Hasan bin Ali adalah cucu pertama Kanjeng Rasul Saw. dari Sayyidah Fatimah ra. Ia lahir pada tahun ketiga Hijriyah, bulan Sya’ban. Riwayat lain, ia lahir di separuh Bulan Ramadhan.[1]
Menurut sebuah riwayat dari Jabir bin Abdullah, Ketika Sayyidah Fatimah melahirkan Al Hasan ia berkata kepada Sayyidina Ali ra., “Berilah nama untuknya!” Dia menjawab, “Saya tidak akan mendahului Rasulullah Saw. dalam memberinya nama. Dia lalu memberi kabar kepada Rasulullah Saw, dan beliau berkata, “Saya tidak akan mendahului Tuhanku Azza wa Jalla dalam memberinya nama.[2]
Al Muttaqiyy al Hindiyy menukil riwayat dari Imam Ali ra, ia mengatakan, “Ketika Hasan dilahirkan saya memberinya nama Ḥarb. Baginda Rasul datang lalu berkata, “Tunjukkanlah anakku kepadaku .. Apakah nama yang kamu sekalian berikan untukya?” Saya menjawab, “Saya memberinya nama Ḥarb!” Beliau berkata, “Dia adalah Hasan.”[3] Abu Ahmad al Askariyy mengatakan bahwa nama ini tidak pernah dikenal pada era Jahiliyyah.[4]
Ada riwayat-riwayat lain mengenai kelahiran putra pertama Fatimah dan penamaannya ini. Kita bisa membacanya di Tārikh Dimasq karya Ibn ‘Asākir dan kitab-kitab lainnya.[5]
Cucu yang kedua adalah Al Husain bin Ali ra. Ibn al Aṡīr meriwayatkan dari Al Laiṡ bin Sa’d, ia mengatakan bahwa Fatimah, putri Rasulullah Saw., melahirkannya setelah beberapa malam dari bulan Sya’ban tahun keempat. Mengenai namanya, ia meriwayatkan dari Imam Ali ra. bahwa ia telah memberinya nama Ḥarb, namun oleh Rasulullah Saw. diberi nama Husain. Sebelumnya, ia juga telah memberi nama putra pertamanya dengan Ḥarb dan oleh Rasulullah diberi nama Hasan.[6] Ibn Sa’d meriwayatkan dari ‘Imran bin Sulaiman, ia mengatakan, “Al Hasan dan Al Husain adalah dua nama di antara nama-nama penghuni surga. Orang Arab tidak pernah memberi nama dengan keduanya pada era Jahiliyah.”[7]
Abu Dāwūd dan Al Turmużiyy meriwayatkan dari Abī Rāfi’, ia mengatakan, “Saya melihat Rasulullah Saw. menyerukan Azan di telinga Al Hasan bin Ali saat ia dilahirkan oleh Fatimah dengan (azan) Salat.” Al Turmużiyy mengatakan, ini adalah Hadis Hasan Sahih.[8] Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Al Ḥākim, tetapi yang diazani oleh Baginda Rasulullah adalah cucu keduanya, Husain, dan ia mengatakan, ini adalah Hadis yang sahih isnadnya.[9] Ibn al Aṡīr dalam biografi Husain juga mengatakan, bahwa saat ia dilahirkan Nabi Muhammad Saw. menyerukan azan di telinganya.[10]
Selain mengazani kedua cucunya ini, Baginda Rasul Saw. juga yang menunaikan aqiqah untuk keduanya. Abu Dāwūd meriwayatkan dari Ibn Abbas, sesungguhnya Rasulullah Saw. menunaikan aqiqah untuk Al Hasan dan Al Husain, satu domba satu domba (kabsyan kabsyan).[11] Sekilas dapat dipahami bahwa Nabi menunaikan aqiqah untuk keduanya, masing-masing satu kambing. Akan tetapi riwayat lain mengatakan bahwa beliau menunaikan aqiqah untuk keduanya, masing-masing dua kambing, seperti riwayat Al Nasā`iyy juga dari Ibn Abbas.[12] Riwayat yang kedua ini sejalan dengan Hadis qauli Nabi Muhammad Saw. yang memerintahkan beraqiqah dua kambing untuk anak laki-laki. Ummi Kurz al Ka’biyyah mengatakan, Saya mendengar Rasulullah Saw. berkata, “Untuk anak laki-laki dua kambing yang sepantaran, dan untuk anak perempuan satu kambing.”[13]
Imam Al Nawawi, imam besar dalam Mazhab Syafi’iyah, mengatakan, “Yang sunah adalah beraqiqah dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Namun, jika beraqiqah satu kambing untuk anak laki-laki maka itu sudah cukup untuk memenuhi kesunahan dasar (aṣl al sunnah).”[14]
Imam Ibn Abd al Barr, tokoh besar mazhab Malikiyah, mengatakan, “Dianjurkan beraqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan, masing-masing satu kambing. Menurut Imam Malik, dua-duanya sama. Akan tetapi, jika beraqiqah dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan maka itu baik.”[15]
