Ketika mendengar nama Nabi disebut, hanya orang pelit pada nasibnya sendiri yang tidak mau bershalawat pada Nabi. Rasulullah menyebut:
من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا
“Siapa yang shalawat kepadaku satu kali, Allah membalasnya sepuluh rahmat.” (HR. Muslim)
Padahal jika masuk surga itu tiketnya adalah bukan amal baik kita tapi rahmat Allah, maka benefit dari membaca shalawat adalah memperbesar kemungkinan kita masuk surga sebab mendapat banyak limpahan rahmat dari Allah.
Masalahnya, redaksi anjuran shalawat tidak ada perintah khusus pakai madhi atau amr. Tapi Rasul pernah ditanya bagaimana shalawat kepadanya, beliau menjawab sebagaimana shalawat yang dikenal dengan shalawat ibrahimiyah (HR. Muslim) yang kita baca saat tasyahhud akhir:
(( اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، كما صليت….. )) الحديث
Dengan redaksi fiil amr. Shalawat Jibri redaksinya juga madhi:
صلى الله على محمد
Lantas, mana yang paling afdal? Sama fadhilnya (utama), hanya saja ulama kemudian menilai bahwa yang afdal adalah pakai redaksi madhi. Madhi itu mengindikasikan bahwa shalawat sudah dan senantiasa ada. Sedangkan kalau pakai amr seolah shalawat dan salam belum ada sehingga kita memohon Allah untuk mewujudkannya.
Makanya masyayikh Mesir dan masyarakat Mesir secara umum, ketika mendengar nama Nabi disebut nyaris selalu pakai redaksi fiil madhi.
صلى الله عليه وسلم
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Kasyifatu Saja bab Sunah Abd’adh, tepatnya saat membahas Qunut, beliau mengatakan:
والماضي أولى لإفادته المبالغة، فكأن الصلاة والسلام وقعا فأخبر عنهما
“Redaksi fiil Madhi lebih utama karena memberikan makna mubalaghah (pleonastis), seolah shalawat dan salam memang sudah ada, orang yang bershalawat hanya mengabarkan saja.”
Please login to comment