Darul Ifta Mesir menerima sebuah pertanyaan resmi terkait apa
sebenarnya hukum bunga bank dan apakah boleh kita memanfaatkannya.
Dalam menjawab pertanyaan ini, Darul Ifta menerangkan bahwa
syariat Islam telah mengatur kebijakan yang memudahkan manusia dalam
bertransaksi baik dari faktor kebutuhan juga kepentingan. Karenanya wajar jika
syariat sudah menjelaskan banyak hal terkait akad yang sudah sering dilakukan
manusia, seperti: jual beli, akad sewa, pergadaian, dan lain sebagainya.
Seperti dilansir dari Youm7, Lembaga Fatwa Mesir itu mengutip
sebuah firman Allah SWT yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا
بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang
beriman, penuhilah akad-akad yang kamu buat.” (QS. Al-Maidah:
1)
Makna dari kata akad yang tercantum dalam ayat tersebut adalah
seluruh akad secara umum. Lebih lanjut, Darul Ifta mengutip sebuah kaedah fikih, الأصل فى الأشياء الإباحة,
yang bermakna bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu boleh.
Allah SWT telah berfirman:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِى السَّمَاوَاتِ
وَمَا فِى الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ
“Dan
Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu
semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS.
Al-Jatsiyah: 13)
Ayat tersebut mengandung makna bahwa segala sesuatu
yang ada di muka bumi ini adalah rahmat dari Allah SWT. Semua akad transaksi
juga termasuk dari rahmat-Nya, selama tidak ada kecurangan atau unsur bahaya
dalam akad tersebut.
Imam Asy-Syafi’i ra. berkata dalam kitab Tafsir
miliknya (jilid 2, hal. 692, cet. Dar Ihya Turats), bahwa arti dari kata ‘akad’
seperti yang termaktub dalam Al-Maidah ayat satu tersebut adalah akad apa saja
secara umum seperti yang biasa orang Arab gunakan.
Imam Ar-Razi ra. turut mengamini. Dalam kitab Tafsir
Ar-Razi miliknya (jilid 20, hal. 337, cet. Dar Ihya Turats) kata akad yang
tercantum dalam surat keempat tersebut adalah akad apa saja yang mencakup jual
beli, koperasi, sumpah, hutang, nikah, dan lain sebagainya.
Beliau juga menjelaskan, jika ada dua orang yang
saling bernegosiasi dalam melakukan transaksi tertentu, mereka harus menepati
perjanjian dan syarat yang telah mereka buat.
Juga semisal ada faktor eksternal yang membuat salah
satu pihak tidak bisa menepati janjinya, transaksi tersebut boleh tetap
diteruskan selama kedua belah pihak sama-sama rela dan sepakat.
Para ulama fikih juga membolehkan adanya akad
kontemporer yang belum ada pada zaman klasik, tidak lain karena perkembangan
zaman dan teknologi. Pembahasan terkait akad-akad kontemporer tersebut
terangkum dalam bab Fikih Nawazil, suatu ilmu yang membahas
masalah-masalah baru yang masih membutuhkan penetapan hukum syariat.
Lebih lanjut, Imam Al-Sarkhasi ra. dari madzhab
Hanafi menerangkan dalam bukunya Al-Mabsuth (jilid 23, hal. 92, cet.
Darul Ma’arif) bahwa prinsip dasar
dalam semua akad adalah boleh, selaras
dengan apa yang ditulis Imam Ad-Dasuqi ra. dari madzhab Maliki, dalam Hasyiyah
Ad-Dasuqi ‘ala Al-Syarh Al-Kabir lil Imam Ad-Dardir (jilid
2, hal. 317, cet. Dar Al-Fikr).
Ibnu Taimiyyah ra. juga
turut menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa Al-Kubra miliknya (jilid 4, hal.
79, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah) bahwa asal hukum dari semua akad dan
persyaratan adalah boleh. Tidak ada larangan dan tidak ada faktor yang
membatalkan akad tersebut kecuali jika memang ada dalil dari Al-Quran atau
Sunnah yang berkata demikian.
Ibnu Taimiyyah dalam
kitabnya di atas juga menyinggung bahwa Imam Ahmad bin Hanbal ra. adalah
seorang ulama yang lebih luwes dalam menetapkan persyaratan pada suatu akad
dibandingkan dengan tiga imam madzhab yang lain.
Dari banyaknya perkataan
ulama di atas, Darul Ifta menyimpulkan, sangat wajar jika suatu akad baru
muncul pada zaman modern yang memang belum dikenal pada zaman dahulu.
Berdasarkan kaedah di
atas juga, prinsip hukum dalam semua akad baru yang tidak ada padanannya dalam
fikih klasik itu boleh, selama bermanfaat dan tidak ada unsur kecurangan atau
mengandung hal yang berbahaya.
Karenanya, pihak Darul
Ifta dan Majma’ Buhuts Al-Islamiyah Al-Azhar sepakat bahwa menabung di bank dan
berinvestasi di dalamnya adalah akad kontemporer yang merupakan perkembangan
dari akad investasi, bukan qardl alias pinjaman.
Rasulullah
SAW bersabda,
كل قرض جرّ نفعاً فهو ربا
“Setiap
akad qardl (pinjaman) yang mengambil manfaat adalah riba.”
Para ulama dari kedua
lembaga tersebut juga menjelaskan bahwa akad investasi berbeda dengan akad
pinjaman. Tentunya menabung di bank juga tidak mengandung riba karena bukan
akad pinjaman yang digunakan melainkan investasi.
Jadi boleh hukumnya menabung di bank, membuat
buku tabungan dan sertifikat investasi atau sejenisnya dari bank, atau
membelanjakan uang dari bunga yang diperoleh dari bank karena akad tersebut
adalah perpanjangan dari investasi yang dikenal secara umum. Tidak ada
kaitannya dengan qardl, juga tidak mengandung unsur kecurangan atau
sesuatu yang berbahaya.