Berkenaan dengan aqiqah yang dijalankan oleh Baginda Nabi ini, Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa hal itu berlangsung di hari ketujuh dari kelahiran. Ia mengatakan, “Rasulullah Saw. menunaikan aqiqah untuk Al Hasan dan Al Husain pada hari ketujuh, dan beliau memberi nama untuk keduanya serta memerintahkan agar kotoran-kotoran dibersihkan dari kepalanya.”[16]
Riwayat Ahmad memberi pengertian bahwa Sang Ibunda, Fatimah, sejatinya ingin menunaikan aqiqah sendiri untuk Hasan, anak pertamanya. Akan tetapi tampaknya Rasulullah ingin beliaulah yang menunaikannya. Dan sebagai gantinya, beliau memerintahkan Fatimah untuk mencukur rambut putranya itu, kemudian bersedekah perak seberat rambutnya itu. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Abū Rāfi’, bahwa saat Al Hasan bin Ali dilahirkan, ibunya—Fatimah—ingin menunaikan aqiqah untuknya dengan dua domba. Akan tetapi, Baginda Rasulullah Saw. mengatakan, “Jangan menunaikan aqiqah, tapi cukurlah rambutnya kemudian bersedekahlah seberat itu dari perak.” Kemudian lahir (pula) Al Husain, maka ia (Sayyidah Fatimah) juga melakukan hal seperti itu (bersedekah perak seberat rambut yang dicukur).[17]
Al Ṭabarāniyy meriwayatkan dari Abū Ayyūb al Anṣāriyy, ia mengatakan: Saya menghadap kepada Rasulullah Saw. saat Al Hasan dan Al Husain bermain-main di depan beliau dan dalam pangkuannya. Maka, saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mencintainya?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya tidak mencintainya sementara keduanya adalah wewangianku (raiḥānatāya) dari dunia ini, saya menciuminya.”[18]
Abū Sa’īd Al Khudriyy meriwayatkan, Baginda Rasulullah Saw. mengatakan, “Al Hasan dan Al Husain adalah pimpinan (Sayyidā) para pemuda penghuni surga.[19] Riwayat lain—juga dari Abū Sa’īd Al Khudriyy—mengatakan, “Al Hasan dan Al Husain adalah pimpinan (Sayyid) para pemuda penghuni surga, kecuali dua putra sang bibi, Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariyya.[20]. Riwayat lain lagi—masih dari Abū Sa’īd Al Khudriyy—mengatakan, “Al Hasan dan Al Husain adalah pimpinan (Sayyid) para pemuda penghuni surga, dan Fatimah adalah pimpinan para wanita penghuni surga, kecuali apa yang ada pada Maryam binti Imran.”[21]
[1] Al Żahabiyy, Siyar A’lām al Nubalā`, juz 3, hal. 246.
[2] Abu Sa’ad al Kharkūsyiyy, Syaraf al Muṣṭafā, juz 5, hal. 342.
[3] Al Muttaqiyy al Hindiyy, Kanz al ‘Ummāl, juz 13, hal. 660, dengan kode riwayat: “ط، حم، ش” وابن جرير، “حب وطب” والدولابي في الذرية الطاهرة، “ق، ض”
[4] Ibn al Aṡīr, Usud al Ġābah, juz 2, hal. 13
[5] Ibn ‘Asākir, Tārīkh Dimasq, juz 14, hal. 117.
[6] Ibn al Aṡīr, Usud al Ġābah, juz 2, hal. 24.
[7] Al Sayūṭiyy, Tārīkh al Khulafā’, hal. 144; Ibn Ḥajar al Haitamiyy, Al Ṣawāiq al Muḥriqah, juz 2, hal. 564.
[8] Abū Dāwūd, Al Sunan, juz 4, hal. 328; Al Turmużiyy, Al Sunan, juz 4, hal. 97.
[9] Al Ḥākim, al Mustadrak, juz 3, hal. 197.
[10] Ibn al Aṡīr, Usud al Ġābah, juz 2, hal. 24.
[11] Abū Dāwūd, Al Sunan, juz 3, hal. 197.
[12] Al Nasā`iyy, Al Sunan, juz 7, hal. 165.
[13] Abū Dāwūd, Al Sunan, juz 3, hal. 105.
[14] Al Nawawiyy, Al Majmū’ Syarḥ al Muhażżab, juz 8, hal. 429.
[15] Ibn Abd al Barr al Qurṭubiyy, al Kāfī fī Fiqh Ahl al Madīnah, juz 1, hal. 426.
[16] Al Ḥākim, al Mustadrak, juz 4, hal. 264.
[17] Ahmad bin Hanbal, Al Musnad, juz 39, hal. 304. Syuaib al Arna`uṭ mengatakan, sanadnya dhaif.
[18] Al Ṭabarāniyy, Al Mu’jam Al Kabīr, juz 4, hal. 155.
[19] Ahmad bin Hanbal, Al Musnad, juz 18, hal. 301.
[20] Ibn Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān, juz 15, hal. 411.
[21] Ahmad bin Hanbal, Al Musnad, juz 18, hal. 161.
Please login to comment