Tokoh
Mengenal Grand Syekh Al-Azhar dari Prespektif Mahasiswa
Suatu kali saya menerima pertanyaan dari kawan di Indonesia mengenai tokoh-tokoh Mesir yang kontoroversial dan cenderung problematis. Sebut saja Rasyid Rida, Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, Sayyid Sabiq, Yusuf al-Qardawi dan sepersaudaraanya.
Sebagai mahasiswa Al-Azhar, saya mengernyitkan dahi, ada apa gerangan dengan mereka? Mengapa nama-nama itu yang sampai ke telinga mereka? Mengapa mereka yang lebih populer di kalangan masyarakat Indonesia ketimbang yang lain?
Padahal yang lain lebih layak disebut dan dipopulerkan. Sebut saja Wahbah Zuhaili, Said Ramadhan al-Buthi, Ali Jum'ah, Ahmad Tayyeb, Mutawalli Sya'rawi, Abdul Halim Mahmud, Abbas Muhammad al-Aqqad, Sayyid Thantawi, Usamah Sayyid Azhari, Amr Wardani, Yusri Rusyd Gabr, Salim Abu al-Ashi dan masih banyak lagi.
Setelah saya amati sejenak, ternyata oh ternyata, masyarakat awam Indonesia lebih mengenal tokoh lewat sumber sekunder seperti buku terjemah atau tulisan yang beredar di tembok-tembok media, baik sosial maupun massa.
Berangkat dari fenomena ini, saya ingin mencoba memulai mengkampanyekan sebuah tokoh yang paling berpengaruh dalam dunia keislaman bahkan dunia seutuhnya.
Bapak Pengayom Pelajar Asing
Adalah sebuah julukan mulia yang disematkan kepada sang maha guru mulia, Syekh Ahmad Muhammad At-Tayyeb.
Alasannya, beliau begitu sangat amat perhatian kepada pelajar-pelajar asing yang sedang menempuh studi di al-Azhar (Universitas dan Masjid, perlu diketahui al-Azhar memiliki dua episentrum keilmuan, pertama Universitas atau Jamiatan, kedua Masjid atau Jamian).
Beliau meletakkan porsi perhatian dan kepedulian terhadap wafidin (pelajar-pelajar asing) lebih besar ketimbang pelajar lokal (pelajar Mesir) dengan alasan yang menurut saya begitu realistis dan fantastis.
Alasannya sederhana, pelajar asing itu datang jauh-jauh dari asalnya masing-masing demi belajar di al-Azhar, sepulangnya dari Mesir mayoritas dari mereka siap atau tidak pasti mengayomi, mengajari, mendidik, membimbing masyarakat.
Maka perhatian kita terhadap pelajar-pelajar asing sejatinya merupakan perpanjangan tangan terhadap orang-orang yang akan mereka hadapi nantinya.
Maka satu-satunya cara untuk menebar benih al-Azhar, risalah wasatiyah (moderatism), itidal (fleksibelitas) dan tasamuh (toleransi) ke seluruh penjuru kota di dunia, ke pelbagai negara ya dengan membantu penuh mereka, memudahkan mereka dalam beradaptasi di lingkungan Mesir, menjamin keamanan demi terwujudnya apa yang mereka impikan.
Dengan demikian, risalah alamiyah azhariyah (pesan dakwah internasional al-Azhar) tersalurkan dengan baik.
Kurang lebih seperti itu ungkapan Doktor Ahmad Mihrasawi, Rektor Universitas al-Azhar dalam suatu acara pelepasan mahasiswa/i tingkat akhir di auditorium Azhar Conference Center (ACC) manakala beliau menanyakan soal "mengapa engkau lebih perhatian terhadap anak-anak asing ketimbang lokal?".
Dalam suatu pidatonya, Grand Shaikh Azhar Ahmad Tayyeb, pemegang otoritas tertinggi al-Azhar yang diartikulasikan di Kuwait tahun 2016 beliau menyebutkan bahwa jumlah pelajar asing saat itu (tahun 2016) berkisar 260.000 (Dua ratus enam puluh ribu) mahasiswa/i dari 111 (Seratus sebelas) negara yang berbeda.
Bisa dibayangkan, perhatian besar atau lebih Grand Shaikh Ahmad Tayyeb kepada 260.000 jiwa itu mampu menerobos sekat-sekat perbatasan negara ke 111 negara sekaligus dengan modal perhatian dan kepedulian saja, tanpa harus tour keliling negara setiap mahasiswa pesan al-Azhar sudah tersampaikan atas izin Allah SWT.
