Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Ibadah

Masa haid menurut empat mazhab: Manakah yang terbaik?

Avatar photo
59
×

Masa haid menurut empat mazhab: Manakah yang terbaik?

Share this article

Berbicara haid tidak akan pernah lepas dari persoalan masa haid, mulai dari masa minimal dan maksimal haid, hingga masa suci yang memisah antara dua darah haid.

Bukan tanpa alasan, karena selain sebagai topik utama dalam pembahasan masalah ini, masa haid juga yang menjadi titik awal perbedaan di kalangan ulama. Karena dari sinilah akan dimulai pembahasan selanjutnya soal siklus dan istihadhah.

Untuk definisi, apa itu darah haid, nyaris sepakat bahwa haid adalah darah yang keluar dari ujung rahim (aqsha al-rahim) melalui kemaluan perempuan pada masa tertentu. Frasa “pada masa tertentu” inilah yang menjadikan darah haid bisa berubah status menjadi istihadhah, ketika keluar tidak di masa tertentu tersebut. [Hasyiyah al-Bajuri: 110]

Sebagaimana hadis rasulullah;

أَخْبَرَنَا مَالِكٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أنها قَالَتْ : قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَاتركي الصَّلَاةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, ia berkata, ” Fatimah binti Abi Hubaisy berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab ‘Itu hanya darah penyakit, bukan darah haid. Bila datang haid, maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah selesai masa haid, maka cucilah darah itu dan shalatlah.” [Shohih al-Bukhari: 72]

Melalui hadis ini Rasulullah dengan jelas menyatakan bahwa darah haid yang keluar melampaui masanya (qadruha) tidak lagi dihukumi haid, sudah beralih status menjadi istihadhah. Namum demikian, dalam hadis tersebut tidak dijelaskan berapa lama masa haid yang dimaksud. Penjelasan secara rinci masa haid memang tidak dijumpai dalam hadis Rasulullah secara pasti, pun dalam al-Qur’an. [Bidayah al-Mujtahid: 54]

Dari sinilah kemudian para ulama berbeda pendapat, sesuai dengan ijtihad yang mereka lakukan.

Menurut Imam asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, minimal masa haid adalah sehari semalam atau dua puluh empat jam dan maksimalnya lima belas hari. Pendapat asy-Syafi’i ini didasarkan pada penelitian/istiqra’ beliau terhadap perempuan-perempuan Arab di zamannya. Juga berdasarkan hadis;

تَمْكُثُ إِحْدَاهُنَّ شَطْرَ عُمْرِهَا لَا تُصَلِّي

“Sebagian perempuan tidak sholat selama separuh dari umurnya.”

Memahami hadis ini, asy-Syafi’i berkesimpulan bahwa maksimal masa haid adalah lima belas hari. [Rawa’i al-Bayan: 213]. Namun menurut Imam al-Baihaqi hadis ini tidak dijumpai  oleh beliau (ghairu al-tsubut) dalam kitab-kitab hadis. Selaras dengan al-Bajuri yang dalam kitabnya hanya menyandarkan pada satu dalil yaitu istiqra’ tanpa menyingngung hadis di atas. [Hasyiyah al-Bajuri: 110]

Sedangkan minimal masa haid menurut Imam Abu Hanifah adalah tiga hari dan maksimal sepuluh hari. Pendapat ini berdasarkan hadis Abu Umamah;

أَقَلُّ الْحَيْضِ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَأَكْثَرُهُ عَشرَةُ أَيَّامٍ

“Minimal masa haid adalah tiga hari dan maksimalnya sepuluh hari.”

Namun oleh ulama yang lain hadis ini dipandang dhaif. Imam al-Jassash mengatakan, “Andaikan hadis ini shahih niscaya tidak akan ada ruang bagi ulama untuk berbeda pendapat.” [Ahkam al-Qur’an li al-Jassash: 401/I]

Selanjutnya pendapat Imam Malik. Boleh dikatakan pendapat beliau jauh berbeda dari pendapat tiga imam yang lain. Menurut beliau tidak ada batas tertentu bagi minimal masa haid.

Sedangkan untuk masa maksimalnya, dalam kitab al-Majmu’ Imam an-Nawawi menyebut tiga riwayat yang berbeda dari Imam Malik: Pertama, lima belas hari, sama seperti pendapat Imam asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Kedua, tujuh belas hari. Untuk ukuran masa maksimal haid dengan masa tertentu, riwayat inilah yang paling lama. Ketiga. Tidak ada batas tertentu sebagaimana masa minimal haid menurut beliau. [Syarh al-Yaqut al-Nafis: 117]

Oleh karenanya, bila ada wanita haid hanya satu jam saja atau mengalami haid sampai tujuh belas hari misalnya, maka jelas kalau mengikuti pendapat selain Imam Malik perempuan tersebut mengalami istihadhah. Sementara kalau mengikuti pendapat imam Malik, semuanya masih berupa darah haid.

Manakah yang Terbaik?

Penting diperhatikan. Kendati menurut Imam Malik tidak ada batas minimal dan maksimal haid (menurut sebagian riwayat), tidak bisa secara gamblang disimpulkan bahwa tidak ada darah istihadhah menurut beliau. Karena untuk memahami istihadhah tidak cukup hanya memahami masa haid, perlu juga membaca pendapat beliau terkait masa suci dan rentetan ketentuan istihadhah.

Lalu yang mana pendapat terbaik yang hendak diikuti oleh kaum perempuan? Sebentar dulu, terkait apa. Kalau berbicara landasan dalil, menurut hemat penulis pendapat Imam Syafi’i lebih kuat karena berpegang pada penelitian induktif (istiqra’). Namun jika soal kemudahan bagi kaum perempuan, pendapat Imam Malik mungkin lebih praktis.

Namun sejatinya, pilihan terbaik adalah pilihan masing-masing wanita. Jelas yang dimaksud adalah pilihan yang sesuai dengan ketentraman hati. Bukan karena mencari kebebasan taklif ibadah. Ini yang dimaksud dengan istafti qalbak (berundinglah dengan hatimu). Akhirnya, perempuan bebas memilih pendapat yang paling mudah baginya untuk diikuti sesuai dengan kehendak hati. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kontributor

  • Syarif Hidayat

    Santri PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo. Bertempat tinggal di pulau Sapudi, Sumenep, Jawa Timur. Sedang Berjuang Mengkaji Fikih dan Ushul Fikih