Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Youtube

Syekh Ali Jum’ah: Bolehkah Seorang Santri Terjun ke Dunia Politik?

Avatar photo
27
×

Syekh Ali Jum’ah: Bolehkah Seorang Santri Terjun ke Dunia Politik?

Share this article

Politik atau partai politik sudah bukan menjadi barang baru apalagi tabu dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, banyak hal berkonotasi negatif terkait politik. Namun, adakah hal itu membuatnya kotor dan harus dijauhi?

Syekh Ali Jum’ah Muhammad Mufti Mesir (2003-2013) dalam salah satu pengajiannya, ditanya oleh seorang peserta pengajian. Apakah boleh seorang Azhari (pelajar/ santri Al-Azhar) ikut aktif dalam partai politik? Pertanyaan ini tentunya mempunyai konteks di negara masing-masing azhari.

Syekh Ali Jum’ah dengan lugas menjawab, “Ya, boleh. Namun bukan dalam koridor bahwa partai adalah bagian dari agama.”

Tidak cukup dengan jawaban tersebut. Syekh Ali Jum’ah menjelaskan politik dalam konteks yang lebih luas. Menurut doktor Ushul fikih Al-Azhar yang juga mendapatkan gelar kehormatan (honoris causa) dari Universitas Liverpool ini, politik dalam pengertian luas adalah mengurusi perihal bangsa dan negara, baik luar maupun dalam negeri.

Politik dengan makna luas seperti ini adalah kewajiban bagi setiap anak bangsa untuk ikut andil terhadap urusan bangsanya. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW. bersabda :

مَنْ لَمْ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang tidak mempunyai perhatian terhadap urusan orang muslim, maka dia bukanlah muslim pilihan.”

Syekh Ali lebih lanjut menjelaskan makna politik dalam pengertian partai politik. Yaitu, politik dalam pengertian sebagai sebuah parpol dengan program-program politik terkait perbaikan ekonomi, sosial, pendidikan, politik, atau prioritas manajemen. Dan parpol mempunyai kepentingan terhadap program-program tersebut. Maka, politik dalam pengertian seperti ini adalah sesuatu yang tidak ada kaitan dengan agama. Tidak ditentukan bentuk dan detailnya dalam Islam.  

Syekh Ali, lebih lanjut memberikan analogi yang sangat dekat dan mudah. Seperti bentuk masjid, makanan, rumah dan sebagainya, tak ada tuntunan pakem dalam agama.

Dalam hal makanan Allah berfirman,

“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’râf [7] : 31)

 Atau firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 19 yang berkisah tentang Ashabul Kahfi, tidak esplisit menyebut makanan tertentu hanya “makanan yang baik” (أَزْكَى طَعَام).

Lalu, makanan baik itu seperti apa ?

“Tentu berbeda antara satu dan lainnya, tergantung dengan kebiasaan setiap bangsa. Bahkan dalam menghasilkan buah-buahan dan sayuran. Apa yang ada di Malaysia bisa jadi tak ada di Mesir. Seperti Jambu malaysia, berbeda kan dengan yang ada di Mesir? Sayur gargir juga dan seterusnya.” tambah anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar ini disambut tawa peserta pengajian.

Baca juga: Bagaimana Cara Islam Masuk ke Nusantara Tanpa Darah?

Kekayaan jenis makanan, sayuran, buah-buahan ini merupakan anugerah Allah kepada manusia. Lalu, Syekh Ali menjelaskan perihal Rasulullah dalam suatu kesempatan dihidangkan daging dhab (semacam biawak) dan beliau menolak. Dan terjadilah dialog dengan para sahabat.

Sahabat pun bertanya, “Apakah ini haram wahai Rasul?”

“Tidak,“ jawab Rasulullah. 

“Tidak ada di tempatku (Makkah).” lanjut Rasul lagi.

Rasulullah SAW. tidak menyukai daging dhab karena tidak terbiasa. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga tidak menyukai kelinci, dan di beberapa negara ada yang tidak menyukai kelinci. “Padahal orang Mesir sangat menyukai kelinci,” tutur Syekh Ali lagi.

Jadi banyak hal dalam kehidupan kita ini yang Allah berikan kesempatan kepada kita untuk memilih. Termasuk urusan politik. Ketertarikan kita dengan program-program parpol bukan karena itu bagian dari agama, namun perantara kita dengannya.

“Politik dalam pengertian sebagai perantara untuk memberikan pelayanan kepada masayarakat adalah mubah (boleh),” ungkap Syekh Ali Jum’ah menutup jawaban.

Kontributor

  • Kadarisman Ahmad

    Penikmat kopi dan penyuka hujan. Aktif menulis, menerjemah dan mbakul buku. Kini tinggal di Malang, Jawa Timur.