Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sikap Wara’ dan Keyakinan Pelaku

Avatar photo
30
×

Sikap Wara’ dan Keyakinan Pelaku

Share this article

Suatu waktu Rasulullah pernah wudhu dari bak mandi wanita musyrik. Sayyidina Umar juga pernah berwudhu dengan jarrah (air bawaan) kawannya yang Nasrani. Bahkan seandainya haus, mereka akan meminumnyakata Imam Al-Ghazali—atas dasar keyakinan tentang kesucian air tersebut. Nabi juga pernah menggadaikan baju zirrah (perang)nya demi memberi makan keluarganya. Padahal umumnya, orang Yahudi melakukan praktik riba.

Selain sikap toleransi yang diwariskan untuk kita, tentu menarik untuk mengaitkannya dengan sikap wara’ (waspada) dalam beragama. Sekilas bagi orang yang gegabah akan menilai,Ngapain Rasulullah dan Umar melakukan itu?! Apa tidak punya pilihan lain.”

Di sini perlu mendudukkan antara sikap wara’ dan ceroboh: wara’ yang melampaui batas-batas wajar bisa terjerembab dalam sikap waswasah (plin-plan) beragama. Sementara ceroboh bisa menjerumuskan seseorang dalam hal yang diharamkan dan dilarang.

Lantas, bukankah Nabi sudah bersabda bahwa perkara halal sudah jelas dan perkara haram juga sudah jelas. Dan ini tak akan berubah sampai hari kiamat. Yang menjadi polemik adalah perkara yang masih syubhat (remang-remang). Atau dalam konteks yang lebih luas “sesuatu yang masih diperdebatkan oleh ulama”.

Dari perkara syubhat tercetus konsep wara’. Wara’ adalah sikap berhati-hati tatkala berhadapan dengan sesuatu yang masih remang-remang. Seperti Abu Bakar yang meminum susu di dapurnya sendiri. Namun karena belum mengetahui asal-asulnya dia memaksa memuntahkannya.  Atau beberapa ulama, seperti Ali Zainal Abidin putra Husein bin Ali, yang tidak mau mengambil duitnya yang terlupa di masjid karena kuatir bukan miliknya.

Baca juga: Pengertian Syubhat, Kiat dan Tips Mengatasinya

Semua ini disebut sebagai sikap wara’, tapi menurut Habib Zain bin Smith dalam Al-Manhaj As-Sawi masuk kategori wara’ khusus, bukan umum. Sikap privatif yang bukan untuk difatwakan pada orang awam sebab akan mempersulit praktik agama.

Halal Murni Hanya Rejeki Para Nabi   

Dengan berseloroh Gus Baha pernah mengatakan, “Nabi Musa hidup dan makan di istana Fir’aun semenjak kecil. Tapi karena beliau kekasih Allah, maka gak ada masalah. Makanya jadilah kekasih Allah.

Jadi harus bagaimana? Bersikap wara’ dan memandang semua hal dengan cermat dan curiga? Atau hidup ya nyantai aja: asal yang tampak di mata bukan milik orang lain dan tidak merugikan atau merampas hak-hak mereka.

Imam As-Sya’rani bercerita: ada seseorang berdoa di hadapan Al-Hasan bin Ali (cucu Nabi Saw.), “Ya Allah, anugerahi saya rejeki yang halal murni.

Al-Hasan mengingatkan,Hei kamu, mintalah pada Allah rejeki yang tidak diazab karenanya. Sebab rejeki yang halal dan murni adalah rejeki para nabi.”

Baca juga: 

Ahlul Bait juga mewariskan pada kita sebuah doa: “Ya Allah, saya memohon padaMu kesehatan dalam takwa, panjang umur dalam amal baik, dan rejeki yang lapang tanpa Engkau azab.”

Dari kedua doa ini bisa disimpulkan bahwa halal murni hanya milik para nabi yang terjamin (ma’shum).

Keyakinan Subyek Menentukan Hukum

Terus bagaimana sikap kita terhadap perkara yang masih diperselisihkan oleh ulama?  Solusi dari Imam Al-Ghazali: semua kembali pada keyakinan subyek (pelaku). Bukan dikembalikan kepada pengujarnya (ulama). Sebagaimana kasus dalam wati’ syubhat (orang yang meniduri bukan istrinya tapi dikira istrinya) maka tidak berdosa.

Jadi tergantung keyakinan si pelaku. Islam tak pernah menuntut seseorang untuk menyelidiki asal-usul setiap perkara karena akan menyulitkan. Agama ini mudah, maka jangan kau persulit. Kecuali memang sudah terlihat dengan mata kepala sendiri tentang asal-usulnya maka tak ada alasan untuk mengabaikan hukumnya.

Sikap Wara’ Bisa Menjadi Haram

Habib Abdullah Al-Haddad membagi lawan transaksi ke dalam tiga kategori: pertama, orang yang sudah jelas shaleh dan hartanya halal. Maka tak perlu ditanya dalam bertransaksi.

Kedua, orang yang belum jelas statusnya, maka boleh ditanya asal-usul hartanya. Tapi seandainya akan menyakiti hatinya maka tidak diperbolehkan.

Ketiga, adalah orang yang jelas-jelas melakukan transaksi yang dilarang/ribawi dalam bisnisnya, maka sebaiknya dihindari demi sikap wara’. Jika tidak terhindarkan maka konfirmasi terlebih dahulu sebab ada kemungkinan harta yang sedang dipakai bukan yang haram.

Jika ditanya: apa hukum bersikap wara’? Hukumnya sunnah. Maka tidak dibenarkan seseorang bersikap wara’ namun di waktu yang sama dia menyakiti lawan bicaranya dengan percakapan yang berlandaskan kecurigaan sampai batas menyakiti hati yang diharamkan. Bersikap wara’ hukumnya sunnah sementara menjaga perasaan sesama muslim hukumnya wajib: menyakiti hati sesama muslim haram. Maka sikap wara’ model ini diharamkan pula.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya