Esai

Wahyu dan akal: Sudut pandang Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah (3)

04 Mar 2022 09:01 WIB
1015
.
Wahyu dan akal: Sudut pandang Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah (3) Al-Qur’an tidak boleh ditakwilkan dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya.

Asas keshahihan wahyu adalah kebenaran Nabi (sidq al-rasul). Mendahulukan akal berarti mengutamakan pendapat filosof, mutakallim atau sufi daripada risalah Nabi, dan dapat mengakibatkan bid’ah dan kekufuran.

Meskipun demikian, Ibnu Taimiyah sama sekali tidak merendahkan makna akal jika akal dipahami sebagai watak (gharizah) atau pengetahuan yang diperoleh dari akal (al-ma’rifa al-hasila bil-aql). Sebagai gharizah, akal menjadi syarat bagi segala macam ilmu, apakah rasional ataupun irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai syarat, akal tidak dapat bertentangan dengan wahyu.

Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari gharizah, akal dipahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan pasti kebenarannya (aqli qath’i). Pada poin ini Ibnu Taimiyah tidak memberikan penjelasan lebih detail atau contoh tentang apa hakikat pengetahuan akal yang pasti (aqli qath’i) itu. Mungkin maksudnya adalah pengetahuan yang diperoleh melalui fitrah, seperti yang ia jelaskan dalam kitabnya Naqd al-Mantiq.

Tapi mungkin juga yang dimaksud adalah necessary knowledge, yaitu pengetahuan yang menjamin pengetahuan yang pasti (ilm al-yaqini) secara lafdzi atau maknawi. Pengetahuan ini dimiliki oleh para sahabat Nabi, dan para pengikut-pengikutnya yakni, tabiin dan tabi’ al-tabi’in. Sebab, baginya adalah sumber ilmu pengetahuan tradisi yang harus dipercayai. Pengertian aqli qath’i merujuk kepada pengetahuan yang bukan berasal dari pemikiran spekulatif atau al-burhan seperti, pandangan Ibnu Rusyd.

Selanjutnya dalam mendahulukan wahyu, Ibnu Taimiyah berprinsip bahwa wahyu itu benar dan disampaikan melalui argumentasi-argumentasi tradisional dan rasional. Karena itu tidak dapat bertentangan dengan pengetahuan akal yang benar. Pertentangan itu mungkin terjadi, karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal yang salah. Pengetahuan wahyu yang benar diperoleh dari proses berpikir yang benar, dan pengetahuan terminologi yang sesuai dengan tradisi, dan bukan diluar itu. Karena itu, ia membedakan terminologi yang digunakan dalam sunnah dan disepakati oleh ahl al-ijma’ dari terminologi yang tidak terdapat dalam tradisi.

Untuk membedakan keduanya yang diperlukan adalah, pemahaman terhadap tradisi yang merujuk pada perkataan Nabi, Sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Dari mereka inilah otoritas memahami wahyu dalam Islam bermula, sebab Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang paling tahu kebenaran, dan karena itu ia adalah orang paling mampu untuk menerangkan kebenaran. Maka dari itu, ia memahami istilah takwil sebagai menjelaskan seperti yang dimaksud Allah atau merujuk kepada apa yang dikehendaki Allah dan kriteria takwil yang dapat diterima yaitu, takwil yang sesuai dengan arti yang dimaksud oleh pembicara atau Tuhan melalui Nabi.

Tak hanya itu, Ibnu Taimiyah tidak membatasi objek takwil kepada perkataan majazi dalam al-Qur’an seperti dibahas Ibnu Rusyd. Meskipun ia mengartikan takwil sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan makna dzahir dari lafadz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan dzahir yang dapat dipahami dari lafadz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang dipahami sesuai dengan ikatan-ikatan yang ada di dalamnya. Makna itu tidak memiliki denotasi yang uniform, sehingga harus ditakwilkan apa adanya, dan tidak memiliki denotasi batin yang harus selalu dipahami secara batin.

Jadi, perkataan dzahir diketahui dari denotasi lafadz secara mutlak, atau dari denotasi konteksnya atau dari kesamaannya dengan konteks yang lain. Untuk itu Ibnu Taimiyah menetapkan tiga syarat agar takwil itu dapat diterima; pertama, menjaga agar lafadz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-syari’, serta tidak memahami dengan makna lain; kedua, menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafadznya; ketiga, memperhatikan ikatan-ikatan yang terdapat dalam lafadz dan yang mengikat maknanya, sebab perbedaan satu lafadz dengan lafadz lain ditentukan oleh ikatan yang menyertainya.

Oleh karena itu, lafadz-lafadz al-Qur’an tidak boleh ditakwilkan dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafadz. Selanjutnya, Ibnu Taimiyah membagi takwil menjadi dua; pertama, takwil yang berkaitan dengan perintah kepada manusia untuk berbuat, disebut dengan al-takwil al-talabi, yaitu takwil tengang perintah dan larangan (al-amr wa al-nahy). Di sini Ibnu Taimiyah menerima adanya kontradiksi antara satu teks dengan yang lain; kedua, takwil yang berkaitan dengan apa-apa yang disampaikan Tuhan (akhbar) tentang diri-Nya, tentang Hari Akhir dan lain-lain yang benar sifatnya.

Takwil dalam masalah yang kedua hanya Allah saja yang mengetahuinya, sedangkan manusia hanya dapat mengetahui arti literal teks itu, tapi tidak mengetahui takwil atau realitas yang sesungguhnya. Dalam masalah-masalah doktrin (akhbar), Ibnu Taimiyah tidak melihat adanya kontradiksi teks wahyu seperti dalam al-takwil al-talabi, kontradiksi itu muncul hanya dalam akal orang yang memahami. Jelaslah bahwa Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rusyd berbeda dalam memahami makna takwil.

Bagi yang pertama, takwil sama dengan tafsir dan menekankan pada kesesuaian dzahir lafadz dengan makna dan makna dengan maksud al-syari’. Sedangkan yang kedua menekankan makna takwil pada penjelasan makna sebenarnya (haqiqi) dari makna majazi atau makna batin sesuatu teks. Perbedaan ini dapat dipahami lebih jelas melalui pemahaman mereka dalam mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat yang diterangkan dalam al-Qur’an.

Ibnu Rusyd memahami bahwa takwil ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang memiliki ilmu berpikir demonstratif, sedangkan bagi Ibnu Taimiyah hanya Allah saja yang tahu, karena menurutnya para sahabat dan tabi’in memahami ayat mutasyabihat, tapi mereka tidak mengetahui realitas sesungguhnya (modalitas) dari khabar yang disampaikan Allah itu, dan hanya Allah saja yang tahu (la ya’lamu takwilahu illallah). Itu sebabnya, mengapa Ibnu Taimiyah tidak menjelaskan perkataan al-rasikhun fi al-ilm, karena ia tidak berkaitan dengan otoritas mentakwilkan. Wallahu a’lam.

Baca juga:

 

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf / 110 Artikel

Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: