Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Menjernihkan Teologi Pandemi

Avatar photo
47
×

Menjernihkan Teologi Pandemi

Share this article

Saya akan memulai dengan satu kisah dalam Ihya’ Ulumidin:

Suatu hari Khalifah Umar melakukan kunjungan kerja ke kawasan Syam (Damaskus-Suriah sekarang). Dia beserta rombongan sudah semakin dekat. Namun sesampainya di Jabiyah (desa perbatasan), ada seseorang mencegat Khalifah di tengah jalan.

“Khalifah, jangan lanjutkan perjalanan, Tuan!” pintanya.

“Kenapa?” selidik Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khattab.

“Di Syam sedang terjadi wabah yang merenggut banyak nyawa,” lapor lelaki itu.

Tanpa berpikir panjang Khalifah Umar mengurungkan niatnya. Dia memilih balik ke ibu kota Madinah. Di tengah perjalanan pulang, seorang sahabat bertanya, “Mengapa Khalifah tidak jadi ke Syam? Apakah Khalifah ingin lari dari takdir?”

“Iya, saya lari dari satu takdir [buruk] menuju takdir [baik],” tegas Umar.[1]

Usaha Tidak Membentur Konsep Tawakal

Kisah ini sederhana namun memuat pesan yang kuat: tentang bagaimana seorang mukmin menyinkronkan keimanannya tentang takdir dengan usaha lahiriah yang dituntun oleh syariat; bahwa usaha (kasab dalam bahasa agama) sama sekali tidak berbenturan dengan konsep tawakkal pada Allah. Tawakal tak bisa dipahami sebagai sikap “menyerah” karena tawakal ada di dalam hati. Tawakal adalah kepasrahan hati seorang mukmin kepada Allah, meski secara lahiriah dia tetap mengerahkan upayanya.

Seorang yang sakit kemudian berobat ke dokter adalah “usaha” yang disyariatkan. Dia bukan sedang melawan takdir. Seorang ayah yang pergi ke pasar, ke sawah, atau ke kantor sedang menjalankan syariat dan perintah Rasulullah Saw. Dia melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya: di hatinya meyakini bahwa rezeki adalah anugerah Allah tapi untuk mendapatkannya dia harus melangkahkan kaki.   

Sahl At-Tusturi jauh-jauh hari sudah mengingatkan:

التوكل حال النبي والكسب سنته فمن قوي حاله فلا يتركن سنته

“Tawakal adalah keadaan hati Nabi, sementara usaha adalah ajaran Nabi. Siapa yang kondisi hatinya menguat maka jangan sekali-kali meninggalkan ajarannya.”[2]

Peristiwa Hijrah Rasulullah Saw. adalah contoh konkret bagaimana tawakal dan kasab (usaha lahiriah) saling melengkapi. Nabi sebagai teladan bagi orang-orang yang tawakal melaksanakan perintah hijrah dengan cara sembunyi-sembunyi. Beliau ditemani sahabat Abu Bakar harus lari dari ancaman pembunuhan kaum musyrikin dan bersembunyi di gua Tsur selama 3 hari hingga kemudian sampai di kota Yatsrib (Madinah).

Kenapa Nabi memilih bersembunyi padahal beliau tahu bahwa dirinya makshum (dijamin keselamatan dan terlindungi dari salah dan dosa)? Sikap ini dipilih untuk memberi pelajaran pada umatnya bahwa mara bahaya harus dihindari dan manfaat harus diusahakan. Tak dibenarkan seorang mukmin berpangku tangan pada takdir.

Baca juga: Pandemi Covid-19 dan Anjuran Ulama Tentang Wabah

Sebaliknya, dalam kisah Hijrah, Umar bin Al-Khattab malah ikut berangkat ke Madinah di siang bolong seraya menghunus pedangnya dan menantang, “Ayo siapa yang berani menghalangiku hijrah.” Tak ada seorang pun yang berani menghalangi Umar bin Al-Khattab karena dia terkenal dengan keberanian dan ketangkasannya berperang. Umar diperbolehkan memilih sikap demikian karena dia bukan Nabi yang menjadi teladan bagi umatnya.[3]

Usaha Bernilai Ibadah

Jika kita membaca tafsir dari (QS. Maryam: 25) “dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, maka ia akan menjatuhimu buah kurma yang masih segar,” di mana Siti Maryam (Ibu Nabi Isa) melakukan khalwat (menyepi) atas perintah Allah karena akan melahirkan putranya, Isa.

