Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Catatan Keilmuan Umi Prof. Dr. Huzaemah Tauhid Yanggo, MA (Bagian 1)

Avatar photo
48
×

Catatan Keilmuan Umi Prof. Dr. Huzaemah Tauhid Yanggo, MA (Bagian 1)

Share this article

Membaca perjalanan keilmuan seorang ulama
memang selalu menarik untuk disimak, sebab terkadang dalam setiap detailnya
mengandung hikmah dan pelajaran berharga tentang kesabaran, ketekunan serta
proses panjang yang dilalui dalam mencapai derajat keilmuan tersebut.

Tidak seperti menjadi seorang ‘ahli’,
sebutan ulama merujuk kepada sebuah proses perjalanan intelektual dan  tentu spiritual yang tidak hanya dilalui dalam
4 atau 10 tahun. Ia adalah proses 
pembentukan ilmu dan ruhani selama bertahun-tahun bahkan sebelum ruh di
dalam rahim seorang ibu ditiupkan. Tentu ini juga yang pasti ada dalam diri
almarhumah Umi
Huzaemah
.

Setelah wafatnya Umi
Huzaemah
40 hari yang lalu, saya pribadi banyak mendengarkan kesaksian
tentang umi  dari banyak orang yang
bermuamalah dengan beliau, baik kolega, murid ataupun keluarga. Sebuah kisah
yang sepertinya sangat sayang untuk dilewatkan agar kita sebagai generasi
penerus dapat memahami almarhumah secara lebih dekat, khususnya catatan
keilmuan umi yang lebih spesifik.

Tentu catatan kecil ini tidak dapat
menggambarkan umi secara utuh, namun semoga bisa menjadi sebuah lembaran lain
yang terdokumentasikan dari hidup seorang ulama perempuan Indonesia ini yang
juga merupakan ibunda saya secara pribadi.

Nama beliau adalah Huzaemah, begitu yang
tertulis dalan akta lahirnya. Beliau adalah anak pertama dari enam bersaudara
yang lahir di kampung Kaleke, Donggala Sulawesi Tengah 30 Desember 1945 dari
salah satu suku di Sulawesi Tengah yaitu Tanah Kaili (Suku Kaili).

Ayah beliau bernama Tauhid bin Yanggo,
seorang petani  yang menggarap sawah
milik sendiri serta pengembala kerbau di Donggala. Kakek beliau dari jalur ayah
(Yanggo) dikenal sebagai pendekar atau Jawara kala itu. Jika, saat ini kita
sering mengenal beliau dengan nama Tahido, maka nama asli ayahanda beliau
adalah Tauhid bin Yanggo.

Meskipun bukan keturunan ulama dan hanya
seorang petani dan tercatat tidak lulus sekolah, tapi ayahanda beliau dikenal
cerdas dan memiliki tulisan yang bagus. Bakat alamiah inilah yang kemudian
turun ke Umi Huzaemah.

Tauhid bin Yanggo memiliki dua istri.
Pertama bernama Ince yang memiliki anak bernama Maryam dan yang kedua adalah
Indo Jengki Ladjura yang darinya lahir enam orang anak: Huzaemah, Mohammad
Djabir, Taswir, Taswin, Husna dan Takrim.

Indo Jengki sendiri berasal dari Kaleke.
Dalam beberapa kesaksian keluarga dan kolega yang saya ketahui, beliau
merupakan keturunan dari Datuk Karama atau Syekh Abdullah Raqie, seorang ulama
Minangkab
au yang menyebarkan agama Islam di Tanah Kaili, Donggala pada abad
ke-17 M di masa Raja Kabonena yang memerintah Palu pada saat itu.

Baca juga:

Jika ditarik dari garis ibu, maka Umi
Huzaemah memang memiliki darah Minang Sumatra Barat yang kita kenal sebagai
tanah para ulama seperti Buya Hamka, Syekh Yasin Al-Fadani, Syekh Khatib
Al-Minangkabau dan sederet nama besar lainnya. Meskipun, saya pribadi belum
bisa melacak silsilah kenasaban ini yang mungkin terpaut empat sampai lima
generasi ke atas.

