Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ayat-ayat Langit dan Maknanya bagi Penduduk Bumi

Avatar photo
94
×

Ayat-ayat Langit dan Maknanya bagi Penduduk Bumi

Share this article

Istilah ayat-ayat langit yang dimaksudkan dalam judul tulisan ini bukanlah ayat-ayat Al-Qur`an secara umum. Karena, ada sebagian yang mengasumsikan bahwa seluruh ayat Al-Qur`an bisa disebut dengan ayat-ayat langit, dilihat dari segi sumber dan asal-muasalnya. Dalam proses turunnya, Al-Qur`an melalui beberapa tahapan: dari laûh al-mahfûdh ke langit dunia (samâ` al-dunya) secara utuh, lalu dari langit dunia diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara gradual atau berangsur-angsur (munajjaman) selama kurang lebih 23 tahun.

Sedangkan secara khusus, yang dimaksud ayat-ayat langit di sini adalah ayat yang tempat pewahyuannya kepada Nabi Muhammad SAW terjadi di langit. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H.) dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, tentang masa dan waktu ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan.

Terkait topik ini, As-Suyuthi menjelaskan bahwa di antara ayat-ayat al-Qur`an ada yang diturunkan di Makkah dan Madinah (al-Makkî wa al-Madanî); ada pula yang diturunkan ketika Nabi sedang dalam keadaan mukim dan bepergian (al-hadlarî wa as-safarî); ada juga yang diturunkan di waktu siang dan malam (an-nahârî wa al-laîlî); ada yang turun di musim panas dan dingin (ash-shaîfî wa asy-syitâ`î); dan ada ayat yang turun di bumi ataupun di langit (al-ardlî wa as-samâ`î). Sehingga, dari jenis klasifikasi terakhir inilah penulis menggunakan istilah ayat-ayat langit.

Ibnu Arabi (543 H.), dalam karyanya An-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm, sebagaimana juga dikutip oleh As-Suyuthi dalam Al-Itqân, mengatakan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur`an ada yang diturunkan di langit, di bumi, ruang yang ada di antara langit dan bumi, dan ada yang diturunkan di bawah bumi, yaitu di gua.

Terkait dengan ayat-ayat yang turun di langit, Imam As-Suyuthi memberikan catatannya bahwa tidak semua ayat yang diklaim lokasi pewahyuannya di langit bisa dibenarkan, karena tidak diperkuat dengan dalil yang jelas. Namun, ada beberapa ayat yang menurutnya bisa dibenarkan pewahyuannya terjadi di langit, ketika Nabi Muhammad mengalami peristiwa israk dan mikraj, yaitu tiga ayat terakhir dari surat al-Baqarah.

Argumentasi ini didasarkan pada sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahîh Muslim, dari Abdullah Ibnu Mas’ud Ra., beliau berkata, “Ketika Rasulullah SAW diisra`-mi’rajkan dan sampai di sidrat al-muntahâ, … beliau diberi tiga hal: perintah shalat 5 waktu, ayat-ayat terakhir dari surat al-Baqarah, dan janji Allah bahwa siapapun di antara umat Nabi Muhammad akan diampuni dosa-dosanya selama tidak menyekutukan Allah SWT…” Yang dimaksud ayat-ayat terakhir dari surat al-Baqarah ini ada yang memahaminya 3 ayat terakhir, ada juga 2 ayat terakhir, sebagaimana pendapat Abu Al-Qasim Al-Hudzali (w. 465 H.) dalam kitabnya Al-Kâmil fî al-Qirâ`ât al-‘Asyr wa al-Arba’în az-Zâ’idah ‘Alaiha

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَإِن تُبْدُوا مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٨٤﴾ آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Allah, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al-Baqarah [2]: 284-286)

Horison Makna “Lillâh

Ayat ke-284 dari surat Al-Baqarah memberikan gambaran tentang kekuasaan Allah SWT. Penyebutan kata “lillâh” di awal kalimat memberikan kesan tentang pengkhususan dan pembatasan (takhshîsh wa al-hashr). Segala apa yang ada di langit dan di bumi, serta yang ada di antara keduanya, seluruh alam semesta ini adalah milik Allah SWT. Jika demikian, semuanya tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Apapun yang terjadi di alam raya beserta seluruh isinya tidak lepas dari kehendak-Nya. Oleh karenanya, ayat ini memberikan pelajaran tentang arah tujuan hidup dan makna keikhlasan.

Manusia dengan segala latar belakang, kedudukan dan seluruh elemen yang melingkupinya, hakikatnya memiliki posisi yang sama di hadapan Tuhan, yaitu sebagai makhluk. Sedangkan Allah adalah Sang Pencipta. Ketika kita berbicara tentang seseorang yang menciptakan suatu penemuan atau produk tertentu, maka ia akan merasa memiliki, dan sekaligus tahu secara detail seluk-beluk karya ciptaannya. Oleh karenanya di era sekarang ada istilah Hak Cipta, Paten dan terminologi lainnya. Kemampuan manusia untuk mencipta berbagai produk dan karya, tentu dengan segenap kekurangan dan keterbatasannya, akan menghadirkan gambaran betapa hebatnya Sang Maha Pencipta.

Kata “lillâh” yang kemudian menjadi bagian dari niat yang diucapkan oleh setiap muslim dalam ibadahnya, menegaskan satu nilai spiritualitas yang luhur. Bahwa kita sebagai manusia, yang menjadi bagian dari makhluk Allah, tak memiliki apa-apa, sehingga mengembalikan semua kepada-Nya. Termasuk ketika seorang muslim bisa menjalankan ibadah, itupun karena berkat nikmat dan rahmat Allah SWT. Sehingga, kandungan makna lillâh ini akan mendorong seorang muslim untuk terus bersyukur.

Selain itu, kata “lillâh” juga mengajarkan nilai moral yang agung. Karena seluruh apa yang ada di alam raya merupakan makhluk Allah SWT, maka semestinya yang terjadi adalah sinergi dan sikap saling menghormati. Sikap saling menghormati antar makhluk, akan melahirkan kesadaran tentang adanya hubungan saling membutuhkan. Jika pada kenyataannya kita saling membutuhkan, maka tidak ada alasan untuk saling membenci dan bermusuhan, namun justru harus saling menyayangi dan bekerjasama. Muara dari nilai moral ini adalah karena kita sama-sama makhluk yang diciptakan dengan sederet keterbatasan.

Iman dan Kesetaraan

Ayat ke-285 menggambarkan tentang pilar-pilar keimanan. Bertolak dari keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para utusan, serta mengimani adanya hari akhir, akan mendorong seseorang untuk beramal. Tugas hati adalah mengimani dan meyakini, serta berusaha untuk istiqamah dalam keta’atan (sami’nâ wa atha’nâ). Sedangkan raga adalah jejaring yang bekerja untuk menangkap nikmat dan anugerah Allah SWT. Entah melalui ibadah spiritual-vertikal atau mu’amalah sosial-horizontal, hati memiliki kendali untuk menentuan tujuan (niat).

Dalam konteks ini, manusia, bahkan para Rasul memiliki status yang sama. Sama-sama makhluk dan sama-sama mendapat kesempatan serta peluang untuk beramal dan berusaha. Bahkan, antara satu orang dengan yang lainnya, yang memiliki karakter, sikap dan prilaku yang berbeda, sesungguhnya tetap memiliki kesamaan, yaitu hanya menjalankan titah Tuhan di dunia. Di  dunia setiap orang sama, karena masing-masing memiliki hak untuk memilih. Yang akan berbeda nantinya adalah kehidupan di akhirat, karena di sana manusia tak lagi bisa memilih, melainkan dipilih, berdasarkan apa yang sudah diperbuatnya dalam kehidupan dunia. 

Wujud Keadilan Allah

Manusia yang terbatas, ketika dihadapkan dengan sifat Allah yang tidak terbatas, secara alamiah akan melahirkan ketakutan. Namun keadilan Allah dan kasih sayang-Nya akan menghadirkan nuansa lain dalam menyikapi kehidupan, yaitu semangat dan harapan. Di ayat terakhir dari surat Al-Baqarah, Allah menegaskan bahwa manusia tidak akan dibebani dengan sesuatu yang di luar kemampuannya. Hal ini mengingatkan kembali akan makna lillâh, bahwa Allah-lah yang mengetahui kadar setiap makhluk-Nya, sehingga hanya Allah pula yang Mahatahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Dalam situasi pandemi melanda, wabah merajalela, Allah menunjukkan kuasa-Nya, dan makhluk semakin nampak sisi lemahnya. Jika makna ini disadari, manusia akan berusaha untuk mendekat kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya. Manusia yang pelupa, sering khilaf dan berbuat dosa, tetap memiliki harapan di hadapan Allah yang maha pengampun dan penyayang. Sehingga apapun kesulitan dan problem yang dihadapi manusia, akan selesai dengan ia berusaha dan kembali kepada Allah SWT.

Ayat-ayat langit ini, meskipun konteks turunnya di langit, tapi muaranya adalah untuk dapat kita implementasikan di bumi. Sehingga sisi spiritualitas dan sakralitas ayat ini sesungguhnya tidak untuk sekedar dibaca sebagai wirid, namun untuk direnungkan secara mendalam sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan. Dengan demikian, gabungan antara iman, usaha/ibadah dan doa akan mengantarkan seseorang untuk bisa bermi’raj menaiki tangga menuju Tuhan, sebagaimana ayat-ayat tersebut diturunkan dalam mi’raj Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam bi al-shawâb.

Rembang, 10 Agustus 2020 M, 20 Dzulhijjah 1441 H

Kontributor

  • Mohammad Luthfil Anshori

    Ustadz Mohammad Luthfil Anshori, Lc. M. Ud. Lulusan Universitas Al-Azhar, Peneliti dalam Kajian Tafsir AL-Qur'an, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Rosyid Rembang, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar Sarang Rembang.