Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Yang Harus Diketahui Agar Tidak Keliru Menafsirkan Al-Quran

Avatar photo
55
×

Yang Harus Diketahui Agar Tidak Keliru Menafsirkan Al-Quran

Share this article

Al-Quran adalah kitab ajaib. Ia mampu berteofani terhadap berbagai macam
wujud yang ada di dunia ini, termasuk wujud manusia dengan segala aspeknya,
baik dari sisi zahir maupun batin.

Atas
dasar keluasan cakupannya itu, para ulama kemudian mencoba untuk menyusun
konsep
penafsiran
yang baku atas
al-Quran agar signifikansi maknanya tidak dipolitisir oleh nafsu-nafsu duniawi
dan angkara murka. Sehingga fungsinya sebagai kitab hidayah, rahmat dan kabar
gembira bagi sekalian umat manusia tidak bergeser menjadi inspirasi bagi
tindakan-tindakan yang tidak terpuji.

Penyusunan
konsep ini tentunya tidaklah mudah. Ulama sendiri secara qadrati terikat secara
kuat dengan aturan-aturan yang dibuat oleh Nabi dan murid-murid didiknya secara
langsung. Tak terkecuali ketika mereka merumuskan kaidah-kaidah penafsiran.

Ulama
mensyaratkan setidaknya 15 ilmu yang wajib dikuasai seseorang sebelum ia
diperbolehkan secara legal untuk menafsirkan al-Quran.

Kita
bisa mengambil satu contoh saja dari syarat-syarat tersebut sebagai wujud riil
dari betapa pentingnya tradisi sahabat bagi cara keberagamaan kita di satu
sisi, dan betapa cerdasnya ulama dalam mengkonseptualkan sebuah ilmu baru yang
terilhami secara langsung dari tradisi tersebut di sisi lain.

Satu
contoh yang bisa kita ambil yaitu, ilmu
asbabun
nuzul
. Kenapa seorang
penafsir harus memahami asbabun nuzul suatu ayat? Untuk menjawab pertanyaan ini
kita harus melacak akar sejarah dari sistem kebahasaan yang memunculkan ilmu asbabun
nuzul itu sendiri.

Diceritakan
dalam sebuah riwayat bahwa Khalifah Umar bin Khatab menugaskan sahabatnya yang
saleh dan rajin beribadah, yakni Qudamah bin Madz’un, untuk menjadi Gubernur di
Bahrain. Di tengah ia menjabat, terjadilah peristiwa yang menghebohkan.

Problem
bermula ketika Jarud Abdul Qais datang langsung dari Bahrain berniat melaporkan
hal kontroversial yang terjadi di negaranya kepada Khalifah Umar, “Wahai Amirul
Mukminin, Qudamah telah meminum khamar dan mabuk, maka jatuhkanlah hukuman had
kepadanya.”

Setelah
melakukan diskusi yang cukup panjang, akhirnya Qudamah dipanggil oleh Khalifah
Umar untuk dimintai keterangan.

Qudamah
pun bersedia
memberikan
klarifikasi atas perbuatannya yang nyeleneh itu. Ia berargumen,
“Jika memang aku telah meminum khamar, maka Anda tidak berhak menghukumku.
Karena Allah Swt telah berfirman: ‘Tidak ada dosa bagi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah
mereka makan dahulu apabila mereka bertaqwa, beriman dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh
.’ (QS. Al-Maidah: 93)

Khalifah
Umar seketika berkata, “Wahai
saudaraku, takwilmu itu keliru. Justru jika kamu bertakwa kepada
Allah, kamu pasti menjaukan diri dari apa yang diharamkan-Nya!”

Dari
hadis ini kita dapat mengetahui alasan kenapa Qudamah meminum khamar dan alasan
kenapa ia tidak merasa bersalah atas tindakannya itu. Ia bertendensi pada
potongan ayat di atas dengan pemahaman: “Karena saya bertakwa, beriman dan
beramal saleh, maka saya boleh meminum khamar!”

Dalam
riwayat yang lain dikatakan, setelah mendengarkan jawaban Qudamah, Khalifah
Umar lantas bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Siapa di antara kalian yang
ingin membantah argumentasinya?”

Ibnu
Abbas pun ikut memberi jawaban. Dengan kepakarannya sebagai mufasir, ia berkata,
“Ayat-ayat itu diturunkan sebagai kompensasi bagi muslim yang meminum khamar
dan wafat sebelum khamar itu diharamkan. Kemudian menjadi dalil atas keharaman khamar
bagi muslim yang masih hidup saat ini. Karena ayat yang menerangkan
keharamannya sangat jelas. Jadi maksud dari ayat tersebut bagi kita yang masih
hidup sekarang yakni, bahwa Allah tetap mengharamkan khamar meskipun ia adalah
orang yang bertakwa, beriman, beramal shaleh dan seterusnya.”

