Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sri Wedari, Kopi Tubruk dan Trotoar yang Kesepian

Avatar photo
28
×

Sri Wedari, Kopi Tubruk dan Trotoar yang Kesepian

Share this article

Sri Wedari

Sri di Wedari
Kaukah itu?
kemari
bentangkanlah jalan sunyi
tuang segelas hening
secangkir bening
di kening
di kalbu
isilah aku
penuhi aku
dengan bayang-bayangmu
hingga aku kosong
Kau yang Sri di Wedari
izinkan aku sampai
dan tak kembali

Yogyakarta


Kopi Tubruk

secangkir kopi menubruk malam
sungguh tubruk malam-malam pejalan sepi
dan kita masih menulis rembulan
dengan pena kosmetik

adakah yang lebih arabika
dari asem tawa rakyat jelita*
adakah yang lebih robusta
dari senyum pahit rakyat melata*
dan kita masih membicarakan pelangi
dengan bahasa minyak wangi

Yogyakarta
*Rakyat jelita dan rakyat melata; dua istilah yang lahir dari bibir Ahmad Musthofa Haroen


Trotoar yang Kesepian

kekasih, lihatlah rinai hujan jatuh
di sepanjang trotoar yang kesepian
kita tak pernah mampu menghitung berapa tahun
trotoar itu merana di antara kecamuk suara knalpot
ia merindukan pejalan kaki
merindukan mereka yang terburu-buru
untuk sekadar bertemu kejenuhan-kejenuhan di bilik kerja
merindukan mereka yang menyimpan kepanikan-kepanikan hidup
merindukan mereka yang menggunjing terik mentari

entah kita lelah atau lupa bagaimana berjalan
kita lebih terbiasa menyalakan mesin
yang merubah kita jadi hantu jalanan
kita begitu latah memencet tombol klakson
saat kemacetan pindah ke jalan pikiran
lalu memarahi orang lain
untuk tidak memaki diri sendiri

aku teringat cerita ibuku
waktu pertama kali aku bisa berjalan
katanya tawaku melebihi kecupan suaminya
aku ingin kembali berjalan
kali ini bersamamu

Yogyakarta, 2015

Kontributor

  • Asmara Edo Kusuma

    Sastrawan aktif. Lulusan Al-Azhar University, Kairo. Mengerjakan sejumlah buku, sebagai penerjemah dan editor. Mengaku suka cilok, kopi, dan tertawa.