Indonesia merupakan negara yang kaya budaya dan tradisi. Dari ribuan suku yang ada, hampir semuanya memiliki ciri khas budaya dan tradisi yang berbeda. Dari keberagaman ini, Indonesia berbeda dari kebanyakan negara lain.
Selain itu yang membuat beda Indonesia adalah banyaknya tradisi yang tidak bisa diotak-atik oleh siapapun karena sudah mendarah daging di jiwa mereka (masyarakat Indonesia).
Sebab dari kebergaman tradisi yang ada di Indonesia, metode dakwah Walisongo—penyebar ajaran Islam di bumi Nusantara—juga beragam, disesuaikan dengan tempat dan waktu mereka berdakwah. Hal ini bisa dilhat dari peta dakwah yang mereka tempuh.
Sunan Kalijaga, misalnya, mengembangkan metode dakwah Islam melalui seni dan budaya. Beliau dikenal piawai sebagai pencipta bentuk-bentuk wayang dan lakon-lakon yang dimasuki ajaran Islam.
Seiring berjalannya waktu dan derasnya arus perkembangan zaman, kita harus bisa mengimbangi dengan cara memperkuat benteng akidah. Hal ini bisa terwujud dengan kuatnya daya keimanan dan keilmuan. Dengan keduanya (kuat iman dan ilmu), kita tidak akan terperdaya dengan kuatnya arus globalisasi, baik secara langsung, seperti usikan masarakat atau kelompok anti tradisi, budaya, bahkan anti NKRI di sekitar kita—yang dewasa ini semakin banyak yang mendengungkan—ataupun dengan tipu daya media sosial yang saat ini dikawatirkan memecah belah keutuhan bangsa.
Mari kita membahas salah satu tradisi yang sudah kita laksanakan turun-temurun dan masih eksis sampai saat ini, guna membentengi akidah dari usikan-usikan yang ada di sekitar kita.
Rebu Wekasan dan Hukum Pelaksanaannya
Di bulan Safar, biasanya masyarakat Indonesia—khusus di Jawa dan Madura—pada Rabu terakhir, mengadakan beberapa macam ritual, baik yang bernilai ibadah atau tidak. Seperti shalat tolak balak, selametan, sowan pada tokoh atau kiai meminta air jimat untuk diminum pada hari Rabu dan lain sebagainya.
Tradisi ini, di Jawa biasa disebut Rebu Wekasan, Rebu berarti hari Rabu, Wekasan, artinya akhir. Jadi, Rebu Wekasan adalah hari Rabu terakhir dari bulan Safar. Meraka meyakini, di hari itu merupakan hari naas dan turunnya ribuan malapetaka (bala’). Dan tradasi ini masih eksis ada hingga saat ini.
Baca juga: Menilik Tradisi Azan Pitu Warisan Sunan Gunung Jati Cirebon
Terus, apa hukum melaksanakan tradisi semacam ini dalam perspektif Islam? Secara garis besar, ada tiga kelompok yang tampak menaggapi hukum pelaksanaan tradisi ini:
Pertama, kelompok anti-tradisi dan semacamnya. Kelompok yang satu ini mengatakan hukumnya haram. Mereka memberi pernyataan tanpa melihat dari isi tradisi tersebut. Karena versi mereka, semua pekerjaan yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam ialah bidah dan perkara bidah itu sesat yang pada akhirnya orang yang melakukan kesesatan akan masuk neraka.
Kedua, kelompok yang mengatakan boleh secara mutlak, mereka tidak neko-neko dalam berargumen, tidak banyak melakukan penelitian dalili dan semacamnya. Mereka hanya berkeyakinan bahwa tradisi yang sudah dilakukan turun-temurun oleh nenek moyangnya benar. Pendapat ini mayoritas diusung oleh kalangan awam (orang yang tidak paham banyak persoalan agama.)
