Kenapa ada anak kiai yang nakal, tidak beradab dan hidupnya amburadul?
Saya sudah lama mencari jawaban atas pertanyaan itu, bukan untuk su’udzan kepada pemuka agama, melainkan untuk menjaga diri sendiri agar bisa mengantisipasi hal-hal yang berkemungkinan buruk di masa depan.
Tentu ada banyak jawabannya, entah dari faktor psikologis, pendidikan, sistem sosial atau faktor lingkungan, tapi saya mencari jawaban yang berhubungan dengan ranah lain di luar logika umum masyarakat.
Saya mendapatkan sebuah jawaban yang saya butuhkan waktu itu, yaitu secara sederhana ada hubungannya dengan pembersihan dan pengelolaan energi spiritual yang kemudian bercampur dengan air mani. Tesis yang diajukan cukup masuk akal, tapi sayangnya jawaban ini tidak saya dapatkan dari seorang ulama muslim, melainkan dari ahli spiritual non muslim dan tidak ada landasan teologisnya yang bisa saya percayai. Oleh sebab itu, saya tidak terlalu mengindahkannya waktu itu, saya lebih membutuhkan jawaban lain dari seorang ulama sesama muslim sendiri…
Kemudian saya mendapatkan jawaban lain, dari seorang ulama masyhur, salah satu sufi besar di Mesir, yaitu Imam Abdul Wahab as-Sya’rani dalam kitabnya yang berjudul al-‘Uhud al-Muhammadiyah. Beliau mendengar dari gurunya yang seorang wali besar di zamannya, yakni Sayyidi Ali al-Khawwash, berkata:
إنما كان غالب أولاد الأولياء والعلماء لا حياء فيهم، ولا أدب، ولا فضيلة؛ لأنهم عكارة ظهور آبائهم حين تصفو من الكدورات، فنزل ذلك في نطفة أولادهم، بخلاف أولاد الفلاحين والعوام الغالب عليهم اكتساب الفضائل لموت آبائهم من غير تصفية
Nah, inilah jawaban yang saya cari. Jadi ternyata munculnya anak yang nakal dari seorang ulama dan wali bukanlah suatu kebetulan. Ada penyebabnya. Ada pula solusinya. Saya kira tidak perlu menerjemahkan teksnya, tidak perlu pula memberi keterangan lanjutan, karena saya yakin mereka yang bertitel ulama pasti bisa memahaminya sendiri lebih jauh.
Saya hanya memberikan informasi bahwa orang yang religius dan sedang mengawali laku spiritual, energinya akan mengalir dan fokus di perut, ketika energinya fokus di perut maka syahwat nafsunya membesar dan menggebu-gebu. Perut adalah simbol dari hawa nafsu yang berunsur panas. Hal ini berbahaya ketika orang yang bersangkutan disuruh untuk mengajar para santrinya yang berlainan jenis. Kita beberapa kali mendengar adanya berita kasus asusila di asrama pendidikan agama bukan? Lalu bagaimana solusinya?
Jika orang yang bersangkutan ada di posisi itu, ia secara mandiri harus membangun akalnya secara kokoh dan kuat. Akal di sini bukanlah akal seperti yang kita fahami, melainkan sebuah kecerdasan “akal spiritual” layaknya akal yang biasa dimiliki oleh para biksu. Jadi, akal adalah lawan kata dari syahwat sebagaimana yang diungkapkan juga oleh para sufi.
Perbedaan antara teknik biksu dengan para sufi adalah, ketika peningkatan akal ala biksu adalah peningkatan akal murni yang ada pada setiap manusia, pada tradisi sufistik selain bertumpu pada akal murni juga pada peningkatan akal syariat sehingga hasilnya lebih proporsional dan kuat. Tapi apapun itu, polanya relatif sama, bahwa ketika akal membesar dan bersifat dominan dalam diri seseorang, maka syahwatnya akan mengecil dan terkendali. Sebaliknya, ketika syahwat membesar, maka akal akan mengecil dan bahkan menghilang fungsinya seolah-olah menjadi sesosok hewan yang buas. Secara teknis, ia membutuhkan riyadhah untuk menjernihkan pikirannya, agar akal spiritualnya kuat dan tidak tergoda dengan nuansa-nuansa hawa nafsu.
