Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Hukum Puasa di Pertengahan Kedua Sya’ban Menurut Al-Azhar

Avatar photo
41
×

Hukum Puasa di Pertengahan Kedua Sya’ban Menurut Al-Azhar

Share this article

Para ulama telah menjelaskan
keistimewaan memperbanyak ibadah
di
bulan
Sya’ban
, terutama berpuasa. Selain mendapat pahala, berpuasa
pada
bulan Sya’ban adalah persiapan dalam
menyambut bulan agung nan mulia, Ramad
han nanti.

Terkait puasa
dalam bulan Sya’ban, Majma’ Buhuts Islamiyah
al-Azhar menerima pertanyaan dari seseorang
perihal larangan berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban.

Pertanyaan tersebut berbunyi, “Ibu saya
gemar sekali berpuasa, termasuk pada bulan Sya’ban. Tetapi beberapa orang
berkata kepada saya bahwa berpuasa
pada pertengahan kedua
dan akhir Sya’ban dilarang dalam Islam.
Apakah itu benar?”

Seperti dilansir dari Masrawy,
Komisi Fatwa Al-Azhar menjelaskan bahwa terdapat perbedaan di antara ulama
dalam hal tersebut. Namun, Komisi sepakat jika seseorang sudah terbiasa berpuasa,
melakukan puasa karena nadzar atau bahkan sedang berpuasa untuk mengqadha puasa
Ramadhan tahun lalu, maka tidak ada salahnya untuk terus berpuasa.

Namun apabila dia bukan seseorang yang
gemar berpuasa dan tidak memiliki kewajiban untuk berpuasa karena nadzar atau qadha
puasa Ramadhan, sebagian ulama berpendapat lebih baik untuk tidak berpuasa
hanya di pertengahan kedua Sya’ban.

Sedangkan jika dia hanya meneruskan
puasa sunnah yang telah dia lakukan sejak awal bulan Sya’ban, maka tidak
mengapa jika dia meneruskannya sampai akhir bulan.

Komisi
Fatwa al-Azhar
mengutip
perkataan Imam Qurthubi ra,

لا تعارض بين حديث
النهي عن صوم نصف شعبان الثاني والنهي عن تقدم رمضان بصوم يوم أو يومين وبين وصال
شعبان برمضان والجمع ممكن بأن يحمل النهي على من ليست له عادة بذلك ويحمل الأمر
على من له عادة حملا للمخاطب بذلك على ملازمة عادة الخير حتى لا يقطع

Imam Qurthubi ra menjelaskan, tidak ada
pertentangan antara hadits yang melarang berpuasa pada pertengahan kedua bulan
Sya’ban dengan hadits menyambungkan
puasa
Sya’ban
dengan Ramadhan, bahkan menggabungkan keduanya juga bisa.

Larangan yang tertulis dalam hadits
hanya berlaku kepada seseorang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa di
waktu-waktu tersebut. Sedangkan untuk seseorang yang sudah sering atau memang
terbiasa berpuasa sunnah, lebih baik terus melanjutkan agar kebiasaan baik
tersebut tidak terputus.

Komisi Fatwa al-Azhar juga menerangkan,
perbedaan pendapat ulama terkait hukum berpuasa di pertengahan kedua Sya’ban
berdasarkan nukilan Al-Munawi dalam kitab Faidlu Al-Qadir untuk sebuah
hadits:

إذا انتصف شعبان فلا
تصوموا

“Jika sudah mencapai pertengahan
Sya’ban, janganlah kalian berpuasa.”

Para ulama sepakat bahwa puasa yang
dimaksud dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terkait nadzar
atau qadha Ramadhan. Sedangkan terkait larangan di dalamnya, ada empat pendapat
menurut para ulama:

Pendapat pertama menyatakan boleh secara mutlak untuk
berpuasa di pertengahan
kedua Sya’ban.
Terlepas apakah dia pernah puasa di pertengahan awal Sya’ban kemudian sempat
terputus dan kemudian berniat melanjutkannya, atau memang tidak sempat berpuasa
di awal Sya’ban dan dia ingin berpuasa di pertengahan kedua Sya’ban.

Pendapat kedua yang diwakili oleh Ibnu Abdul Barr dan banyak diikuti oleh para mufti
lainnya, tidak mengapa berpuasa di pertengahan akhir bulan Sya’ban atau di yaum
al-syakk
, yaitu satu atau dua hari menjelang Ramadhan. Pendapat ini juga
sama seperti yang diutarakan oleh Imam Malik ra.

Pendapat ketiga menyatakan sebaliknya. Tidak boleh berpuasa di pertengahan akhir Sya’ban,
terutama di ayyam al-syakk, kecuali jika dia meneruskan puasa sunnah
yang telah dia lakukan sejak awal Sya’ban atau memang sudah terbiasa melakukan
puasa sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat terkuat di kalangan Syafi’i.

Sedangkan pendapat keempat
menyatakan haram hukumnya berpuasa satu atau dua hari menjelang Ramadhan,
tetapi tidak mengapa jika ingin berpuasa di pertengahan kedua Sya’ban. Pendapat
terakhir ini juga diikuti oleh banyak ulama.

Meski begitu, Komisi Fatwa Al-Azhar
tetap menegaskan bahwa pendapat yang mereka anggap lebih mendekati kebenaran
adalah pendapat ketiga menurut mazhab Syafi’i yang telah dijelaskan di atas. Wallahu
a’lam bis shawab.

 

 

Kontributor

  • Umar Abdulloh

    Santri Al-Azhar alumni Fakultas Hukum yang senang menertawakan dunia dan seisinya.