Artikel

Kebijakan Ganjil Khalifah Umar Mendistribusikan Keadilan

19 Sep 2020 05:57 WIB
1441
.
Kebijakan Ganjil Khalifah Umar Mendistribusikan Keadilan

Di antara tantangan terbesar yang dihadapi Amirul Mukminin, Umar bin Khattab ketika meletakkan prinsip keadilan sosial dan eknomi adalah nasib tanah-tanah yang dikuasai oleh tentara Islam. Wilayah taklukan sepanjang ekspedisi militer kaum muslimin meluas ke timur (Irak dan Persia), ke barat (Mesir) dan ke utara (Syam dan jazirah Arab). Umar berpandangan, tidak selamanya ekspedisi akan terus dilakukan dan wilayah-wilayah subur yang dilewati sungai Nil, Barada, Tigris dan Eufrat akan menjadi kekayaan utama imperium Islam pada masa mendatang.

Apakah Khalifah Umar menerapkan kebijakan yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar? Al-Qur’an dan pengalaman pemerintahan sebelumnya menilai wilayah taklukan beserta masyarakatnya murni menjadi milik para tentara yang menaklukkannya. Mereka akan membagi tanah-tanah itu dan penduduk setempatnya akan menjadi budak mereka.

Khalifah Umar berani melawan arus. Kondisi yang terjadi pada masa Nabi berbeda dengan kondisi kaum muslimin yang dipimpinnya.

Khalifah mengeluar kebijakan baru. Setiap wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh tentara Islam dimasukkan ke dalam baitul mal sebagai harta waqaf. Negara memegang kepemilikan tanah itu atas asas bare ownership (kepemilikan atas barang dan kebebasan mentransaksikannya) dan para penduduk—yang umumnya dari kalangan petani—memilikinya atas asas beneficial ownership (kepemilikan tanpa adanya keharusan pengakuan kepemilikan dari sudut pandang hukum).

Baca juga: Meneladani Abu Bakar Antara Bekerja dan Mengurus Umat

Khalifah Umar membagi masyarakatnya ke dua kelompok, yaitu masyarakat muslim dan non muslim (dzimmi). Bagi muslim diwajibkan membayar zakat, sedangkan bagi non muslim dipungut kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak kepala). Nah, para penduduk non muslim yang tanahnya sudah dikuasai oleh negara itu, tidak lagi dipaksa menjadi budak kaum muslimin. Mereka tetap rakyat merdeka dan diperlakukan hukum menurut agama atau adat mereka masing-masing. Bila kaum muslimin diwajibkan membayar zakat atas kekayaannya, mereka diwajibkan membayar kharaj atas hak beneficial ownership tadi.

Kebijakan anyar ini termasuk dari desain besar tata kelola pemerintahan yang diinisiasi oleh Khalifah Umar. Dengan mengadopsi model kerajaan Persia, dia menciptakan diwan (semacam dewan atau departeman)  di berbagai bidang yang bertujuan menyampaikan perintah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan menyampaikan laporan tentang perilaku amir (gubernur) kepada khalifah. Di antara diwan yang dibentuknya adalah diwan al-jund (departemen ketentaraan) yang bertugas mencatat nama-nama prajurit dan mendaftar besaran gaji yang diperolehnya. Kebanyakan kaum muslimin pada masa Khalifah Umar pergi ke medan perang sehingga tidak sempat bekerja. Mereka kini memperoleh pendapatan dari negara sehingga pergi berjihad tanpa terbebani pikiran menelantarkan keluarga. Dengan jaminan gaji per bulan, mereka akan fokus menjaga wilayah Islam pasca ekspedisi.

Atas keganjilan sikapnya tersebut, mayoritas para sahabat dan tentara kaum mukminin bersitegang dengannya.

Ketika pasukan dari Irak yang dipimpin oleh Sa’ad ibn Abi Waqash pulang ke Madinah, Khalifah Umar mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah tentang pembagian wilayah Irak dan Syam yang telah berhasil dikalahkan. Mayoritas berpandangan, pembagian dilakukan seperti ketentuan yang sudah berlaku. Seperlima diperuntukkan Allah dan rasul-Nya, kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Empat perlimanya dibagikan kepada per kepala prajurit yang terlibat.

Bilal ibn Rabah meminta kepada Khalifah Umar agar membagi-bagikan wilayahkepada para prajurit yang menaklukkannya. “Seperti harta ghanimah dibagi-bagikan.” Ujar Bilal. Permintaannya mewakili keinginan kebanyakan kaum muslimin agar Khalifah Umar membagi Syam seperti dahulu Rasulullah membagi tanah Khaibar.

Selain Bilal, Zubair ibn Awwam dan Abdurrahman ibn Auf menghendaki segera dilakukan pembagian itu.

Di tengah desakan mayoritas kaum muslimin, Khalifah Umar tidak bergeming. Jika dia melakukannya, maka tanah subur meliputi Syam, Irak dan Mesir, sungai-sungai dan para penduduknya, empat perlimanya akan dimiliki secara pribadi oleh kaum muslimin. Negara akan bangkrut di tengah bergelimpangan kekayaan rakyatnya.  

Penolakan Khalifah Umar mendapat dukungan dari segelintir sahabat dari kalangan muhajirin seperti Utsman ibn Affan, Ali ibn Thalib, Thalhah dan Ibnu Umar.

“Membagi-baginya bukan pandanganku.” Ujar Khalifah Umar. “Allah telah menyertakan orang-orang yang datang setelah kalian ke dalam pembagian tanah ini. Seandainya aku membagikannya sekarang, maka orang-orang yang datang sesudah kalian tidak mendapatkan bagian apa-apa. Dan jika aku menahannya, seorang pengembala di tanah Shana'a akan memperoleh bagiannya tanpa dia harus meminta.“

Khalifah Umar mengutip sepenggal ayat Al-Qur’an, Apa saja harta rampasan (fai`) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Tapi kebanyakan para sahabat masih berat menerima. Mereka berkata kepada Khalifah, “Apakah engkau akan memberikan harta rampasan yang telah diberikan Allah kepada kami dengan pedang-pedang kami, kepada satu kaum yang tidak hadir dan tidak juga menyaksikan, kemudian digunakan untuk membangun kaum tersebut, dan untuk membangun rumah-rumah mereka padahal mereka tidak hadir?”

Persoalan  kemudian seolah menemukan jalan buntu. Umar punya pandangan dan mereka punya pandangan lain. Mereka akhirnya meminta Khalifah Umar agar meminta saran keputusan dari para pembesar kaum di Madinah. Mula-mula, Umar meminta saran dari kalangan kaum Muhajirin pertama, tapi mereka juga saling berselisih pendapat. Umar lalu menemui para pembesar golongan Anshor. Dia mengundang masing-masing lima pembesar sahabat dari suku Aus dan Khazraj. Umar membentuk komisi arbitrase yang beranggotakan mereka.

“Mereka mengira aku telah menganiaya hak-hak mereka,” Kata Umar dengan panjang lebar, “Tapi tidakkah kalian lihat pelabuhan-pelabuhan yang membutuhkan tentara untuk menjaganya? Tidakkah pula kalian lihat kota-kota besar seperti Syam, Kufah, Bashrah, dan Mesir yang memerlukan prajurit untuk melindunginya. Darimana saya bisa menggaji mereka jika saya bagi habis semua wilayah taklukan?”

Akhirnya komite arbitrase memutuskan condong pada pandangan Khalifah Umar. “Sebaik-baik pandangan adalah ucapanmu.” Kata mereka, “Jika tidak ada yang menjaga, orang-orang kafir niscaya kembali lagi ke kota mereka.” Dukungan dari kalangan Anshar membuat ketegangan reda.

Khalifah Umar memerintahkan penakluk Irak, Saad ibn Abi Waqas agar membagi kuda-kuda perang dan kekayaan yang diambil dari pasukan musuh di antara prajurit. “Tanah dan sungainya biarkan diurusi penduduk setempat sebagai pemasukan negara.” Kata Umar dalam suratnya, “Jika kamu membaginya di antara mereka, maka generasi sesudah mereka tidak mendapatkan bagian apa-apa.”

Baca juga: Nubuwat Tanah Merah dan Hari-hari Terakhir Khalifah Harun Ar-Rasyid

 Adapun ketika penakluk Mesir, Amr ibn Ash memberitahu Khalifah Umar jika para prajurit meminta jatah bagian tanah Mesir setelah ditaklukkan, Khalifah Umar dengan tegas melarangnya. Di dalam suratnya, tercantum perintah: “Jangan kamu bagi-bagikan dan biarkan tanah itu menjadi kharaj (pajak tanah) bagi kaum muslimin dan kekuatan untuk berjihad melawan musuh!”

Kebijakan ganjil Khalifah Umar bin Khattab di atas, dalam kamus politik modern, mirip dengan istilah nasionalisasi dimana negara mengambil alih kepemilikan tanah taklukan. Dia melawan hasrat privatisasi kepemilikan rakyatnya. Alhamdulillah, Amirul Mukminin itu berhasil.

Abdul Majid
Abdul Majid / 117 Artikel

Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: