Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Teologi Adalah Produk Sosial

Avatar photo
27
×

Teologi Adalah Produk Sosial

Share this article

Salah satu penemuan penting abad yang lalu di bidang filsafat sains adalah penemuan Roy Bhaskar dalam bukunya A Realist Theory of Science. Dalam buku itu, ia membantah para filsuf yang terjebak dalam kekeliruan epistemik.

Bhaskar membelah objek pengetahuan menjadi dua dimensi: (i) transitif, dan (ii) intransitif. Bagi Bhaskar, kekeliruan para filsuf yang tidak membedakan antara dua objek tersebut adalah dengan menganggap bahwa statemen tentang adaan (being) bisa direduksi untuk atau dianalisis dalam statemen tentang pengetahuan (knowledge).

Dimensi transitif adalah objek pengetahuan yang berhubungan langsung dengan kesadaran manusia. Sementara dimensi intransitif adalah objek pengetahuan yang independen terhadap manusia. Agar lebih jelas, saya gambarkan dalam satu contoh berikut.

Apel yang jatuh dari pohon adalah kejadian yang bersinggungan dengan kesadaran kita. Dari kejadian itu, kita menyimpulkan bahwa jatuhnya apel tersebab adanya gaya gravitasi. Objek transitif pengetahuan, dalam hal ini suatu kejadian yang menuntut penyimpulan saintifis, tak mungkin ada tanpa manusia. Tetapi gravitasi, suatu mekanisme atau sistem yang menjadikan apel jatuh, sama sekali independen dari manusia, keberadaannya tidak dikondisikan oleh pengetahuan manusia.

Semua kerja dalam sains adalah kerja mengamati objek transitif dan dengan demikian sains tak mungkin absah atau bahkan eksis tanpa objek transitif. Sementara itu, kejadian yang menjadi objek pengetahuan itu tak mungkin ada tanpa objek intransitif, yaitu suatu mekanisme yang mengikat kejadian-kejadian khusus.

Sains adalah suatu pengetahuan yang dibentuk oleh sosial. Tak ada sains tanpa adanya sosial, seperti halnya tak ada objek transitif tanpa adanya objek intransitif. Gravitasi, atau apapun penemuan sains lainnya, bergerak dalam sejarah pemikiran manusia.

Sebelum Newton, manusia telah hidup dalam tarikan gravitasi, meskipun tak ada satu pun yang menyimpulkan kenapa semua benda menapak di bumi dan tidak melayang-layang tanpa arah. Gravitasi—sebelum dinamakan gravitasi—harus sudah ada sebelum pengetahuan tentangnya dimungkinkan oleh peristiwa gravitasi. Newton telah menemukan teori gravitasi, tetapi bukan Newton yang menciptakan gravitasi.

Baca juga: Kausalitas Imam Al-Ghazali dan Mekanika Kuantum ala Kopenhagen

Pengetahuan manusia tidaklah menciptaan sesuatu, tetapi sesuatulah yang menciptakan pengetahuan manusia. Dengan memegang prinsip ini, kita tak akan terjatuh dalam kekeliruan epistemik, yaitu suatu prinsip yang mereduksi statemen ontologi hanya sekedar sebagai statemen epistemologi.

Beberapa nama bisa kita sebut di sini: Hume (realisme empiris), Kant (idealisme transendental), dan Hegel (idealisme absolut). Sains adalah produk sosial tersebab dialektika pemikiran yang membujur dalam sejarah manusia. Teori gravitasi Einstein adalah respons kritis terhadap teori Newton, dan begitulah Newton terhadap pendahulunya.

Di masa modern, sains mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Ia sudah tidak lagi berada dalam naungan filsafat, karena merasa berbeda titik tolak dan metodologi. Jika filsafat memulai dari titik tolak pemikiran murni, cenderung memakai metode deduktif, maka sains bertolak dari penelitian lapangan, condong kepada metode induktif.

Oleh sebab itu, sains tidak menamakan dirinya kosmologi, sebagaimana ilmu alam yang dikenal oleh filsafat Yunani klasik dan Abad Pertengahan. Kosmologi klasik dianggap oleh sains modern sebagai metafisika. Apakah dengan demikian, kosmologi dan sains sama sekali berbeda?

Kosmologi dan sains sama dalam hal bahwa keduanya merupakan produk sosial. Logos dalam kosmologi mengindikasikan suatu pengetahuan. Logos adalah bahasa Yunani bermakna sains, pengetahuan. Komologi adalah sains tentang alam semesta. Jadi, semua disiplin yang menyertakan tambahan –logi di belakangnya adalah suatu sains.

Baca juga: Al-Farabi: Filsuf Kazakhstan Penyambung Filsafat Islam dan Barat

Hal ini berlaku juga bagi ontologi, yaitu sains tentang Ada, juga teologi, yaitu sains tentang Tuhan. Di titik inilah sains dikembalikan kepada makna literalnya: sebagai suatu logos, suatu pengetahuan. Maka, saya katakan secara ekuivalen bahwa teologi, sebagai suatu sains, suatu logos, suatu pengetahuan, adalah produk sosial.

Teologi bukan ilmu yang mengawang-awang, sakral, dan eksklusif. Sebagai produk sosial, teologi adalah hasil dari ijtihad manusia; oleh sebab itu tidak heran jika tidak ada satu pun konsep dalam teologi yang tidak menemukan antitesisnya. Jika kita kembali lagi kepada teori Bhaskar di atas, kita akan melihat kebenaran klaim ini dengan lebih jernih.

Pertama-tama kita harus mengatakan bahwa mesti ada Tuhan sebagai yang independen terhadap manusia agar sains tentang-Nya menjadi mungkin. Tuhan sebagai diri-Nya sendiri tidak mungkin diketahui oleh subjek berkesadaran, Dia adalah misteri an sich. Teologi Islam menyebutnya sebagai dzat, dan sifat yang muncul darinya adalah sifat nafsiyyah. Sifat ini adalah sifat wujud. Tak ada yang bisa diketahui dari sifat ini selain Dia adalah wujud. Bagaimana wujud Tuhan? Itu adalah misteri terbesar.

Kedua kalinya, kita harus mengatakan bahwa mesti ada sosial agar sains tentang Tuhan menjadi mungkin. Di titik ini, teologi menyatakan beberapa sifat yang bisa kita pahami melalui sains yang dibentuk oleh sosial, meliputi sifat salbiyyah, yaitu sifat-sifat yang ketika ditiadakan maka hal itu akan melucuti Tuhan dari sifat kesempurnaan (kamal/perfection), juga sifat ma’ani, yaitu sifat-sifat yang tidak mungkin lepas dari-Nya, biasa disebut juga sebagai sifat dzatiyyah, juga sifat ma’nawiyyah, yaitu sifat-sifat yang merupakan hasil dari sifat sebelumnya.

Dari sosial (apa pun sumber justifikasinya: kitab suci, ilham orang-orang suci, maupun buku sejarah), kita mengetahui sifat Tuhan dan memahaminya berdasarkan bahasa manusiawi kita. Tanpa sosial ini, mustahil kita mengenal Tuhan. Teologi adalah produk sosial, ia lahir dari dialektika sejarah pemikiran manusia.

Masalah yang tak kalah penting untuk disinggung di sini adalah masalah kekeliruan epistemik yang menjangkiti teologi. Masalah ini berkaitan dengan kesempurnaan Tuhan. Saya akan menyederhanakan masalah ini dengan satu frasa: “Ide tentang Tuhan tanpa manusia tidaklah mungkin, Tuhan tanpa manusia adalah mungkin.”

Selama ini, teologi sering mereduksi Tuhan hanya sebagai “ide tentang Tuhan”. Tuhan haruslah tunduk pada konsep manusia agar seluruh bangunan teologis menjadi absah. Teologi, atau dengan istilah yang lebih rigid “teologi positif”, menghendaki Tuhan tidaklah lebih luas daripada konsep tentang Tuhan.

Misalnya, jika ada seorang teolog yang berpendapat bahwa kesempurnaan Tuhan ada pada konsep logis tentang keadilan, maka yang dibayangkan oleh teolog tersebut sesungguhnya adalah Tuhan yang konseptual, yaitu Tuhan yang sesuai dengan nalar logis-deduktif yang dibangun olehnya. “Jika Tuhan menyiksa orang yang berbuat kebaikan dan mengganjar orang yang berbuat dosa, maka Tuhan tidaklah adil. Dan jika Tuhan tidak adil, maka Dia zalim. Kezaliman bukanlah termasuk sifat kesempurnaan.” Dalam istilah Bhaskar via filsafat sains-nya, hal ini disebut dengan kekeliruan epistemik (epistemic falacy).

Apa itu kekeliruan epistemik? “Dogma […] bahwa statemen tentang adaan,” kata Bhaskar, “selalu bisa diubah ke dalam statemen tentang pengetahuan kita akan adaan.” Pengetahuan kita akan Tuhan, selama ini, selalu dipaksakan untuk esensi Tuhan. Kesempurnaan-Nya seolah-olah dipaksa tunduk dengan logika kita, dengan akal kita.

Baca juga: Belajar Ilmu Mantiq Agar Tak Sesat Berpikir

Ide tentang Tuhan memang harus mengandaikan manusia. Tetapi ide tentang Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri. Jika kita mengandaikan Tuhan sesuai dengan ide kita tentang-Nya berarti kita telah terjatuh pada kekeliruan epistemik, lantaran kita mereduksi statemen tentang Ada menjadi statemen tentang pengetahuan kita akan Ada.

Lantas apakah dengan demikian kita tidak membutuhkan teologi jika seluruh teologi terjebak dalam kekeliruan epistemik? Harus saya ulangi bahwa teologi adalah produk sosial. Setiap produk sosial memiliki ciri intrinsik dan ekstrinsik. Ciri intrinsiknya adalah ia tercipta dari dialektika zaman yang tak bisa dielak. Ciri ekstrinsiknya adalah ia merupakan kekuasaan diskursus. Sains, apapun sainsnya, mengandaikan kedua ciri tersebut.

Teologi menjadi relevan ketika ia menyadari keterbatasannya. Di manakah batasnya? Batasnya adalah batas logika itu sendiri. Dan ketika logika memiliki batas, iman mengambil alih lajurnya. Dengan sangat elok Grand Syekh Al-Azhar Ahmad At-Tayyib merangkumnya dalam Fi al-Mushthalah al-Kalami wa ash-Shufi: “Yang ditunjukkan oleh nama “Allah”—yaitu dzat ilahi—adalah objek iman dan keyakinan an sich, bukan objek penalaran akal, secanggih apapun perangkat dan pirantinya. Allah itu gaib. Akal tidak mengetahui dzat dan sifat-Nya kecuali apa yang sudah dikabarkan Allah tentang diri-Nya sendiri melalui lisan nabi dan rasul-Nya.”

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.