Menikah merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Apabila seseorang telah dewasa dan matang dalam artian telah siap secara zahir dan batin untuk menikah, maka ia pun wajib untuk menikah.
Dalam pernikahan, terdapat persoalan yang sering kali diperbincangkan dan kontroversial, yaitu poligami.
Poligami sendiri merupakan perkawinan yang dilakukan lebih dari satu dengan memiliki batasan yang telah ditentukan, yang pada umumnya dipahami sampai dengan empat wanita.
Terdapat ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu. Dalil-dalil tersebut sering dijadikan pegangan oleh kaum laki-laki untuk melakukan poligami dengan berdalih untuk mengikuti jejak Rasulullah.
Padahal realitanya banyak laki-laki yang kurang atau tidak mengerti sama sekali akan makna poligami yang benar, sehingga kebanyakan di antara mereka hanya menjadikannya untuk melampiaskan kebutuhan seksual saja dan menghilangkan tujuan mulia yang ada di dalamnya.
Awal kemunculan poligami tidak dapat diketahui secara pasti. Sejak ribuan tahun silam, sebelum Islam datang, ia sudah menjadi tradisi yang dianggap wajar.[1]
Terdapat banyak bukti yang menjadi dasar dikatakannya poligami bukanlah ajaran dari agama Islam. Negara-negara yang melakukan praktik ini seperti Rusia, Yugosliva, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris.
Demikian juga dengan beberapa bangsa Timur seperti bangsa Ibrani dan Arab. Kesemua Negara tersebut menurut catatan sejarah melakukan praktik poligami.
Para penulis Barat yang mengklaim bahwa poligami berawal dari ajaran agama Islam tidaklah benar. Sebab, negara-negara yang disebutkan di atas melakukan poligami jauh sebelum Islam datang di muka bumi, dan bahkan praktik ini berkembang pesat di Negara Afrika, India, Cina dan Jepang yang pada dasarnya tidak menganut agama Islam.[2]
Baca juga: Prostitusi Antara Problem Kemanusiaan dan Sudut Pandang Keagamaan
Poligami tidak serta merta diperbolehkan dalam Islam. Agama Islam memiliki batasan dan syarat yang ketat kepada seorang yang hendak melakukannya.
Di antaranya boleh melakukan poligami hanya sampai dengan empat istri. Itu pun apabila ia benar-benar mampu dalam berlaku adil terhadap istri-istrinya yang menyangkut persoalan nafkah, tempat tinggal dan pembagian waktu.
Islam menekankan dengan tegas, apabila khawatir tidak bisa berlaku adil maka cukuplah dengan satu istri. Hukum Islam menjelaskan bahwa prinsip dasar pernikahan adalah monogami. Yaitu seorang suami menikahi seorang perempuan saja.
Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang menyatakan:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka cukuplah seorang istri saja.”
Dan juga ketidakmampuan seorang suami berbuat adil terhadap istri-istrinya, sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 129, yang menyatakan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini seharusnya menjadi pijakan bagi para laki-laki dalam melakukan praktek rumah tangga.
Prof. Quraish Shihab di dalam kitab tafsirnya Al-Misbah menjelaskan bahwa surat an-Nisa ayat 3 tidak membuat peraturan tentang poligami karena praktik ini telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini.
Baca juga: Mufti Darul Ifta Mesir Bantah Fatwa ISIS tentang Nikah Badal
Ayat ini pun tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya. Ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Ayat tersebut hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu.
Lebih lanjut lagi, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan yang mutlak. Ayat ini menjelaskan bahwa para suami atau laki-laki sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak dapat mewujudkan dalam hati, dalam artian tidak dapat berlaku adil dalam hal cinta, karena cinta di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya.
Laki-laki dianjurkan untuk berlaku adil sesuai dengan kemampuannya, yakni dalam hal-hal yang bersifat material. Ia dianjurkan untuk mengatur hatinya dengan sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu cenderung kepada salah satu istrinya dan tidak membuat istrinya yang lain terkatung-katung.[3]
Apabila ditelisik, praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah tidak berdasar pada kebutuhan biologis.
Rasulullah berpoligami dengan menikahi perempuan yang sudah lanjut usia kecuali Sayyidah Aisyah.
Poligami juga dilakukan Nabi bukan pada kondisi atau situasi yang normal, melainkan dalam situasi perang jihad, perjuangan dan pengabdian yang tujuan utamanya untuk berdakwah dan menegakkan syiar Islam.
Dengan mengetahui sejarah poligami yang dilakukan Rasulullah beserta maksud dan tujuannya yang berprinsip mulia, secara jelas sangat jauh berbeda dengan poligami yang berkembang dalam kehidupan masyarakat masa kini, yang melupakan unsur keadilan di dalamnya sebagai syarat utama dalam melakukananya tetapi mengedepankan pemenuhan nafsu biologis.
Sementara pada era sekarang, praktik poligami justru lebih banyak menimbulkan berbagai masalah. Ia antara lain dapat memunculkan permusuhan, kebencian, pertengkaran antara para istri.
Poligami pun dinilai membuat anak-anak merasa tersisih, terlantarkan, kurang mendapat perhatian, kurang kasih sayang, dan kurang terdidik. Sehingga akhirnya permasalahan-permasalahan tersebut banyak menimbulkan kerusakan pada tatanan rumahtangga dan sosial.
Dikutip dari Republika, Kiai Nasaruddin Umar menerangkan pada tahun 2019 jumlah kasus perceraian akibat poligami sebanyak 1.255 perkara.
Rusinah yang merupakan hakim pengadilan Agama Balikpapan menuturkan bahwa minimnya kasus poligami yang tercatat di pengadilan agama bukan berarti kasusnya rendah.
Baca juga: Mendudukkan Perempuan dalam Islam dengan Adil
Melainkan karena pernikahan tersebut dilakukan di bawah tangan, tidak sah dan tanpa persetujuan istri. Ketika ketahuan istri pertama, akhirnya bercerai. Itulah yang tercatat dalam data sebagai perceraian akibat poligami.
Pada akhirnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa poligami baru dapat dilakukan dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak, dengan syarat dapat berlaku adil terhadap para istri.
Kemudian cobalah tanyakan pada diri sendiri, pada hati nurani yang terdalam, yakni melakukan poligami atas dasar mengikuti jejak Rasulullah dan memuliakan perempuan, ataukah hanya ingin memenuhi hasrat seksual semata? Wallahu a’lam bisshowwab
[1] Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, h. 126.
[2] Alhamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, h. 79-80.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 742-743.