Kemudian solusi selanjutnya adalah ia harus mencari guru spiritual yang terpercaya, ia membutuhkan bimbingan mursyid yang ilmu syariat dan hakikatnya mumpuni, sehingga energi spiritualnya bisa naik dari alat vital dan perut menuju jantung, dari jantung menuju tenggorokan, dari tenggorokan menuju kepala.
Seorang mursyid akan membimbingnya, membersihkan energinya yang kotor dan membentenginya dengan laku-laku sufistik. Kalau energi spiritualnya sudah di jantung, ia sebagai ustaz yang baik baru boleh mengajar para santriwatinya, kalau belum sampai di jantung, atau justru masih di bawah perut, maka lebih baik ia tidak melakukan aktivitas di luar kemampuannya karena syahwatnya belum stabil. Alur seperti ini tidak memandang umur antara yang muda dan yang tua. Semua orang perlu meningkatkan akal spiritualnya dari perut ke kepala agar terhindar dari hawa nafsu yang tidak terkendali itu.
Ya, di antara cobaan terberat seorang ulama dan auliya adalah ketika mempunyai anak yang nakal. Tapi rupa-rupanya, adanya anak yang nakal itu mempunyai sisi positif. Pertama, sebagai tanda bahwa ulama tersebut memang adalah ulama sungguhan secara lahir dan batin selama ia terus istikamah memberikan pendidikan dengan sabar kepada si anak itu. Kedua, si anak yang nakal tersebut justru adalah anak yang istimewa.
Kenakalan si anak adalah akibat dari kesalahannya sendiri. Jika ia mau berubah, ia akan menjadi lebih alim, lebih berwibawa dan lebih memanusiakan manusia daripada saudara-saudaranya yang lain karena sejak awal ia terlahir istimewa. Ia harus didik dengan cara yang khusus karena setan tidak akan membiarkannya menjadi orang yang baik dan alim. Jadi, jika ia dibiarkan tanpa pendidikan akan menjadi anak yang sangat nakal, sebagai cobaan untuk ayahnya yang seorang ulama, tapi jika ia berhasil dididik secara khusus maka akan menjadi lebih alim daripada ayahnya sendiri. Coba perhatikan perkataan Imam Sya’roni berikut ini:
أخذ علينا العهد العام من رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نؤدب أولادنا الذكور والإناث، ولا نكل تأديب البنات إلى أمهن جملة كما عليه بعضهم، لا سيما إن كنا أعلم بالأدب من الأم، وهذا باب قد أغفله غالب الناس حتى صار الولد الأمرد يجلس يلغو بين الرجال الأكابر ويمزح، ولا شك أن الأب المسؤول عن ذلك فعليه الأمر لولده بالخير ويبقى من الله تعالى، وقد أدركنا الناس وهم يؤدبون أولادهم ليلا ونهارا، ولا يكتفون بالفقيه أو المعلم، فإن قلب الأجنبي على الولد ليس كقلب الوالد… فأدب يا أخي ولدك ولا تغفل عنه وإن كنت شيخ زاوية
Saya kira solusi yang ditawarkan oleh Imam Sya’roni yang saya kutip di atas dan pada kutipan terakhir ini lebih dari cukup sebagai landasan awal. Seorang ulama yang mempunyai anak yang nakal adalah sebuah fenomena umum dari masa ke masa. Hal ini sulit untuk dihindari, tapi setidaknya kita bisa mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan akibat keteledoran kita sendiri dengan melakukan apa yang disarankan oleh para al-‘arif billah itu.
Lalu bagaimana dengan kita sebagai orang awam? Apakah kita perlu memikirkan solusi yang ditawarkan oleh Imam Sya’roni di atas? Ya tidak perlu. Saya dan kamu bukanlah ulama, jadi kamu akan baik-baik saja, sebagaimana yang diuraikan oleh Imam Sya’roni di atas bahwa para petani dan orang awam justru mempunyai keturunan yang baik-baik dengan alasan yang disebutkan di atas.
Kita bukan ulama, tapi jika kamu adalah Gus atau Ning atau ustaz di pondok, maka kamu harus belajar lagi sebelum terlambat, terutama belajar mengelola diri dengan dua hal: meningkatkan daya akal dan berguru kepada mursyid yang terpercaya. Sebagai pendidik agama, akalmu harus kuat, mempunyai istri cantik tidaklah cukup, poligami juga tidaklah cukup, kamu harus menanggulanginya sendiri secara alami.
Please login to comment