Esai

Menilik Metode Penafsiran Al-Qur'an Masa Rasulullah dan Sahabat

15 Nov 2021 09:52 WIB
2223
.
Menilik Metode Penafsiran Al-Qur'an Masa Rasulullah dan Sahabat Al-Qur’an turun dengan menggunakan bahasa Arab, sesuai dengan uslub balaghah. Sahabat memahami maknanya, tetapi jenjang pemahaman mereka berbeda dalam menafsirkan al-Qur'an.

Al-Qur’an turun dengan berbahasa Arab fasih. Sebagai kitab yang turun terakhir, al-Qur’an bersifat universal ketika menjelaskan suatu persoalan. Karena mau tidak mau al-Qur’an bakal digunakan sebagai pedoman umat hingga akhir zaman.

Sahabat Nabi Saw adalah orang yang beruntung. Mereka “mubasyarah”, bersentuhan, berjumpa serta melihat wajah Nabi Saw secara langsung. Mereka mendapatkan “cipratan” langsung Nur an-Nubuwwat, cahaya kenabian dari Nabi Muhammad Saw.

Meski demikian, sahabat Nabi Saw seperti layaknya manusia pada umumnya, memiliki tingkatan pemahaman yang berbeda terkait makna ayat-ayat al-Qur’an.

Syekh Manna’ Al-Qattan dalam kitabnya Mabahis fi ulum al-Qur’an (hlm 334, cet al-Hidayah) mengutip pendapat Ibnu Khaldun dalam hal ini berkomentar demikian.

يقول إبن خلدون في مقدمته: " إن القرأن نزل بلغة العرب – وعلى أساليب بلاغاتهم, فكانوا كلهم يفهمونه, ويعلمون معانيه فى مفرداته وتراكبه" ولكنهم مع هذا كانوا يتفاوتون فى الفهم, فقد يغيب عن واحد منهم ما لا يغيب عن الاخر.

“Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya berkata: Al-Qur’an turun dengan menggunakan bahasa Arab, sesuai dengan uslub-uslub balaghah mereka. Tentu mereka memahami maknanya, baik perkalimat maupun susunannya. Meski demikian mereka memiliki jenjang pemahaman yang berbeda satu sama lain, terkadang dari mereka terjadi kesamaran ayat meski yang lain tidak.”

Ada beberapa kasus yang bisa dijadikan contoh. Salah satunya yang terjadi pada Ibnu Abbas. Mulanya ia tidak tahu makna “Fathir al-Samawat wa al-Ardh” (Al-Syura: 11) sebelum ia menyaksikan pertengkaran dua orang pedalaman Arab (suku badui) yang bertengkar.

Ibnu Abbas mengetahui makna “fathir” bermakna  “yang menciptakan” setelah ia mendengar kedua orang badui tersebut berebut sumur. Salah satu dari mereka berkata: “ana fathartuha”, saya yang membangunnya, sedang yang lain berkata “ana ibtada’tuha”, aku yang memulainya.

Pedoman Sahabat Nabi Saw dalam Menafsiri Ayat Al-Qur’an

Pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup dalam menafsiri al-Qur’an, sahabat Nabi akan berpegangan pada tiga hal.

Pertama, al-Qur’an itu sendiri. Dalam al-Qur’an, ayat yang dijelaskan secara global boleh jadi memiliki penjelas ayat dalam ayat lainnya. Ayat yang turun dalam keadaan mutlak atau bersifat umum, kemudian turun ayat lain yang mengerucutkannya dan menyifatinya, menjelaskannya. Ini yang dinamakan “menafsiri al-Qur’an dengan al-Qur’an.”

Contohnya:

أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ

“Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali apa yang ditetapkan kepada kalian (keharamannya)” (QS. Al-Maidah [5]: 1)

Dalam ayat tersebut belum jelas maksud dari “sesuatu yang ditetapkan keharamannya.” Kemudian, dalam hal ini Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (3/8), menafsiri ayat tersebut dengan menghubung-kaitkannya dengan Al-Maidah ayat: 3.

