Sebelas tahun Rasulullah SAW menderita
keterasingan di tengah kaumnya sendiri, dan di antara suku-suku yang ada di
sekitar Makkah.
Sebelas tahun Rasulullah SAW berjuang menghadapi
berbagai rintangan dan penderitaan yang sangat berat tanpa mengenal istirahat
dan ketenangan. Setiap saat kaum Quraisy terus mencari peluang untuk menyakiti
bahkan membunuh beliau. Namun, semua itu tidak mengendurkan tekadnya, tidak
pula melemahkan semangat dan perjuangannya.
Sepanjang fase ini, setiap musim haji tiba, Nabi
SAW memperkenalkan diri kepada orang-orang yang datang ke Masjidil Haram dari
berbagai suku yang berbeda-beda. Beliau membacakan Kitabullah dan mengajak
mereka mengesakan Allah. Namun, tidak seorang pun menyambut ajakan beliau.
Buah yang dinanti-nantikan ini justru datang dari
luar Quraisy, jauh dari kaum Rasulullah SAW sendiri, padahal beliau telah
bergaul dan hidup di tengah mereka sekian lama.
Ketika berada di Aqabah (antara Mina dan Makkah,
tempat melempar jumrah Aqabah), beliau bertemu dengan sekelompok orang dari
Suku Khazraj, yaitu As‘ad bin Zurarah, Auf bin Harits, Rafi’ bin Malik, Quthbah
bin Amir, Uqbah bin Amir, dan Jabir bin Abdullah. Merekalah yang dikehendaki
kebaikan oleh Allah SWT.
Nabi bertanya, “Siapakah kalian?”
Mereka menjawab, “Kami orang Khazraj.”
Beliau kembali bertanya, “Apakah kalian sekutu
(aliansi) kaum Yahudi?”
Mereka pun menjawab, “Iya.”
Kemudian
beliau mengajak mereka berbincang, memperkenalkan Islam, menyeru mereka ke dalam Islam, dan membacakan
Al-Qur’an.
Karena faktor kedekatan dengan kaum Yahudi,
menjadikan mereka mau menerima seruan Islam. Sudah diketahui bahwa kaum Yahudi
adalah Ahlul Kitab dan dikenal sebagai kelompok yang berilmu. Kabar tentang
Nabi baru ini pula datangnya dari orang Yahudi.
Selama tahun itu, tersebarlah Islam di Madinah.
Pada musim haji berikutnya, dua belas laki-laki Anshar datang menemui
Rasulullah SAW di Aqabah. Inilah Baiat Aqabah Pertama. Orang-orang yang ikut
dalam Baiat Aqabah Pertama ini antara lain As‘ad bin Zurarah, Rafi’ bin Malik,
Ubadah bin Ash-Shamit dan Abu Al-Haitsam bin At-Tihan.
Sebelum mereka pulang ke Madinah, Rasulullah SAW
menugaskan Mush‘ab bin Umair untuk pergi bersama mereka guna membacakan
Al-Quran, mengajari mereka tentang Islam, dan membantu mereka memahami agama.
Karena tugas inilah, Mush‘ab bin Umair dijuluki Muqri’ Al-Madînah (pembaca
Al-Quran bagi Madinah).
Mush’ab bin Umair kembali ke Makkah pada musim
haji berikutnya bersama serombongan besar kaum Muslim Madinah yang berjumlah 70
orang laki-laki dan dua orang perempuan, yaitu Nasibah binti Ka‘b dan Asma
binti Adi. Mereka secara diam-diam menemui Rasulullah SAW dan beliaupun
membaiat mereka. Inilah baiat Aqabah kedua.
Baiat Aqabah Kedua merupakan langkah pertama yang
menyiapkan hijrahnya Nabi SAW dan kaum Muslimin ke Madinah Munawwarah. Karena
intensitas gangguan, musibah dan cobaan semakin berat menimpa kaum Muslimin
yang dilancarkan kaum musyrik, akhirnya para sahabat menemui Rasulullah SAW dan
meminta izin untuk hijrah. Beliau pun menjawab, “Aku telah diberitahu bahwa
tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Siapa saja yang ingin pergi, pergilah ke
sana.”
Semua sahabat Rasulullah SAW hijrah secara
diam-diam, kecuali Umar bin Al-Khathtab RA.
Diriwayatkan bahwa saat Umar RA hendak hijrah, ia
mengikat pedang di pinggangnya serta membawa busur, panah, dan tongkatnya lalu
berjalan menuju Ka’bah yang dipadati kaum Quraisy. Setelah melakukan tawaf
tujuh kali dengan mantap dan tenang, ia menghampiri Maqam Ibrahim dan
mendirikan shalat. Lalu ia berdiri seraya berkata, “Hai wajah-wajah yang
celaka! Wajah-wajah yang hanya akan dikalahkan Allah! Siapa saja yang ingin
ibunya kehilangan anaknya, atau anaknya menjadi yatim, atau istrinya menjadi
janda,temuilah aku di balik lembah ini.”
Demikianlah seterusnya. Sambung-menyambung kaum
Muslimin hijrah ke Madinah sehingga yang tersisa di Makkah hanya Rasulullah
SAW, Abu Bakar, Ali, orang yang disiksa, orang yang dikurung, orang yang sakit,
atau orang yang terlalu lemah untuk pergi.
Disarikan dari kitab Fiqh as-Sirah
an-Nabawiyyah, karya Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi.