Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Ibadah

Mengapa Imam Nawawi Tidak Memakruhkan Air Musyammas?

Avatar photo
39
×

Mengapa Imam Nawawi Tidak Memakruhkan Air Musyammas?

Share this article

Imam Syafi’i merupakan seorang mujtahid mutlak sekaligus pendiri mazhab Syafi’i. Sedangkan Imam Nawawi adalah seorang ulama besar bermazhab Syafi’i sekaligus ulama yang memfilter pendapat mazhab (muharrir mazhab).

Meskipun Imam Nawawi seorang pengikut mazhab Syafi’i, namun ada beberapa ijtihad beliau yang berbeda dari ijtihad pendiri mazhab. Kendati demikian, hal tersebut tidaklah mengeluarkan beliau dari barisan pengikut Imam Syafi’i.

Salah satu ijtihad Imam Nawawi yang berbeda dari ijtihad mazhab Syafi’i adalah mengenai hukum menggunakan air musyammas.

Sebelum beranjak lebih dalam mengenai perbedaan di antara keduanya, alangkah baiknya kita ketahui terlebih dahulu apa itu air musyammas?

Air musyammas adalah air yang dipanaskan oleh sengatan matahari. Para ulama telah memaparkan mengenai syarat-syarat air dapat dikatakan sebagai air musyammas.

Syarat Air Musyammas

Beberapa syarat air musyammas di antaranya:

1. Air berada di daerah yang panas seperti Timur Tengah. Apabila air berada di daerah beriklim tropis seperti di Indonesia, maka tidak termasuk dalam kategori air musyammas.

2. Air dipanaskan di dalam wadah yang terbuat dari selain emas dan perak, seperti besi dan kuningan. Air yang berada di danau, sungai, dan sebagainya tidak termasuk dalam kategori air musyammas.

Para ulama sepakat hukum air musyammas suci dan sah digunakan untuk bersuci. Mereka juga bersepakat bahwa hukumnya tidak makruh menggunakan air musyammas pada selain badan, seperti mencuci baju, wadah dan menyiram tanaman.

Namun mereka berselisih pendapat mengenai hukum menggunakan air musyammas pada badan seperti ketika digunakan untuk berwudhu dan mandi.

Letak Perbedaan Imam Nawawi dengan Ulama Mazhab Syafi’i

Kebanyakan ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa makruh menggunakan air musyammas untuk berwudhu dan mandi karena dapat menyebabkan penyakit barash (kusta). Mereka berpendapat demikian berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra.

Aisyah berkata, “Saya memanaskan air dengan sinar matahari, kemudian Rasulullah Saw. bersabda, ‘Jangan engkau lakukan itu wahai Humaira, karena hal itu dapat menyebabkan penyakit barash (kusta).’” (HR. Baihaqi)

Adapun Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak ada kemakruhan dalam menggunakan air musyammas secara mutlak, baik untuk berwudhu, mandi, ataupun hal-hal lain. Beliau berpendapat demikian setidaknya mempunyai dua alasan sebagai berikut:

1. Hadits yang digunakan oleh ulama mazhab Syafi’i di atas adalah hadits dhaif menurut kesepakatan ulama hadits.

2. Pernyataan bahwa menggunakan air musyammas dapat menyebabkan penyakit kusta tidak dapat dibuktikan berdasarkan ilmu kedokteran. Oleh karena itu, menurut beliau, hukum menggunakan air musyammas dikembalikan pada prinsip asal, yakni tidak adanya kemakruhan.

Demikianlah alasan mengapa Imam Nawawi tidak menghukumi makruh secara mutlak air musyammas yang berbeda dar mayoritas pendapat ulama mazhab Syafi’i. Semoga dengan paparan tersebut menjadikan kita menjadi semakin sadar akan adagium, “Ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan pendapat antar umatku adalah rahmat). Amin. Wallahu a’lamu bish shawab.

Referensi: Iktiyarat Nawawi fi al-Majmu’ al-Mukhalafah li al-Mazhab, karya Ali Muhammad al-Audah, hal. 40

Kontributor

  • Muhammad Ryan Romadhon

    Mahasantri Ma’had Aly Ponpes Al-Iman Bulus Purworejo Jawa Tengah. Sekarang tinggal di Ponpes Al-Iman Bulus Gebang Purworejo Jawa Tengah.