Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Eko-Religius Profesor Seyyed Hossein Nasr dalam Sekilas Pandang

Avatar photo
25
×

Eko-Religius Profesor Seyyed Hossein Nasr dalam Sekilas Pandang

Share this article

Intelektual Muslim kelahiran Iran, Seyyed Hossein Nasr, dan beberapa karya tulisnya membantu membangun fondasi pemikiran kontemporer tentang Islam dan lingkungan. Dia sangat getol menyerukan arti penting konservasi kepada pembacanya.

“Baik di TV atau radio, saya sering menyinggungnya (seruan konservasi).” Nasr menceritakan pengalaman setengah abad lalu: “Namun topik semacam itu tidaklah populer, tidak banyak yang tertarik. Semua orang berpikir bahwa, misalnya, Barat telah mencemari sungai Hudson dan sungai Thames sehingga berhasil mengeruk kekayaan tetapi tidak ada yang mempermasalahkannya. Sekarang giliran kita bertekad menjadi kaya, tiba-tiba mereka bilang: ‘Jangan begitu, nanti dunia bisa kolaps!’”

Dalam karya-karyanya, Nasr acap kali mengaitkan degradasi ekologis dengan krisis spiritual di era modern. Pandangan eko-religiusnya menekankan pentingnya pergeseran paradigma dari pandangan sekuler menuju nilai-nilai spiritual ekologis. Meskipun upaya kesana tampak sulit, demi keseimbangan ekologis, pemahaman eko-filosofis dan eko-spiritual Nasr layak dievaluasi dengan niat membangun kesadaran bersama dalam menyikapi alam lingkungan.

Garis besar pemikiran Nasr adalah bahwa manusia telah dan akan selalu menjadi bagian integral dari alam, satu-satunya ciptaan yang mendapat mandat sebagai ‘polisi’ yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban bumi dengan menjaga kelestarian dan keseimbangannya, dalam istilah Al-Qur’an disebut khalifah fi al-‘ardh. Alam semesta harus direpresentasikan sebagai wujud kehadiran Tuhan yang menjadi satu entitas kosmos yang tidak mungkin bisa terpisah dari manusia. Atas dasar ini, mengeksploitasi alam secara berlebihan dan semena-mena merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Baca juga: Meneladani Leopold Weiss, Jurnalis Yahudi yang Memperoleh Hidayah

Berbagai krisis telah dialami kalangan religius, mulai dari krisis identitas, moral, spiritual, baik secara individu maupun komunal memiliki imbas langsung dengan bagaimana seseorang memperlakukan lingkungannya. Harmonisasi antara alam dan manusia adalah inti dari penghambaan seorang khalifah fi al-‘ardh, sehingga ilmu pengetahuan yang membentuk peradaban manusia harus diselaraskan dengan nlai dan budi pekerti luhur ajaran Islam.

Sebagai Profesor kajian Islam di Universitas George Washington, Nasr mengakui butuh waktu cukup lama agar ide-ide tentang ekologi memperoleh daya tarik di dunia Islam. Namun seiring waktu, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, umat Muslim akan menyadari betapa pentingnya konservasi alam dengan bermacam sumber dayanya.

Dalam sebuah wawancara telefon dengan The Yale Forum, Nasr menjelaskan bahwa seperti layaknya agama-agama Timur, pemikiran Islam modern awalnya tidak menaruh perhatian serius terhadap krisis ekologi. Bahkan kalangan intelektualnya pun banyak yang berkilah bahwa itu murni masalah Barat, lahir dari industrialisasi Barat, kapitalisme dan lain sebagainya, bukan tanggung jawab umat Muslim.

Setelah beberapa tahun menempuh pendidikan di MIT dan Harvard, Nasr kembali ke Iran sebelum revolusi meledak, ia mendalami isu-isu keterkaitan spiritualitas dengan ekologi, juga antara sains dan Islam. Karya besarnya dalam hal ini berjudul Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man.

Selain bergerak lewat tulisan, Nasr juga terjun langsung memperjuangkan ideologinya, misalnya sempat memberi bantuan layanan hukum pada taman nasional dan proyek-proyek pro-lingkungan lainnya.

Nasr juga menyampaikan bahwa secara bertahap sejumlah intelektual Muslim tahun 1970-an dan seterusnya mulai tergerak dan menganggap persoalan ekologi sebagai persoalan seluruh umat manusia. Pada tahun-tahun tersebut sejumlah intelektual Muslim giat menulis tentang ekologi, hal yang kemudian menjadi titik penting dalam sejarah pemikiran Islam.

Baca juga: Pionir Fikih Lingkungan, Fazlun Khalid

Hari ini banyak lahir gerakan-gerakan signifikan dari umat Muslim di berbagai negara yang oleh Nasr disebut sebagai Autenthic Islamic Environmental Movement (Gerakan Lingkungan Islam Otentik). Dalam hal ini Turki, Iran, Indonesia, dan Malaysia disebut Nasr sebagai leaders. Diikuti oleh Mesir, Pakistan, Maroko dan Nigeria yang satu persatu memeperlihatkan aksi-aksi signifikan.

