Fatwa
Suami Larang Istri dengan Dalih Perintah Nabi, Ini Kata Al-Azhar
Majma' Al-Buhuts Al-Islamiyah Al-Azhar menerima pertanyaan dari seorang wanita terkait suami melarang istri bertemu keluarga. Kebetulan dia seorang istri dan memiliki ayah yang sedang sakit keras. Suaminya melarang dia menjenguknya.
Wanita itu bercerita bahwa menjenguk ayahnya sudah bukan lagi kewajibannya. Kewajiban dia tinggal taat selayaknya istri mematuhi suami. Dia diberitahu suaminya bahwa pada zaman Rasulullah, pernah ada seorang suami melarang istrinya menjenguk ayahnya lalu wanita itu mengadu kepada Nabi.
Suaminya berkata kepada dia, "Ketika ayahnya wafat, dia meminta izin untuk melihat pemakamannya tetapi ditolak juga. Lalu Nabi berkata bahwa dosa ayahnya diampuni Allah oleh sebab ketaatan dia kepada suaminya."
Setelah menceritakan perkataan suaminya, wanita itu bertanya, "Sejauh mana kebenaran perkataan suami saya dalam kaca mata syariat agama?"
Akademi Riset Islam Al-Azhar itu menjelaskan bahwa syariat Islam menyebut ikatan pernikahan sebagai mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang kokoh) dan menjadikan bahwa asas hubungan antara suami istri adalah makruf.
Baca juga: Adakah Kesunnahan Berhubungan Badan Pada Malam Jumat?
Allah SWT berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Baqarah: 228)
Makruf adalah istilah untuk menyebut segala macam kebaikan dan kebajikan. Segala hal yang mewujudkan kebahagiaan dan kemaslahatan bagi keluarga dan yang memperhitungkan perasaan masing-masing pihak, merupakan bagian dari makruf yang diperintahkan oleh Allah SWT.
"Tingkatan kelebihan" pada ayat di atas bukan dimaksudkan untuk mendominasi satu pihak oleh pihak yang lain. Ibnu Abbas menerangkan bahwa "tingkatan kelebihan" adalah pesan isyarat yang memuat anjuran kepada para suami agar memperlakukan istrinya dengan baik dan memberikan kelonggaran menyangkut keuangan dan ruang gerak (perilaku). Maksudnya, yang paling baik adalah suami mampu mengendalikan nafsu dan egonya sendiri.
"Pandangan Ibnu Abbas ini bagus dan brilian," kata Al-Mawardi.
Akademi Riset Al-Azhar itu menyampaikan bahwa di antara bentuk pemahaman yang keliru adalah menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan kecenderungan hawa nafsu. Allah SWT telah memberikan kepada suami kepemimpinan atas istri mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (An-Nisa`: 34)
Kepemimpinan (Qawwamah) di sini tidak dimaksudkan untuk mendominasi dan berlaku kaku keras kepala tetapi untuk rahmat dan amanah.
Imam Ar-Razi berkata: Justru karena Allah meninggikan derajat suami atas istri, ia diperintahkan untuk memenuhi lebih banyak dari hak-hak yang semestinya diterima istrinya. Pemujian macam di atas (bahwa suami lebih tinggi derajatnya ketimbang istri) justru terdengar seperti ancaman bagi para suami bilamana mereka berbuat kasar, memukul dan menyakiti istri mereka.
"Setiap orang yang dikaruniai nikmat lebih banyak," kata Ar-Razi, "maka dosa yang diperbuatnya sifatnya lebih tercela lagi dan lebih keras lagi kecaman yang mesti diterima olehnya."
Baca juga: Mufti Mesir: Memakai Parfum Bagi Wanita Termasuk Perintah Agama
Berkaitan dengan cerita penanya bahwa Rasulullah SAW memerintahkan istri menaati suaminya dan melarangnya menjenguk ayahnya dan menyaksikan pemakamannya, tidak ada kebenarannya sama sekali.
Kepada suami istri, Majma' Al-Buhuts Al-Azhar berpesan agar senantiasa bertakwa dan takut kepada Allah menyangkut pasangan masing-masing. Mereka berdua juga diminta untuk lebih mengedepankan perasan dan emosi kemanusiaan.
Seorang suami hendaknya bermurah hati, berbuat baik dan memperlakukan istrinya secara makruf. Salah satu bentuk makruf itu adalah dia memberikan izin dan kesempatan kepada istrinya untuk tetap berbakti kepada orang tuanya.
Perlakuan yang sama juga selayaknya diberikan oleh istri kepada suaminya dan ruang yang diberikan suaminya tidak boleh membuat dia lalai terhadap kewajiban mengurus rumahnya.
Majma' Al-Buhuts Al-Azhar berpesan bahwa kita harus mengingat pesan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu sabda beliau,
والذي نفسي بيده لا تدخلوا الجنة حتى تراحموا
"Demi Dzat yang jiwaku berada dalam tangan-Nya, tidaklah kalian masuk surga sampai kalian saling menyayangi satu sama lain."
Memaksakan ego dan memutuskan hubungan antara istri dan ayahnya seperti ketika suami melarang istri menjenguk orang tuanya yang sakit, tidak mencerminkan kasih sayang suami sama sekali. Terlebih dalam kondisi orang tua istri sedang sakit.
Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.
Baca Juga
Apakah ahli waris wajib membayar hutang pewaris?
23 May 2024