Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Pesan Taqwa dan Implikasi Sosial Tauhid

Avatar photo
33
×

Pesan Taqwa dan Implikasi Sosial Tauhid

Share this article

Kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada
di seluruh langit, dan segala sesuatu yang ada di bumi. Dan sungguh telah Kami
pesankan kepada mereka yang telah menerima Kitab Suci sebelum kamu serta padamu
juga, hendaknya kamu semua bertaqwa kepada Allah. Jika kamu ingkar, maka
(ketahuilah) sesungguhnya kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di
seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi. Allah itu Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.”
(QS. an-Nisa’: 131)

Taqwa sebagai Kesadaran Ketuhanan

Dari kutipan ayat di atas didapati penegasan bahwa pesan itu
sama untuk para pengikut Nabi Muhammad saw (orang-orang Muslim) dan mereka yang
menerima kitab suci sebelumnya, yaitu pesan taqwa kepada Allah.
Sebagai penegasan
terhadap identitas tersebut, al-Qur’an memuat 245 kali kata taqwa dengan segala
derivasinya. Taqwa memiliki barometer yang telah ditentukan Allah secara jelas
sesuai dengan kadar kemampuan manusia, yang dengannya manusia terklasifikasikan
menjadi orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang merugi (
al-Faaizuun wa al-Khaasiruun).

Taqwa” biasa
dijelaskan sebagai sikap “takut kepada Allah” atau “sikap menjaga diri dari
perbuatan jahat” atau “sikap patuh memenuhi segala kewajiban serta menjauhi
larangan Allah”. “Takut kepada Allah” mencakup segi positif “taqwa”; sedangkan “sikap menjaga diri
dari perbuatan jahat” menggambarkan satu segi saja dari keseluruhan makna “taqwa”. Dan “sikap patuh memenuhi segala
kewajiban serta menjauhi larangan Allah” terdengar terlampau legalistik.

Taqwa juga menjangkau aspek
yang sangat luas meliputi Iman, Islam dan Ihsan yang berulang kali disebutkan
dalam al-Qur’an dengan beragam derivasi. Oleh sebab itu, pemahaman yang
mendalam terhadap makna
taqwa menjadi sangat
urgen mengingat bahwa ia hadir sebagai tema global yang telah mengundang banyak
penafsiran.

Muhammad Asad dalam The Message of The Qur’an, menerjemahkan “taqwa
sebagai God-consiousness, “kesadaran ketuhanan”, yang
dalam Kitab Suci diisyaratkan sebagai tujuan diutusnya para
Nabi dan Rasul, yaitu kesadaran Tuhan Maha Hadir (omnipresent) dan
kesediaan menyesuaikan keberadaan diri seseorang di bawah cahaya kesadaran itu
(QS. al-Baqarah:115; al Hadid:4).

Kesediaan menyesuaikan keberadaan diri seseorang di bawah cahaya
kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup itu berarti kesediaan menjalani
hidup dengan standar akhlaq yang setinggi-tingginya, yaitu amal saleh,
tindakan-tindakan bermoral atau berperikemanusiaan. Dalam semangat kesadaran
akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir dan Maha Tahu itu, hidup berakhla
k bukan lagi masalah kesediaan, tapi
keharusan. Karena pesan itu tidak lain adalah kelanjutan wajar tabiat alami
manusia.

Pesan di atas pada prinsipnya sama untuk sekalian umat manusia dari segala
zaman dan tempat. Pesan itu universal sifatnya, baik secara temporal (untuk
segala zaman) maupun secara spatial (untuk segala tempat). Itu sebabnya
terdapat kesatuan esensial semua pesan Tuhan, khususnya pesan yang disampaikan
kepada umat manusia lewat agama-agama “samawi
(“berasal dari langit,” yaitu mempunyai kitab suci yang diwahyukan Tuhan kepada
seorang Nabi atau Rasul).

Tauhid dan Implikasi Sosial

Paham Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah inti ajaran al-Qur’an. Kita diperintahkan untuk tunduk (isl
am) kepada Tuhan
yang Maha Esa itu. Dan ajaran inti ini telah disampaikan Nabi kepada ummat
manusia tanpa perbedaan.

Dengan kata-kata lain, ajaran al-Qur’an adalah universal.
Segi-segi yang mendukung universalitas al-Qur’an, yaitu, Pertama, seruan
al-Qur’an tertuju kepada seluruh ummat manusia, tanpa mem
edulikan keturunan, ras dan lingkungan
budayanya.

Kedua, fakta bahwa al-Qur’an menyeru semata-mata
kepada akal manusia dan, karenanya, tidak merumuskan dogma yang bisa
diterima atas dasar kepercayaan buta semata; dan akhirnya, fakta bahwa al-Qur’an
tetap seluruhnya tak berubah dalam kata-katanya sejak ia diturunkan empat belas
abad yang lalu dan akan selamanya demikian keadaannya, karena ia dicatat
sedemikian luas, sesuai dengan janji ilahi, “Dan Kami–(Tuhan)–lah yang pasti
menjaganya” (Q. Al-Hijr: 9). Berdasarkan tiga faktor ini maka al-Qur’an
merupakan tahap akhir wahyu Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah penutup segala
Nabi.

Menyelami lebih dalam makna tauhid merupakan langkah awal yang harus
dilakukan guna menemukan korelasi maupun konsekuensi tauhid dalam kehidupan
sosial. Sungguh na
if
apabila ajaran ta
uhid
tidak disandingkan dengan kehidupan sosial. Masyarakat luas sebagai sasaran
dakwah, serta lingkungan tempat tinggal, merupakan lahan menyebarkan kebaikan.
Dalam Islam iman tidaklah berarti apa
-apa,
bila tetangga dan saudara seiman masih merengek karena kelaparan. Bahkan
dikatakan sungguh sebuah ironi ketika makanan yang kita masak tercium baunya
oleh tetangga namun kita tidak membagikanya juga.

Manusia-tauhid dan umat-tauhid memikul kewajiban
untuk memerintahkan manusia menegakkan suatu tatanan sosial yang adil dan etis.
Banyak ayat al-Quran yang mengutuk ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan, dan
menyuruh manusia untuk menegakkan suatu tatanan sosial adil dan etis.

Islam dengan spirit kemanusiaannya merupakan pondasi dalam bergerak; dan
ta
uhid
adalah orientasinya. Diri sendiri beserta keluarga sebagai unit terkecil dari
masyarakat merupakan bagian yang paling ideal dalam mengejawantahkan nilai-nilai
keta
uhidan.
Mari
berlomba-lomba menjalani kehidupan yang bertauhid dalam kehidupan sehari-hari dengan menebar
kebajikan ke sesama.

 

Kontributor

  • Asep Saepullah

    Anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian, MUI dan Dosen IIQ Jakarta.