والظاهر- والله اعلم- أن المراد بذلك قوله: (حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ), فان هذه وإن كانت من الانعام إلا أنها تحرم بهذه العوارض, ولهذا قال: (اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ) يعنى: منها. فانه حرام لا يمكن استدراكه وتلاحقه, ولهذا قال تعالى: (أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ) أي: الا ما سيتلى عليكم من تحريم بعضها فى بعض الاحوال

“Yang dzhahir, maksud dari petikan ayat (ما يتلى عليكم ), “sesuatu yang ditetapkan (keharamannya) kepada kalian” ialah dijelaskan oleh petikan firman Allah (Al-Maidah:3): (diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas). Apa yang disebutkan dalam ayat ini meski termasuk binatang ternak akan tetapi diharamkan, sebab sifat-sifat baru yang melekat.

Oleh karenanya, setelahnya Allah berfirman: (kecuali hewan yang kalian sembelih), sedang ayat (hewan yang disembelih karena berhala) termasuk ke dalam yang diharamkan. Oleh karenanya Allah berfirman: (Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali apa yang ditetapkan kepada kalian (keharamannya), maksud dari ayat tersebut ialah hewan yang akan dijelaskan kepada kalian keharamannya.”

Kedua, hadist Nabi Muhammad Saw. ketika ada kesamaran ayat, sahabat Nabi dapat bertanya kepada Nabi Saw secara langsung. Menafsiri al-Qur’an dengan hadist (Tafsir bi al-Ma’tsur). Karena pada hakikatnya salah satu tugas Nabi Saw ialah menjelaskan isi kandungan al-Qur’an (An-Nahl: 64).

Contohnya hadist Nabi Saw yang menjelaskan makna “al-Kautsar” berikut ini:

وعن أنس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الكوثر نهر أعطانيه ربي في الجنة

“Dari Anas berkata: Rasulullah Saw bersabda: Al-Kautsar ialah sungai yang Allah berikan kepadaku di surga” (HR. Ahmad dan Muslim)

Ketiga, (berusaha) memahami, berijtihad. Ketika sahabat Nabi Saw menemukan kesamaran  dalam al-Qur’an dan tidak “sempat” menanyakannya kepada Nabi, maka metode terakhir yang mereka lakukan ialah berijtihad.

Diantara sahabat Nabi Saw yang terkenal sebagai ahli tafsir ialah: Khalifah al-Arba’ah (Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr’ bin ‘Ash dan Aisyah.

Tentu Tafsir yang datang dari sahabat memiliki jenjang jumlah serta tingkatan masing-masing.  Namun, jumhur ulama sepakat bahwa tafsir yang datang dari ijtihad sahabat Nabi Saw dapat dihukumi “marfu’”, (terangkat derajatnya; dapat dijadikan hujjah) jika memang bersumber dari asbab an-Nuzulnya (sebab turun ayat) dan bukan “ar-Ra’yi” pendapat sendiri . Sedang jika merupakan “ar-Ra’yi” selagi tidak ada sanad penjelasan Nabi Saw maka dihukumi “mauquf.”

Meski mauquf  sebagian ulama tetap menjadikannya sebagai rujukan dengan alasan mereka adalah “ahlu lisan”, sang pemilik bahasa. Juga (tentunya) karena keadaan istimewa (atsar an-nubuwah; bekas kenabian) yang ada pada mereka. Pada masa ini tafsir hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Belum ada kodifikasi untuk ilmu tafsir. Wallahu a’lam.

Referensi:

  • Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Juz 3, 1999. (Riyadh: Daar Thayyibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’
  • Syekh Manna’ Al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, (Surabaya: Al-Hidayah).
Alwi Jamalulel Ubab
Alwi Jamalulel Ubab / 25 Artikel

Alumni Khas Kempek, Cirebon. Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.
 

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: