Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Seni Rupa Zaman Nabi

Avatar photo
32
×

Seni Rupa Zaman Nabi

Share this article

Kehidupan keagamaan di wilayah Hijaz secara umum, dan Mekkah secara khusus, pada awalnya penganut agama tauhid (hanif) yang dibawa oleh nabi Ibrahim as. kemudian dilanjutkan oleh putranya nabi Ismail. Perjalanan hidup Nabi Ibrahim, Istrinya Siti Hajar, dan Putranya Nabi Ismail melahirkan beberapa syariat Islam dan kebudayaan yang sampai sekarang terpelihara. Seperti Ka’bah, maqam Ibrahim, dan peristiwa qurban. Bahkan proses perjalanan kehidupan keluarga ini ditiru dan disimulasikan oleh umat Islam dalam bentuk manasik haji. Manasik haji merupakan rangkai dari usaha ketiga makhluk Allah dalam mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha Esa.

Tidak dapat diketahui dengan pasti, sejak kapan ajaran tauhid ini bercampur atau diganti dengan karya seni, berupa patung atau berhala (politheisme). Bebarapa hal yang penting diungkapkan di sini menurut al-Faruqi, yang paling penting adalah masyarakat Arab selama  berabad-abad sudah punya tradisi mencipta karya seni rupa, berupa patung-patung. Bahkan, dikisahkan, bila ada keluarga yang tidak bisa membuat patung, maka posisi keluarga tersebut di tengah masyarakat menempati strata yang paling rendah.

Selain itu, menurut al-Faruqi, pertama, adanya kebutuhan pada Tuhan yang selalu bersama mereka, terutama saat mereka membutuhkan. Misalnya untuk meramalkan masa depan, berkonsultasi saat mereka sedih, memohon nasehat untuk memulai perjalanan perdagangan, atau perang, juga saat berburu. Mereka membutuhkan cara agar semakin dekat dengan Tuhannya, sementara yang tersedia secara kongkrit dan mereka kagumi adalah patung, maka dari sinilah benih pengkultusan patung-patung itu. (Ismail R. Al-Faruqi dan LL. al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, h. 63)

Kedua, kuatnya kecenderungan mengagungkan leluhur yang telah berjasa, terutama kepala kabilah (suku) dan nenek moyang mereka yang begitu dihormati. Pengkultusan pada orang-orang tertentu menjadikan inspirasi bagi masyarakat Arab untuk mengabadikan pada karya seni, berupa patung. Bahkan ketika ketua suku itu sangat terhomat, tak segan-segan masyarakat membuat patung terbuat dari logam mulia. Sebab diyakini ruh bagi yang sudah meninggal bisa pindah ke anak cucu mereka (apetoises). (Ismail R, h. 63-64, kondisi ini sejalan dengan QS. al-Zumar/39: 3)

Ketiga, rasa takut yang kuat menghadapi kekuatan alam yang menimbulkan bencana, mendorong mereka mencari kekuatan lain dari Tuhan yang kongkrit. Tentu saja hal yang paling kongkrit adalah patung-patung mereka.

Keempat, orang Mekkah terpengaruh pada sebagian orang Yahudi yang pindah keyakinan dari monotheis ke monolatri. Seperti menyembah bulan, matahari dan ruh, juga pada kepercayaan lain yang berkembang di Mekkah, yaitu: menyembah malaikat, hantu dan ruh leluhur mereka. Mereka mengadakan sesajian berupa kurban binatang yang diletakkan di atas patung manusia sebagai bahan sajian agar mereka terhindar dari bahaya dan bencana.

Kelima, masyarakat Arab terpengaruh sebagian ajaran Kristen yang telah mengubah monotheis menjadi politheis melalui teologi sakramentalis, patung Yesus dan salibnya.  Karena faktor kelima itulah, lambat laun, agama tauhid dari kerasulan Nabi Ismail as, di Mekkah mulai tergesar dan pindah menyembah berhala. Apalagi proses perpindahan kepercayaan itu ada momentumnya, yaitu berawal dari Amir bin Lubai bin Qam’ah seorang pembesar suku Khuza’ah, pergi ke Syam (Syiria).

Leluhur suku Khuza’ah itu juga mengajak masyarakat setempat untuk menyembah benda-benda mati. Fakta ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim bin al-Haris at-Taimi dari Abu Shalih as-Saman.

Menurut Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi juga mengutip keterangan dari sejarawan Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam (wafat 833 M). Ibnu Hisyam meriwayatkan bagaimana Amr bin Luhaiy mengenalkan syirik kepada bangsa Arab. Suatu ketika, Amr pergi dari Mekkah menuju Syam (Suriah) untuk memenuhi beberapa urusannya.

Baca juga: Cangkang Siput dalam Seni Arsitektur Islam

Cerita singkat itu demikian, ketika Amr sampai di daerah al-Balqa’, tepatnya Ma’ab, yang waktu itu dihuni penduduk Amalek. Bila ditelusuri silsilahnya, mereka adalah keturunan Amlaq bin Lawidz bin Sam bin Nuh. Ternyata, Amr mendapati beberapa orang di sana sedang menyembah patung. “Apa patung-patung yang kalian sembah itu?” Tanya Amr kepada mereka.

“Patung-patung itu kami sembah untuk meminta hujan, sehingga kami diberi hujan. Kami meminta kemenangan, sehingga kami diberi kemenangan.” jawab beberapa dari mereka.

Tidak disangka-sangka, Amr lansung ikut praktek memuja patung itu, dan secara kebetulan, tak berapa lama hajat yang diminta oleh Amr sesuai dengan harapannya. Kemudian di hari berikutnya, ketika hendak pulang ke Hijaz, Amr bertemu dengan pembesar suku Amalek, agar bisa memboyong salah satu dari sekian patung itu.

“Maukah kalian memberikan kepadaku dengan harga berapapun, satu di antara patung-patung itu, yang bisa kubawa ke negeri Arab untuk disembah?” Pintanyanya.

Orang-orang itu pun memberinya sebuah patung yang bernama Hubal. Ringkas cerita, sesampainya di Mekkah, Hubal diletakkannya di dekat Ka’bah. Masyarakat luas berduyun-duyun datang. Amr lantas mengimbau mereka agar benda mati itu disembah dan diagung-agungkan sebagai cara memperoleh segala harapan. Ajakan ini ternyata disambut sejumlah petinggi kota itu, sehingga lambat-laun tersebarlah paganisme di tengah bangsa Arab.

Selanjutnya, dia mengajarkan kepada masyarakat Mekkah cara menyembah patung, yang memang terlebih dulu, hampir setiap rumah sudah mengkoleksinya. Sehingga masyarakat menyakini bahwa berhala adalah perantara untuk mendekatkan diri kepada tuhannya. Sejak itulah kemudian masyarakat Mekkah meletakkan berhala-berhala itu di dekat Ka’bah sehinga mencapai 360. Berhala-berhala lain yang besarnya hampir menyerupai Hubal adalah al-Allat (putri Tuhan tertua, representasi dari Tuhan matahari dan bulan), lalu al-’Uzzah (Planet Venus, putri kedua Tuhan) dan Manat (Putri ketiga Tuhan) yang mewakili takdir dan harapan.

Replika berhala sesembahan Arab jahiliah.

Keempat berhala tersebut berbentuk tiga dimensi; naturalis-realis (figuratif) yang menyerupai manusia secara sempurna. Hubal menyerupai laki-laki yang tampan dan gagah perkasa. Sementara al-Allat, al-‘Uzzah dan Manat menyerupai perempuan yang cantik dan indah tubuhnya. Semua berhala tersebut terbuat dari batu mulia (akik, intan), sementara tangannya terbuat dari emas. Adapun berhala-berhala lain yang lebih kecil, terbuat dari batu (wathan), kayu dan logam (shanam), dan gerabah (nushub), berhala-berhala itu diberi nama sesuai dengan nama daerahnya atau sukunya, seperti Dzu Khasah, Dzu al-Kaffayn dan Dzu al-Rijl. (al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah, h. 102)

Adapun Ya’uq adalah sesembahan suku Hamdan, Nasr sesembahan suku Himyar dan keluarga Dzi Kila’. Padahal sebelumnya, nama-nama itu adalah nama orang-orang sholeh dan pahlawan yang pernah hidup di zaman Nabi Nuh AS. Namun nama-nama itu kemudian diabadikan dalam sebuah karya seni dan menjadi sakral. Sejak itu, mulailah kepercayaan baru masuk ke masyarakat Mekkah dan kota mekkah menjadi pusat penyembahan berhala. (Ahmad Syalabi, Mau’suat a-Tarikh al-Islami, h. 163)

Sementara tempat-tempat berhala disebut Qidh, tempat suci yang selalu dijaga bergiliran di antara pembesar suku. Tugas penjaga ini di antaranya adalah melayani orang-orang yang melakukan ritual pemujaan, menarik anak panah, dan melempar batu untuk menafsirkan mimpi dan harapan, juga tanda-tanda alam kapan beruntung dan sial. (Ismail R. Al-Faruqi dan LL. al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, h. 67) 

Ketika melaksanakan haji, bangsa Arab melihat berhala-berhala di sekitar Ka’bah. Mereka bertanya alasan menyembah berhala. Para pembesar menjawab, bahwa berhala-berhala tersebut merupakan perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Setelah itu, mereka kembali ke daerahnya dan meniru cara ibadah masyarakat Mekkah. Mulailah kepercayaan baru menyebar di seluruh Jazirah Arab.

Pendapat lain, tentang tergeser atau bercampurnya agama tauhid adalah batu yang ada di tanah Mekkah mengandung batu akik dan logam mulia (termasuk batu Ka’bah). Jadi siapapun yang pernah ke Mekkah membawa sebuah batu yang diambil dari bebatuan yang ada di sekitar Ka’bah. Maka untuk menghormati tanah Mekkah, mereka membuat patung-patung yang terbuat dari bahan pilihan tersebut, sehingga jika mereka tak sempat ke Ka’bah, mereka cukup berthawaf dan memuliakan di depan rumah masing-masing. Dengan demikian lambat laun mereka, memitoskan berhala-berhala tersebut. (Abdul Hameed Siddiqie, The Life Muhammad, h. 38-42)

Baca juga: Imamah Al-Azhar dan Simbol Warna dalam Seni Islam

Bahkan, untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan mereka, orang Arab tak cukup menyembah berhala, tetapi juga mempersembahkan korban dari binatang ternak, bahkan manusia, kemudian darahnya dilumurkan ke patung-patung mereka. (Husain Haikal, Hayatu Muhamamd, h. 38-39).

Ketika mendekati kedatangan Islam (risalah), beberapa orang berusaha melepaskan diri dari penyembahan terhadap berhala dan menyebarkan ajaran tauhid yang dibawa nabi Ibrahim as. Di antara mereka adalah Waraqah bin Naufa, Umayah bin Shalt, Qus Saidah, Usman bin Khuwairis, Abdullah bin Jahsyi, dan  Zainal bin Umar. Mereka adalah kelompok yang menentang tradisi menyembah berhala. Namun mereka meninggal sebelum datangnya Islam. Sementara di wilayah lain, seperti Yasrib dan Thaif sudah lebih hiterogen, disamping paganisme, juga ada Yahudi dan Nasrani yang monotheis. (Ahmad Syalabi, Mau’suat a-Tarikh al-Islami, h. 162).

Jadi secara singkat dapat dijelaskan, bahwa masyarakat Arab pada umumnya, ketika menjelang dan sesudah risalah kenabian, punya daya kreatifitas yang tinggi. Kepandaian mengagungkan nilai-nilai serta mengidealkan sesuatu dipresentasikan dengan ketrampilannya menciptaan karya-karya puisi dan seni rupa (patung) yang sangat indah. Nilai-nilai itu mencakup banyak hal di antaranya, romantisme, kesetiaan, keramah-tamahan, keberanian perang, kepahlawanan, menghormati leluhur, dan cinta tanah airnya. Sayangnya tingkat apresiasi yang tinggi pada seni rupa, khususnya patung dibarengi dengan mitos dan sakralitas yang tinggi, sehingga menjadi semacam tuhan-tuhan kecil.

Karena itu, begitu masa Fathu Mekkah, di antara peristiwa yang terjadi pada 25 Ramadan adalah penghancuran patung-patung besar yang ada di sekeliling Ka’bah, pada 8 Hijriah yang terjadi pada tahun penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah) oleh pasukan Nabi Muhammad saw. bertepatan dengan 15 Januari 630 M. Salah satu berhala besar yang terdekat dengan Ka’bah adalah al-‘Uzzah di Nakhlah dihancurkan lebih dulu, kemudian berhala-berhala lain. Saat itu, Nabi Muhammad saw. mengutus Khalid bin Walid untuk menghancurkan pusat penyembahan berhala itu.