Ketiga, kelompok Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah). Mereka dalam menghukumi suatu tradisi, apakah haram, boleh atau wajib, masih memandang teknis pelaksanaannya dan seremoni dari tradisi tersebut.
Dalam pandangan Aswaja—walaupun tradisi Rebu Wekasan dikatakan bidah, tapi tidak semua bidah itu haram—untuk menstatuskan tradisi-tradisi yang tidak dilakukan Nabi harus memperhatikan pelaksanaan seremoninya.
Jika dalam teknis pelaksanaan terdapat hal yang menabrak syariat, baik al-Quran, hadis, atau ijmak (konsensus ulama), maka dikatakan bidah madzmumah (tercela).
Jika tidak ada yang bertabrakan atau bahkan berisi hal yang dianjurkan syariat, maka masuk katagori bidah yang mubah (boleh) atau hasanah (baik).
Hakikat Hari Naas
Dalam rentetan pelaksanaan dan hukum pelaksanaan Rebu Wekasan, sudah kita ketahui bersama, bahwa yang perlu dibahas selanjutnya adalah salah satu alasan kelompok non-Aswaja yang mengatakan haram, yaitu tentang keyakinan hari naas.
Mereka mengkaitkan keyakinan semacam ini dengan tradisi Rebu Wekasan. Memang dalam mindset Aswaja sendiri, tidak membenarkan perihal keyakinan yang semacam ini (hari naas). Dalam arti, keyakinan yang sampai membenarkan, bahwa ada satu zamam atau hari yang esensinya memberi atau turun di hari itu malapetaka (bala).
Baca juga: Tradisi Nyadran; Momen Mengambil Pelajaran dari “Empat Istri” Kita
Nabi Muhamamd shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا عدوى ولا هامة ولا صفر واتقوا المجذوم كما يتقى الأسد
“Tidak ada penularan penyakit, tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk, tidak boleh berprasangka buruk, dan tidak ada keburukan dalam bulan Safar. Dan takutlah (hindari) kalian semua pada orang yang sakit lepra, seperti takut pada singa.” (HR. Imam Baihaqi dalam as-Sunan a-Kubra)
Oleh karena itu, mindset Aswaja tidak membenarkan adanya hari naas, karena semua zaman atau hari diciptakan Allah swt.
Di setiap zaman dan hari, Allah swt. sudah menskenario pekerjaan makhluk-Nya dengan sempurna. Jika di hari itu hamba-Nya melakukan sebuah ketaatan maka di hari itu dikatakan hari berkah. Sebaliknya, jika dia berbuat kedurhakaan, maka hari itu dikatakan hari naas.
Jadi, sejatinya yang disebut hari naas—dalam mindset Aswaja—adalah hari di mana seorang hamba melakukan kemaksiatan pada Tuhannya. Begitu pula sebaliknya, jika dia melakukan kebaikan, hari itu disebut hari barakah.
Bagaimana dengan segelintir orang—yang mengatas namakan Aswaja—menyatakan hari naas itu nyata dengan berlandasan al-Quran:
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُّسْتَمِرٍّ
“Sesungguhnya Kami telah menghembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari naas yang terus-menerus.” (QS. Al-Qamar: 19)
Ayat ini tidak (bertentangan) dengan pemaparan di atas, karena penafsiran dari hari naas dalam ayat di atas adalah naas pada kelompok yang melakukan kedurhakaan pada Allah Swt. Tepatnya, yang maksud kelompok tersebut adalah kaum ‘Ad (kaum Nabi Hud. Karena kedurhakaan mereka, dikirimlah angin yang sangat kencang hingga membinasakannya. Dari peristiwa ini, hari itu disebut hari naas.
Jadi sudah jelas, tidak ada hari yang pada dzat dan esensinya memberikan marabaya (bala). Dan hari naas bisa kita sematkan bagi pelaku kedurhakaan. Karena, sejatinya hari naas adalah hari ketika seorang hamba melakukan kemaksiatan.