“Al-Maraghi tidak bisa mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah,” demikian kata Imam al-Maraghi kepada Raja Farouk.
Imam al-Maraghi yang saat itu menjabat Grand Syekh Al-Azhar menolak ketika raja terakhir Mesir itu meminta fatwa yang aneh. Beliau diminta berfatwa agar Ratu Faridah, istri yang telah diceraikannya, tidak boleh dinikah oleh orang lain. Dalam hukum Islam, seorang istri yang telah ditalak berhak menikah seusai masa idah.
Kisah ini terdapat dalam kitab Min al-Mawâqif al-Khâlidah li ‘Ulamâ` al-Azhar yang ditulis oleh Syekh Ahmad Rabi’ al-Azhari, menukil penuturan Syekh Abdul Azhim dalam kitabnya Masyîkah al-Azhar mundzu Nasy`atiha ilâ al-Yaum.
Syekh Abdul Azhim bercerita bahwa Imam Besar al-Azhar itu sakit menjelang wafat. Beliau kemudian dilarikan ke rumah sakit di Alexandria pada bulan Ramadhan, sekitaran Agustus 1945.
Raja Farouk datang menjenguk. Kunjungannya itu menyebabkan kondisi kesehatannya malah turun drastis. Sang raja baru saja menceraikan istrinya, Ratu Faridah. Niat kedatangannya tiada lain meminta dari Imam al-Maraghi agar mengeluarkan fatwa pengharaman mantan istrinya dinikah oleh orang lain selain dirinya.
Murid Muhammad Abduh itu menolak mengabulkan permintaan yang melanggar hukum Islam. Tidak terima, Raja Farouk emosi dan naik pitam. Terjadilah perdebatan sengit antar mereka berdua.
“Perkara talak, saya tidak meridhainya,” kata Imam al-Maraghi, “dan aku tidak bisa mengharam-haramkan dia dinikah oleh orang lain.”
Dengan suara sekeras-kerasnya, beliau berkata, “Al-Maraghi tidak bisa mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah.”
Usai pertemuan itu, kondisi kesehatannya memburuk. Tidak berselang lama, beliau meninggal dunia: wafat sebagai syahid—pejuang kebenaran pada 14 Ramadhan 1364 H bertepatan 22 Agustus 1945.
Imam Besar Syekh Muhammad Musthafa al-Maraghi lahir di kota Maragha provinsi Suhag pada 9 Maret 1881 M. Nasabnya bersambung sampai Sayyidna Husain bin Ali dan Fathimah putri Rasulullah saw. Beliau mengenyam pendidikan al-Azhar dan tumbuh matang dalam didikan Syekh Muhammad Abduh. Seperti sang guru, beliau banyak melakukan reformasi hukum dan lembaga al-Azhar. Beliau punya prinsip menjadikan Mesir sebagai pusat dunia Islam. Salah satu karya monumental beliau adalah Tafsir al-Maraghi.
Beliau menjabat Grand Syekh Al-Azhar selama dua kali. Pada 1928 Raja Fuad, penguasa Mesir dan Sudan waktu itu, mengeluarkan keputusan pengangkatan Imam al-Maraghi yang berusia 48 tahun sebagai Imam Besar al-Azhar.
Setahun kemudian tepatnya pada Oktober 1929, beliau mengundurkan diri dari jabatan tertinggi di al-Azhar itu usai Raja Fuad menolak rencana besar reformasi yang digagasnya.
Pada tahun 1935, Raja Fuad kembali meneken keputusan pengangkatan beliau sebagai Grand Syekh al-Azhar untuk kedua kali. Gagasan pembaharuannya diterima. Beliau memajukan sistem pendidikan al-Azhar dan itu yang terus digarap beliau hingga wafat.
Tatkala Raja Farouk naik tahta pada 1936 menggantikan ayahnya, Raja Fuad, pengaruh Imam al-Maraghi semakin besar. Beliau seperti guru bagi raja muda yang naik tahta pada usia 16 tahun itu. Era kepemimpinan beliau mencerminkan kehadiran dan peran al-Azhar dalam kehidupan politik dan sosial Mesir.