Dalam catatan Rusdi Toana (1990)
mengenai Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Donggala, pada tahun 1945
pemerintahan di Donggala yang saat itu masih dikuasai oleh raja-raja lokal
Donggala sempat melakukan perlawanan terhadap pendudukan Belanda setelah
jatuhnya Jepang dan Donggala saat itu kembali dikuasai NICA. Suasana kebatinan
di Donggala saat itu di masa awal awal kemerdekaan Indonesia dan proses
penyatuan bumi Sulawesi ke pangkuan tanah air Indonesia merupakan suasana
dimana Umi Huzaemah dilahirkan dan dibesarkan.

Sebagai putri seorang petani-pengembala
dan Ibunda yang juga buta huruf,  tidak
menjadikan Umi Huzaemah lantas berkecil hati. Kegemarannya membaca sejak kecil
ditambah dari keistikomahan orang tuanya berjamaah di langgar dekat rumah,
telah membentengi mental dan ruhani beliau untuk terus belajar menggapai
derajat keilmuan yang mapan di kemudian hari.

Dari sebelum masuk ke sekolah dasar, Umi
Huzaemah dan adiknya Taswir tinggal di rumah tantenya di Sibonu yang tidak lain
adalah adik dari ayahandanya yang bernama Khadijah. Disanalah Umi Huzaemah
diajarkan  membaca al-Qur’an dan mengaji
dasar-dasar agama sampai menyelesaikan sekolah dasar yang saat itu masih
dinamakan sekolah rakyat negeri. Jika pagi hari beliau belajar di SRN Kaleke,
maka sore hari beliau berangkat dengan berjalan kaki untuk sekolah di
Ibtidaiyah Alkhairaat, juga di Kaleke.

Di sela-sela belajarnya di Sibonu, Umi
Huzaemah juga kerap membantu Tante Khadijah untuk berjualan gorengan dan nasi
kuning sampai kelak setelah lulus sekolah dasar, beliau merantau ke kota Palu
dan tinggal di rumah kerabat dekat lainnya.

Dari kecil hidup Umi Huzaemah memang
tidak pernah lepas dari buku.  Saat
kemudian beliau melanjutkan pendidikan tsanawiyah sampai perguruan tinggi di
lembaga Alkhairaat Palu, beliau selalu berteman dengan buku dan dikenal sebagai
santri tauladan dan pecinta buku.

Perjalanan keilmuan beliau lebih banyak
dihabiskan di lembaga Alkhairaat, Palu hingga menamatkan pendidikan beliau dari
Fakultas Syariah Universitas Islam Alkhairaat (Unis) pada tahun 1975 dan meraih
gelar Sarjana Muda (BA). Saat masih menjadi mahasiswi di Unis Alkhairaat
(sekarang Unisa), Umi Huzaemah juga lulus ujian guru agama (UGA) yang
menjadikannya pegawai negeri sebelum beliau berangkat ke Mesir pada tahun 1977.

Di Alkhairaat, Umi Huzaemah mendapatkan
bimbingan langsung dari Guru Tua Habib Idrus bin Salim Al-Jufri dan tentu
guru-guru beliau yang lain di antaranya: 
Habib Saggaf bin Syeikh bin Salim Al-Jufri, Ustad Yasin Al-Hasni, Ustad
Rustam Arsyad, Ustad Kasim Maragau, Ustad Mahfud Godal, Habib saggaf bin
Muhammad bin Idrus bin Salim Al-Jufri, Ustad Abdul Hayyi, Ustad Sunusi
Fatimbang, Ustad Abdullah Abdun, K.H. Zainal Abidin Betalemba, Ustad Abdurahman
Latopada, Ustad Drs. Nurlin Lamakarate, Ustad Abdillah bin Muhammad bin Idrus
bin Salim Al-Jufri, Ustad Bahrain Tayyib, Ust. Farej Dhafir, dll.

Peran
Guru Tua Habib Idrus bin Salim Al-Jufri sangat membekas dalam membentuk
karakter pemikiran dan spiritual Umi Huzaemah sebelum
keberangkatannya ke Kairo. Saat guru tua wafat pada tahun 1969, umi berumur 24
tahun  dan hampir sepanjang itu pula umi
belajar dan mulazamah kepada beliau. 
Saya mendapatkan beberapa catatan ijazah doa dan wirid tertentu yang umi
dapatkan dari guru tua, Habib Idrus, yang mengisyaratkan adanya hubungan batin
antar keduanya. 

Kontributor

  • Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I., MA.

    Dosen Program Pasca Sarjana Hukum Ekonomi Syariah (HES) Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta.Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.