Mengenal Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Tayyeb
Seorang pria yang dididik dalam mileu sufistik-genetik ini dilahirkan di kampung bernama Karnax (Luxor salah satu destinasi pariwisata turis) pada 6 Januari 1946, sekitar satu tahun usai Indonesia merdeka dari kolonial Belanda-Portugal 1945.
Berarti umur beliau sekarang sudah termasuk sepuh, 74 tahun. Namun, dengan kesepuahnnya itu tidak menjadikan semangat beliau menurun, justru beliau masih terlihat segar dan bugar, serta aktif menyebarkan benih-benih paham Ahlussunah wal Jama'ah.
Terakhir negara yang dikunjungi oleh beliau adalah negara Kazhakstan, dalam rangka memenuhi acara muktamar (konferensi) bertajuk "Imam Abu al-Mansur al-Maturidi".
Ada kisah unik yang terjadi di masa kecil beliau. Saat itu Ahmad Tayyeb menginjak usia 6 tahun dan ingin pergi ke sekolah, melihat teman-teman sebayanya pada pergi ke sekolah maka ia pun kepingin ikut bersekolah, mengenakan seragam dan kopiah merah (Thorbusy Afandi).
Namun, minat itu tidak didukung oleh sang Ayah. Sang ayah tidak mengizinkan Ahmad Tayyeb kecil untuk masuk sekolah.
"Aku tidak mengizinkan kamu sekolah, aku ingin kamu masuk ke Kuttab (tempat anak-anak kecil menghafal al-Qur'an/TPA (Taman Pendidikan al-Quran versi Indonesianya))"
Tidak diizinkannya Ahmad Tayyeb kecil masuk ke sekolah bukan tanpa sebab. Sang Ayah suatu ketika pernah bermimpi, dalam mimpi tersebut sang Ayah melihat sesuatu yang sangat begitu mengganggu manakala ankanya (Ahmad Tayyeb) belajar di sekolah, namun sayangnya, tidak dikabari apa kabar selanjutnya dari cerita mimpi sang Ayah hingga beliau wafat.
Namun, kelanjutan dari mimpi itu sudah terlihat sekarang tampaknya, bahwa pelarangan agar tidak masuk sekolah itu merupakan awal fase pendidikan sang anak agar betul-betul manjadi seorang alim dalam agama dan kealimannya diakui oleh banyak orang.
Maka Ahmad Tayyeb kecil terpaksa menghabiskan masa kecilnya di Kuttab, kemudian melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, masuk pesantren Isna al-Dini, kemudian Qina al-Dini.
Setamatnya dari pondok pesantren, beliau ingin melanjutkan ke jenjang kuliah konsentrasi selain ilmu syariat agama, namun lagi-lagi orang tuanya bersikukuh agar anaknya masuk ke al-Azhar.
Di umur 23, beliau tercatat sebagai sarjana strata S1 atau setara dengan License (Lc) kuliah Usuludin Kairo, konsentrasi Theology-Filsafat.
Tidak hanya itu, beliau juga merutini aktivitas sewaktu dari kecil dengan menghadiri majelis-majelis para ulama soleh, arif dan bijak yang dipimpin langsung oleh Kinasih kakeknya Shaikh Ahmad Tayyeb.
Beliau dipilih menjadi asisten dosen di bidang konsentrasi yang digelutinya itu sambil mengambil program Magister.
Di usianya yang ke 25, beliau berhasil menyelesaikan tesisnya, berarti butuh waktu dua tahun saja untuk meraih gelar Magister atau (MA).
Kemudian di umur ke 31, beliau berhasil menyabet gelar Doktor di Universitas al-Azhar dan ditunjuk sebagai dosen pengajar di jurusan Akidah-Filsafat.
Tidak lama kemudian, masih di umur yang sama, beliau melanjutkan studinya ke negara Eiffel, Perancis, di Universitas Paris lebih tepatnya. Singkat cerita, Grand Syekh Al-Azhar ini mendapatkan gelar Profesor di umur 38 tahun.
Achmad Fauzan Azhima, pemuda asal Banten. Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Ushuluddin. Dept. Teologi-Filsafat. Peminat kajian Filsafat, Teologi dan Teosofi. Pernah jadi anak bawang di SASC (Said Aqil Siradj Center) Mesir dalam kajian Historis Islam Klasik.