Umar
dan para sahabat yang hadir pun membenarkan jawaban Ibn
u
Abbas tersebut.

Seperti
yang terlihat, Ibnu Abbas mengetahui betul perihal asbabun nuzul sebuah ayat
beserta maqasidnya sehingga penafsiran orang lain bisa ia koreksi agar berjalan
sesuai dengan maksud ayat yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa
pencantuman asbabun nuzul sebagai syarat wajib bagi mufasir memang berangkat
dari tradisi yang hidup, tradisi salaf saleh, yang mana apabila keluar dari
koridor ini akan menyebabkan kerancuan penafsiran.

Dengan
kata lain, para sarjana al-Quran mengkodifikasikan syarat-syarat yang wajib
dipenuhi bagi seorang mufasir disesuaikan dengan pengalaman kolektif dari para
sahabat Nabi itu sendiri. Kaidah “kembali kepada tradisi” ini tentunya tidak
hanya berlaku pada asbabun nuzul saja, syarat-syarat lainnya juga mempunyai
akar kesejarahan dan rasionalitasnya tersendiri yang ketika ditelusuri ada
relasi yang jelas dengan tradisi keilmuan dari masa sahabat.

Jadi
jika ditanya, bagaimana cara kita menyikapi keluasan makna al-Quran yang sangat
spektakuler itu? Ya mau tak mau kita juga harus memperhatikan kaidah-kaidah
penafsiran umum yang telah dikonseptualkan oleh para mufasir terlebih dahulu.

Al-Quran
lebih luas dan lebih dalam dari sekedar lautan samudra. Bahkan tidak bertepi.
Karena sangat luas dan dalam, kita akan tenggelam jika tidak mempunyai
keterampilan berenang atau tidak menggunakan alat bantu khusus untuk
menyebranginya.

Meskipun konsep-konsep tersebut tak lain merupakan rumusan
manusia yang tentu saja tidak bisa terlepas dari bias-bias kesalahan. Cara
memahami agama memang membutuhkan kompromi-kompromi.

Tapi
bagaimanapun al-Quran tetaplah Maha Kuat dan Maha Luas.
Dalam artian, yang berarti tidak ada manusia yang mampu mengeksplornya 100%
meskipun hanya satu ayat saja.

***

Lalu
kenapa metodologi penafsiran yang telah “dimatangkan” oleh para ulama ini
kemudian menuai kritik dari para pemikir liberal dengan dalih bahwa makna
al-Quran ini sangat luas alias tidak boleh “dipolitisasi” penafsirannya hanya
bagi kalangan ulama saja?

Singkat
kata, dalam hal ini baik kalangan ulama
maupun pemikir
liberal sama-sama melihat luasnya kemungkinan munculnya makna-makna baru yang
ada di dalam al-Quran. Tapi perbedaannya, ulama, di samping sisi melihat hal
positif tersebut, mereka juga melihat ‘efek negatif’ dari keluasan makna itu
ketika diserahkan kepada khalayak umum dengan bebas sebebas-bebasnya.

Apa
yang diperbolehkan ulama untuk kalangan awam seperti saya, dan barangkali Anda,
yakni sebatas tadabbur qurani. Sebatas itu. Sedangkan untuk masalah tafsir
dengan makna ketatnya kita diwajibkan mengikuti ulama yang sudah kapabel di
bidang itu, seperti Habib Quraish Shibab, misalnya. Bukankah keputusan para
ulama dalam hal ini sangat bijaksana dan proporsional?

Berbeda
dengan ulama, orang-orang liberal nampaknya tidak melihat atau bisa jadi
menutup mata tentang betapa membahayakannya model “penafsiran
terbuka” yang mereka sering dengungkan itu.

Mereka
akan tercengang ketika dikatakan, “
Lihatlah
para jihadis bodoh yang kalian anggap ekstrimis itu. Mereka menafsirkan
al-Quran sekehendaknya dengan alasan bahwa kitab suci ini menerima
banyak penafsiran. Bukankah pola pikir mereka sama sepertimu meskipun dalam
bentuknya yang lain, yakni sama-sama ekstrimis tapi berbeda corak saja,
bukan?”

Sebagai
tambahan, ada beberapa ilmu baru yang pada akhirnya harus dikuasai pula oleh
seorang
mufasir masa kini sebagai tuntutan zaman yang terus berdinamika dengan
anomali-anomali epistemenya yang harus dihormati bersama.

Referensi:

1.
Imam Abu Abdillah bin Ismail al-Bukhari, At-Tarikh al-Ausath.
2. Imam Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran.
3. Dr. M. Husain az-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun.

Kontributor

  • Bumi Sepuh Hafidzahullah

    Nama aslinya Syamsudin Asyrofi, aktifis Lakpesdam NU, mahasiswa S2 di Universitas Al-Azhar Mesir jurusan Tafsir dan Ulumul Quran dengan konsentrasi tesis bertemakan tafsir sufistik dalam bingkai sosial.