Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Bantahan Imam Al-Ghazali atas Kemunculan Klaim Kafir

Avatar photo
42
×

Bantahan Imam Al-Ghazali atas Kemunculan Klaim Kafir

Share this article

Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad
Al-Ghazali
at-Thusi asy-Syafi’I
adalah
nama yang
tidak asing
di kalangan umat Islam.
Beliau lahir di Thus
pada tahun 450 H dan  wafat 14 Jumadil Akhir 505 H. Beliau sudah
ditinggal wafat ayahnya sejak kecil.  Beliau seorang filsuf dan teolog muslim yang
mempunyai gelar Hujjatul Islam.

Gelar Hujjatul
Islam
didapatkan beliau sebab kegigihannya dalam melawan keyakinan-keyakinan
syubhat dalam masalah akidah, dan sikap telatennya dalam membantah kerancuan
cara berpikir filosof. Semua itu tidak beliau dapatkan dengan mudah, perjalanannya
dalam mencari ilmu tidaklah gampang, hidup berdua dengan saudaranya tanpa seorang
ayah, karena ayahnya meninggal sejak Al-Ghazali masih kecil. Kehilangan sosok
ayah, tidak menyurutkan niatnya belaja. Beliau disekolahkan oleh teman ayahnya.

Di antara kitab Imam
Al-Ghazali
yang sering dijadikan referensi oleh umat Islam utamanya kalangan
NU adalah kitab Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah.
Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan secara panjang lebar terkait
kesalahan-kesalahan dalam klaim
takfir terhadap suatu golongan. Kitab ini dikarang
setelah karya monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin, dan sebelum menulis kitab ragam
cara berpikir tentang akidah, al-Munqidz minadl Dholal.

Sebab ditulisnya kitab Faishalut
Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah
adalah bahwa suatu saat teman Imam Al-Ghazali
mendengar lawan beliau dalam ilmu kalam mengatakan Imam al-Ghazali kafir dan
sesat.
Penyebab tuduhan
tersebut tidak lain kecuali iri dan hasud pada beliau.
Akhirnya
temannya tadi menyampaikan tuduhan tersebut kepadanya.

Dengan kejadian tersebut Al-Ghazali merasa sangat perihatin,
serta merasa mempunyai tanggung jawab untuk meluruskan kesalahan-kesalahan
dalam gampangnya klaim takfir kepada orang lain yang tidak sepaham dengannya.
Oleh sebab itulah, Imam Al-Ghazali menulis kitab
kitab Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah.

Fenomena Klaim Kafir

Imam Al-Ghazali (1058 M– 1111 M) dalam pengantar kitab Faishalut Tafriqah bainal Islam
waz Zindiqah
mengungkap keresahannya perihal klaim kafir pada umat Islam.
Cend
ekiawan
Muslim saat itu salah dalam meng
kategorikan mana masalah pokok keyakinan
(akidah), dan mana cabang dari keyakinan.

Menurutnya, betapa banyak perdebatan
antara tokoh muslim namun minim dalam memberikan kontribusi untuk meyakinkan
umat Islam pada kebenaran. Sedangkan umat Islam dilanda berbagai fitnah tentang
akidah. Selain itu, banyak para pendakwah yang menganggap dirinya ada pada
kebenaran, namun nyatanya ada dalam kesalahan.
Bahkan orang-orang yang mengajak kepada persatuan dalam bingkai keislaman acap kali
diacuhkan dan dijauhkan. Umat Islam menjadi bingung tanpa tahu kebenaran, semua
nasihat para ulama menjadi boomerang bagi mereka, bahkan sama sekali tidak
dianggap kebenarannya. Padahal, pemicu terjadinya masalah tersebut disebabkan
masalah kecil yang dibesar-besarkan.

Yang cukup mengherankan, menurut al-Ghazali,
mereka yang mengeluarkan fatwa “paling benar” dan “paling Islam”, melarang umat
Islam untuk mengikuti fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama selain kelompok
dari golongannya yang mengaku paling benar. Bahkan jika ada yang mengajak pada
kebenaran namun bukan dari kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai
“paling Islam” harus ditinggalkan, tidak boleh diikuti.

Kritik untuk Kelompok yang Sering Mengeluarkan Klaim Kafir

Imam Al-Ghazali mengajak para pendakwah untuk bisa menebarkan
sikap tasamuh dalam berdakwah, serta mengedepankan persatuan. Melalui
kitab
Faishalut Tafriqah bainal Islam waz
Zindiqah,
beliau menyampaikan bahwa menjadi tokoh Islam artinya, akan
menjadi penunjuk umat dalam meraih hidayah, baik di suatu desa ataupun kota. Menyampaikan
dengan kata yang lemah-lembut penuh hikmah, merapatkan barisaan, berpegang
teguh pada agama Allah yang kokoh.

Dalam kitab
tersebut, beliau
memberikan standar agar tidak mudah menjustifikasi orang lain keluar dari Islam.
Karena bagaimanapun, orang-orang yang masih mengimani kenabian Rasulullah saw,
dan mengakui setiap kepastian dalam agama yang sudah menjadi aturan Islam
secara pasti, tetap dihukumi sebagai orang Islam yang wajib dijaga darah, jiwa,
dan hartanya. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah hadist
yang diriwayatkan dari Anas bin Malik:

مَنْ صَلَّى صَلاتَنَا، وَاسْتَقْبَلَ
قِبْلَتَنَا، وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا، فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ
اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ، فَلا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ

“Barang siapa shalat sebagaimana shalat
kita, menghadap arah kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka dia adalah
seorang Muslim, ia mempunyai perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya. Maka
janganlah kamu mendurhakai Allah dengan mencederai perlindungan-Nya.”

Yang terpenting dalam masalah akidah adalah tetap
menyampaikan pokok-pokok dan cabang dalam akidah sebagaimana pokok dan cabang
perihal ibadah, agar umat Islam tahu perbedaannya secara pasti; antara orang
yang tersesat dan orang yang diangap bidah, serta bisa membedakan; antara orang
yang kekal dalam neraka, dan yang sekedar melintasinya. Karena, tidak sep
antasnya umat
Islam menganggap kafir terhadap suatu kelompok yang pemahaman dalam akidah
tidak sama dengannya.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa, problem klaim kafir pada
umat Islam yang tidak sama dalam pemahaman bukanlah sesuatu yang baru terjadi.
Bahkan Imam Al-Ghazali menjadi sasaran tuduhan kafir sebab kegigihan beliau
dalam menjawab dan membantah syubhat kepada orang-orang yang menganggap dirinya
sebagai kelompok “paling Islam”.

Imam Al-Ghazali juga menyampaikan, bahwa munculnya klaim kafir
disebabkan mereka tidak
paham koridor dan standar takfir secara khusus. Beliau juga
menyampaikan bahwa perbedaan amaliyah dalam masalah ibadah tidak sampai
berujung pada kekafiran.

Menariknya, Imam Al-Ghazali membahas
masalah penting bagi umat Islam melalui pembahasan yang sangat rinci; mulai
dari pokok-pokok akidah, sampai cabang-cabangnya dalam kitab
tersebut yang berjumlah 127
halaman, meski secara eksplisit juga disinggung dalam kitab Ihya’ Ulumiddin
pada pembahasan tauhid, dan dalam kitab al-Munqidz minadl Dholal.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.