‘Tidak akan sempurna iman seseorang hingga ia mencintai untuk saudaranya
apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri’. Sebab manusia adalah ciptaan
Allah subhanahu wata’ala.”
Maksud dari disunnahkan (baca: sunnah)
“Mahabah kemanusiaan” menurut ulama kontemporer ini, adalah jika konsisten
dengan pondasi berpikir yang dibangun ulama salaf, yang mengarah pada konteks “motivasi
mahabahnya adalah kepentingan agama, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta serta menjauh dari mendurhakai-Nya.”