Bagi banyak aktifis ‘hijau’ saat ini, ajaran Rasulullah pada abad ke-7 memiliki implikasi yang solutif bila diterapkan pada permasalahan-permasalahan industri, mulai dari punahnya satwa hingga kasus perubahan iklim. Teks-teks utama Islam sendiri, Al-Qur’an dan Hadis, mengandung banyak rujukan tentang alam dan kesuciannya. Berbagai kisah terkait dorongan Rasulullah dalam penataan dan pengelolaan alam layak diteladani, begitu pula sabda-sabda beliau agar senantiasa peduli terhadap segala ciptaan Tuhan. Dari sana akan mudah bila hendak merumuskan semacam proto eco-Islam.

Nabi Muhammad senantiasa memberikan pelajaran tentang konservasi air, hemat dalam memanfaatkan sumber daya alam, mengolah lahan yang tepat, melindungi pepohonan, juga perhatian dan kepedulian terhadap berbagai satwa. Dalam Al-Qur’an, antara lain, kata ‘syajarah’ yang memiliki arti pohon disebut berkali-kali, tentu ini bukan tanpa alasan.

Efek perubahan iklim di dunia Islam sangat bertautan dengan geografi dan demografi wilayah masing-masing. Naiknya permukaan laut, kekeringan, merosotnya produktifitas pertanian, dan lain sebagainya yang menjadi akibat dari perubahan iklim diperkirakan akan melanda sejumlah wilayah berpenduduk mayoritas Muslim. Hal yang tentu sangat beresiko bila tidak lekas ditangani, di antaranya akan terjadi pengungsian besar-besaran di Bangladesh, kelaparan di Sudan, krisis air dan palawija di Timur Tengah, juga banjir tahunan di sejumlah wilayah Indonesia akan bertambah dan semakin parah, dan lain seterusnya.

Meskipun sejumlah bahaya di atas juga menghantui negara-negara Barat, bagi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim akan jauh lebih rentan. Profesor Muhammad Yunus, pemikir progresif dari Bangladesh sekaligus peraih Nobel Perdamaian 2006 karena berjasa mengembangkan ekonomi mikro dari jauh hari sudah membahas korelasi antara perubahan iklim dan kemiskinan di berbagai negara.

“Kami dapat membantu (melalui pengembangan ekonomi mikro) orang-orang Bangladeh bangkit dari kemiskinan mereka,” ucap Yunus: “Tetapi masalah perubahan iklim tentu di luar kendali Bangladesh, di luar kendali keuangan mikro, karena merupakan permasalahan global.”

Dalam Islam, dikenal adanya konsep kiamat, atau ‘gerbang-gerbang’ terakhir memasuki akhirat. Ada kiamat kubro (besar) alias gerbang paling akhir, ada pula kiamat sughro (kecil) yang oleh banyak pemuka agama disebut-sebut sudah sering terjadi, salah satunya ketika terjadi bencana alam. Konsep ini sudah terpatri dalam jiwa hampir setiap umat Muslim, sehingga tidak aneh bila sebagian dari mereka bersikap pasif terhadap berbagai bencana dengan berkilah, misalnya, ‘sudah takdir’ atau ‘itu adalah kiamat kecil yang sudah seharusnya terjadi,’ dan lain sebagainya.    

Meski demikian, bagi Profesor Nasr, bencana-bencana alam yang terjadi tidak selamanya mengarah pada sikap-sikap pasif serupa di atas. Tidak sedikit juga cendekiawan Muslim yang berpemikiran adil, progresif, rasional, optimis, dan obyektif dalam menyikapi bencana alam.

Kapan datangnya Imam Mahdi serta kapan dunia benar-benar akan berakhir sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Hal yang sama sekali tidak menggugurkan tanggung jawab manusia selama masih bernafas untuk menjaga kelestarian alam. Ungkapan sederhananya adalah, seseorang tidak sampai memotong hidungnya hanya karena ia membenci wajahnya. Di lain sisi, hanya karena kebanyakan orang tidak melakukan apa-apa bukan berarti kita harus terbawa arus dan bunuh diri.

Meski terbukti tidak mudah, beberapa kelompok telah mencoba menyamakan suara menyatukan persepsi antara negara-negara Muslim terkait isu-isu perubahan iklim, menjadikannya bahan utama untuk disampaikan di forum-forum perundingan internasional. Selain itu, banyak pula organisasi dan yayasan yang berupaya keras meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menanggulangi krisis lingkungan, misalnya Yayasan Islam untuk Ekologi dan Ilmu Lingkungan (Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science) di Inggris.

Meskipun hari ini Profesor Seyyed Hossein Nasr terkesan cukup optimis dengan gerakan-gerakan hijau yang bermunculan, sebagai juru bicara eco-Islam selama lebih dari setengah abad ia tetap merasa hal itu tidak cukup dan kurang merata. Masih banyak kaum beragama yang memandang perubahan iklim layaknya hujan gerimis, dampaknya tidak begitu terasa.

Pemanasan global atau perubahan iklim harus diibaratkan layaknya gerimis yang tak kunjung reda selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, sehingga lebih dari mampu untuk melahirkan banjir, menyebabkan ketidak-seimbangan tatanan alam, membahayakan seluruh siklus kehidupan.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.