Sebelumnya, Muhammad saw. mendatangi berhala-berhala yang mengelilingi Ka’bah, yang seluruhnya berjumlah sekitar 360 buah. Muhammad bergerak di antara berhala berhala dan Ka’bah dengan mengulang-ulang ayat, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah hancur. Sesungguhnya kebatilan akan musnah selamanya” (Q. 17: 81), sembari menunjuk ke tiap berhala dengan tongkatnya. Setiap berhala yang Muhammad tunjuk wajahnya jatuh tersungkur. Kemudian, Nabi menyuruh para sahabat untuk menghancurkan dan menguburkan berhala terbesar, Hubal. Muhammad juga mengumumkan agar setiap orang di seluruh kota Mekkah menghancurkan berhala di rumah mereka.

Anehnya patung-patung yang berbentuk kubus  menyerupai Ka’bah mini, baik di dalam rumah warga, maupun di tempat umum, bahkan ditemukan ada sekitar sepuluh patung Ka’bah yang ukurannya lebih besar di Pasar, tidak ikut dihancurkan pasukan Nabi. Peristiwa ini menurut Isamail R. Faruqi memberi isyarat bahwa seni rupa yang sah, sepeninggal Risalah pada waktu itu adalah seni rupa aliran kubisme yang notabane bukan aliran naturalis-realis seperti patung Hubal, atau al-‘Uzzah dan Manat. Jadi pasca-Futuh aliran kubisme ini yang berkembang, salah satunya yang terus berlanjut menjadi seni Arabes, yaitu seni kaligrafi dan lukisan ornamen-geometri. (Noryan Bahari, Kritik Seni; Wacana, Apresiasi dan Kreasi, h. 123-124)

Arabes, mahakarya seni rupa dalam Islam.

Menurut Hossein Nasr, memang tak dipungkiri seni rupa aliran kubisme ini yang berlanjut dan berkembang di Arab dan sekitarnya setelah hadirnya Islam, salah satunya Arabes, kaligrafi dan ornamental sebagai bentuk-bentuk pencapaian paling tinggi dari seni Islam, yang kehadirannya langsung bisa dirasakan di tempat-tempat sakral, seperti Masjid, Istana maupun gedung-gedung terhormat, seperti pengadilan. Namun perkembangan selanjutnya, seniman muslim memproduksi ulang aliran-aliran seni lain, tak terkecuali naturalis-realis, sebagai representasi kehadiran seni yang erat kaitannya dengan spiritualitas (bukan pemujaan). Ini dikaitkan oleh Nasr dengan gagasan sufi mengenai hubungan “Yang Satu” dengan “Yang Banyak.” (Oliever Leaman, Estetika Islam, dalam pengantar Seni Islam dan Akar-Akarnya, (Bandung: Mizan, 2005, h. 14)

Baca juga: Yang Bisa Kita Pelajari dari Penyair Jahiliah

Pandangan Nasr ini dibuktikan dalam sejarah peradaban Islam selanjutnya, karena nyatanya kreatifitas seni tak bisa dibendung atau dibatasi, yang bisa dibatasi adalah tujuannya. Karena itu, perkembangan selanjutnya, aliran kubisme-geometri, bahkan juga campuran naturalis ini terus berkembang pesat, sampai kebentuk geometris-phytagorean yang sejalan dengan falsafah masya’iyyah (Paripetetik) al-Farabi dan Ibnu Sina, dalam penjelasannya, bahwa yang banyak itu mengalir dari yang satu, atau yang awalnya terbentuk (naturalis-realis) dari tak terbentuk (abusrd-abstrak).

Jadi, semua bentuk wujud pertamanya adalah titik yang satu, kemudian menjadi titik banyak, bisa garis, lingkaran dan seterusnya. Dari pendapat ini Nasr ingin mengukuhkan, bahwa sebenarnya seni atau estetika itu bagian erat atau cabang dari ilmu filsafat atau tasawuf-falsafi, sebagaimana lazimnya yang sudah berkembang di Yunani, Persia atau Cina. Maka, melalui falsafah inilah karya seni dapat dijelaskan kaitannya dengan agama dan kebudayaan. Wallahu’lam bishawab.

Kontributor

  • Aguk Irawan

    Seorang sastrawan, budayawan, juga pengasuh pondok pesantren kreatif Baitul Kilmah, Bantul, Yogyakarta.