Di dalam khalwatnya, Siti Maryam masih diperintah agar mengunduh pohon kurma meski kondisi fisiknya melemah. Sebenarnya Allah mengajarinya ikhtiar-usaha meski dalam kondisi lemah.[4] Secara nalar, tak mungkin bisa menurunkan buah kurma dari pohon hanya dengan menggoyang saja.

Pesannya bahwa Allah tak pernah menilai hasil. Allah hanya melihat usaha maksimal hamban-Nya. Sikap semacam ini bisa meminimalisir “depresi” yang menjadi penyakit manusia modern tatkala hasil memunggungi usaha. Saat berhasil, seorang mukmin akan mensyukurinya karena semenjak awal sudah meyakini bahwa semua nikmat bermuara pada Allah, bukan semata usahanya. Usaha dalam perspektif mukmin adalah ibadah, tak penting lagi berhasil atau gagal. Akidah semacam ini tertanam kuat dalam diri kaum beriman.             

Kebijakan Pemerintah di Mata Seorang Mukmin

Dalam kisah pembuka yang penulis sebutkan, ada sahabat  yang mempertanyakan keputusan Khalifah Umar untuk balik arah pulang ke Madinah. Sebuah konfirmasi rasional yang tak bisa dipandang sebagai “pembangkangan”. Setiap kebijakan yang dicanangkan pemerintah akan selalu menimbulkan pro-kontra. Tinggal bagaimana pemerintah menjelaskannya. Di sini peran juru bicara dan pola komunikasi yang dipakai menjadi sangat menentukan.

Kegaduhan yang barangkali muncul setelah kebijakan diberlakukan bisa jadi muncul dari misinformasi atau miskomunikasi. Sebab pepatah Arab mengatakan,الناس أعداء ما جهلوا (manusia cenderung memusuhi apa yang belum diketahui). Berita hoaks dan hilangnya budaya tabayyun (konfirmasi) dalam masyarakat kita ikut memperkeruh suasana.

Baca juga: Hak Allah dan Hak Manusia di Masa Pandemi

Dalam komunitas santri diyakini bahwa menaati pemerintah yang sah adalah warisan kenabian. Ini ditegaskan oleh sebuah ayat, “Taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kalian kepada Rasulullah, dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa`: 59).

Dalam kajian ilmu Ushul Fikih, level ketaatan memang tidak sama karena Al-Quran tidak mengulangi kata “ati’u” dalam konteks ulil amri. Sehingga menaati pemerintah diwajibkan selama tidak berkaitan dengan maksiat pada Allah. Tak ada ketaatan yang dibenarkan bila berkaitan dengan maksiat pada Allah. (HR. Al-Haitsami dan Al-Bukhari dengan redaksi matan yang sedikit berbeda).[5]

Kebijakan 3M (menjaga Jarak, mencuci tangan dan memakai masker), PPKM dan kampanye vaksin yang digagas pemerintah atau bahkan masyarakat dunia sudah selayaknya kita dukung dengan maksimal. Karena semua ini adalah warisan kenabian, sebentuk ikhtiar keimanan sebagaimana dicontohkan Rasulullah saat hijrah dan Umar di masa Pandemi. Tak ada alasan untuk membangkang atas kebijakan ini sebab di dalamnya tak ada anasir kemaksiatan pada Allah dan Rasulullah.

Setiap kebijakan pemerintah yang didasarkan pada pertimbangan maslahat umum, apalagi sudah dikaji dengan melibatkan banyak ahli sudah selayaknya didukung. Sebab dalam Kaidah Fiqhiyah kebijakan itu dianggap legal secara syariat:

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan pemerintah atas rakyatnya harus didasarkan pertimbangan maslahat.”[6]

Atas dasar inilah kiai-kiai NU dan pesantren tanpa ragu sedikit pun menjadi uswah, berada di garis terdepan; bergandengan tangan dengan unsur pemerintah untuk menanggulangi wabah yang sedang melanda masyarakat dunia. Sehingga hari ini, Indonesia dipuji dunia karena berhasil menekan angka korban Covid-19. Semoga negeri tercinta ini bisa segera keluar dari krisis dan selalu dalam perlindungan Allah. Amin.

Bangkalan, 26 September 2021      

 


[1] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumidin, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005), h. 1652-1653

[2] Nawawi Al-Bantani, Salalim Al-Fudala, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2013), h.  265

[3] Said Ramadhan Al-Buti, Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, 1991), h. 202

[4] Dian Yasmina Fajri, Maryam Perempuan Penghulu Surga, (Jakarta: Gema Insani, 2017, cet. I), h. 74

[5] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, Wizarat Al-Awqaf Kuwait, (Kuwait: Dar As-Salasil, 1986), h. 190-191

[6] Yasin Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyah, (Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyah, 1996, Vol II), h. 123-132

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya