Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Sayyid Husein Luar Batang: Sebuah Catatan Jaringan Keilmuan Thariqah ‘Alawiyyah di Betawi

Avatar photo
763
×

Sayyid Husein Luar Batang: Sebuah Catatan Jaringan Keilmuan Thariqah ‘Alawiyyah di Betawi

Share this article
Makam Habib Husein Luar Batang di Jakarta Utara.
Makam Habib Husein Luar Batang di Jakarta Utara.

Sayyid Husein bin Abu Bakar Alaydrus—yang kelak dikenal dengan gelar Sayyid Husein Luar Batang— merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Betawi pada abad ke-18 M.

Berasal dari Hadramaut, beliau tiba di tanah Betawi sekitar tahun 1735/1736 Masehi. Pada masa itu, istilah “Habib” belum populer untuk menyebut keturunan Nabi Muhammad; masyarakat lebih mengenal sebutan “Sayyid” untuk tokoh seperti beliau.

Dalam tesis saya, Jaringan Keilmuan Guru Thariqah di Betawi Abad 19 dan 20 M, Sayyid Husein tercatat sebagai tokoh periode kedua dalam jaringan penyebaran Thariqah ‘Alawiyyah di Betawi. Menurut Ridwan Saidi — peneliti sejarah Betawi — wilayah Betawi saat itu membentang luas, mulai dari Karawang hingga Teluk Gong.

Periodisasi Penyebaran Thariqah ‘Alawiyyah di Betawi

Secara historis, penyebaran Thariqah ‘Alawiyyah di Betawi dapat dibagi menjadi beberapa periode penting:

Pertama, periode Awal (abad ke-15–16 M) Islam masuk ke tanah Betawi melalui para ‘Alawiyyin dari India, seperti Syekh Qurro dan Fadhilah Khan. Mereka membawa ajaran Islam dan nilai-nilai tasawuf ‘Alawiyyah ke wilayah ini.

Kedua, periode Pertumbuhan (abad ke-18 M) Ditandai dengan kedatangan ulama-ulama Hadrami, seperti Sayyid Husein bin Abu Bakar Alaydrus. Beliau membangun jaringan keilmuan Islam di Betawi dengan pendekatan yang ramah dan akomodatif terhadap budaya lokal. Sayyid Husein tak hanya dikenal sebagai ulama, tetapi juga sebagai jembatan sosial yang menghubungkan komunitas Hadrami dan pribumi dalam ikatan keagamaan yang harmonis.

Ketiga, periode Perkembangan (abad ke-19–awal abad ke-20 M). Pada masa ini, penyebaran Thariqah ‘Alawiyyah mengalami akselerasi melalui peran para muwallad (keturunan Hadrami lokal) seperti Habib Usman bin Yahya, Habib Ali Kwitang, Habib Salim bin Jindan, dan Habib Abdurrahman Assegaf. Tokoh lain seperti KH. Marzuki bin Mirshad Azmat Khan dan Habib Ali Bungur juga memperkuat jaringan ini.

Mayoritas jaringan keilmuan para guru Thariqah ‘Alawiyyah pada paruh akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjadi bagian integral dari jaringan keilmuan Haramain (Mekkah-Madinah). Namun, di Betawi, jaringan ini beradaptasi dengan kearifan lokal, menciptakan model dakwah yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat setempat, tanpa kehilangan kedalaman spiritualitasnya.

Paradigma Haddadiyyah dan Adaptasi Model Dakwah

Paradigma Haddadiyyah yang diperkenalkan oleh Sayyid Abdullah Al-Haddad turut membentuk perkembangan Thariqah ‘Alawiyyah di Betawi. Seperti dijelaskan oleh Ismael Fajri Alatas, paradigma ini menekankan amaliah keseharian yang lebih ringan dan kontekstual, seperti latihan akhlak dan ketekunan spiritual yang tidak memberatkan. Pendekatan ini menggantikan kecenderungan tarekat tradisional yang rigid, dengan mengedepankan keseimbangan antara spiritualitas dan keterlibatan sosial.

Ciri khas Thariqah ‘Alawiyyah di Betawi pada abad ke-19 dan 20 adalah tidak terjebak dalam ritualisme semata. Tradisi seperti wirid berjamaah tetap dijaga, tetapi esensinya diwujudkan dalam gerakan dakwah Ahlussunnah wal Jamaah yang menekankan akhlak, ukhuwah. Hal ini diperkuat oleh situasi politik kolonial, di mana VOC sangat ketat memantau gerakan tarekat setelah Perang Jawa yang dipimpin komunitas tarekat.

Fokus pada Pendidikan dan Dakwah Sosial

Transformasi jaringan Thariqah ‘Alawiyyah di Betawi didukung oleh orientasi keilmuan dalam paradigma Haddadiyah yang mengutamakan ta’lim (pengajaran) dan ta’allum (pembelajaran). Karakter jaringan ini menjadi lebih inklusif dan progresif, menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Ajaran tasawuf tetap dipertahankan, tetapi metodologi dakwahnya disesuaikan dengan dinamika masyarakat Betawi yang plural dan terbuka.

Salah satu kontribusi penting Sayyid Husein adalah pendirian Masjid Jami’ Luar Batang, yang menjadi pusat aktivitas keagamaan dan sosial umat Muslim di pesisir utara Batavia.

Sanad Keilmuan dan Tradisi Ratib Al-Haddad

Sebelum berangkat ke Nusantara, berdasarkan Tājul A’rās karya Habib Ali Bungur, Sayyid Husein sempat sowan dan meminta izin kepada seorang ulama besar di Hadramaut sebelum berangkat ke Jawa, yakni Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Namun, klarifikasi dari peneliti seperti Gus Nanal menunjukkan bahwa yang beliau temui sebenarnya adalah Hasan bin Abdullah Al-Haddad, putra Sayyid Abdullah. Hal ini menjadi catatan penting dalam memahami sanad keilmuan beliau (baca penjelasannya di sini).

Ada pula indikasi kuat bahwa Sayyid Husein adalah tokoh pertama yang memperkenalkan Ratib Al-Haddad di tanah Betawi, sebuah amalan wirid harian yang kemudian menjadi bagian penting dari tradisi spiritual masyarakat Muslim Betawi sampai saat ini.

Dalam menjalankan dakwahnya, Sayyid Husein mengedepankan pengajian umum, majelis taklim, perayaan maulid Nabi, dan tabligh akbar. Dakwah beliau lebih berorientasi pada penguatan akhlak dan pembinaan umat daripada pada pembentukan struktur tarekat yang kaku. Pendekatan ini menjadi ciri khas perkembangan jaringan Thariqah ‘Alawiyyah di Batavia kelak di kemudian hari.

Sayyid Husein wafat sekitar tahun 1751 atau 1756 M (terdapat perbedaan pendapat tentang tahun wafat beliau). Beliau dimakamkan di area Masjid Jami’ Luar Batang, dan hingga kini makamnya menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi.

Kiprah Sayyid Husein Luar Batang menjadi fondasi penting bagi kelanjutan jaringan keilmuan dan spiritual Thariqah ‘Alawiyyah di tanah Betawi, yang kemudian dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya — generasi yang lebih banyak dikenal dengan istilah “Habib”.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.