Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, perihal kewajiban puasa bagi orang-orang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 183.
Pada dasarnya, kewajiban puasa sebenarnya tidak hanya wajib bagi umat Nabi Muhammad saja, akan tetapi juga diwajibkan para umat-umat nabi terdahulu. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Al-Quran, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Tafsir Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi
Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir wa Khawathiru Al-Qur’an al-Karim mengatakan, ayat ini dimulai dengan penyebutan sebuah hukum kewajiban puasa, sebagaimana yang telah diwajibkan bagi umat nabi terdahulu. Seolah, Allah hendak mengatakan, “Wahai orang yang beriman kepada-Ku, dan mencintai-Ku, sungguh telah Aku wajibkan puasa pada kalian semua.”
Dengan demikian, ketika Allah memulainya dengan sebuah hukum, berupa kewajiban puasa dari Dzat yang diimani, maka sudah seharusnya orang-orang yang beriman percaya kepada-Nya, bahwa di balik kewajiban itu terdapat manfaat dan keberkahan.
Definisi puasa
Menurut Syekh Mutawalli, puasa memiliki arti menahan, sebab makna dari shaum (puasa) sendiri adalah imsak (menahan). Dengan demikian, puasa adalah menahan diri dari syahwat-syahwat perut, seperti makan dan minum, dan juga mencegah syahwat-syahwat kemaluan, seperti jimak dan semacamnya, dimulai sejak terbitnya fajar sadiq hingga terbenamnya matahari.
Puasa sendiri bukanlah syariat baru yang diajarkan Nabi Muhammad. Sejak zaman dahulu sudah ada dalam semua agama samawi, dan menjadi salah satu kewajiban yang sifatnya ta’aabbudi (tidak bisa dinalar oleh akal). Semua manusia hanya bisa menerima dan menjalankan kewajiban yang satu ini, tanpa perlu mencari alasan kenapa diwajibkan.
Kewajiban puasa sejak dahulu tentu bukan tidak memiliki alasan. Selain agar mereka mendapatkan pahala dari Allah dan untuk meningkatkan ketakwaan, juga untuk melatih keistiqamahan dalam beragama, sekalipun cara puasa antarumat yang satu dengan lainnya berbeda, seperti beda hari, beda cara puasa, dan beda jumlah hitungannya. Dengan demikian, yang melakukan puasa pertama kali pada hakikatnya bukan umat Islam, namun sejak umat sebelumnya.
Selain itu, ulama pakar tafsir asal Al-Azhar Mesir itu juga menjelaskan, bahwa puasa merupakan representasi dari ikatan iman seorang hamba kepada Allah. Dengan berpuasa, secara tidak langsung ia menjalin hubungan dengan-Nya. Oleh karena itu, Allah tidak mewajibkan puasa kepada orang-orang yang tidak beriman, sebab mereka tidak memiliki interaksi keimanan dengan-Nya.
Tujuan puasa
Puasa selama satu bulan Ramadhan tentu memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu sebagaimana yang tertera pada ayat di atas, agar manusia bisa meningkatkan ketakwaan dengannya (la’allakum tattaqun).
Yang dimaksud takwa pada ayat di atas menurut Syekh Sya’rawi adalah adanya jalinan interaksi antara orang-orang yang beriman dengan sifat-sifat agung Allah, atau bisa juga diartikan mengikuti semua jalan yang ditentukan oleh-Nya dan menjauhi semua maksiat yang terlarang. Sebab, kemaksiatan pada hakikatnya muncul disebabkan jiwa-jiwa dan nafsu kotor yang selalu mengajak pada kejelekan.
Sedangkan puasa, sebagaimana jamak diketahui, mampu melemahkan nafsu-nafsu tersebut, dan mampu menjadi penyebab kuatnya keimanan. Oleh karenanya, dalam sebuah hadits, Rasulullah memerintahkan pemuda untuk menikah ketika sudah siap memberi nafkah, dan jika tidak, Rasulullah menyuruh untuk berpuasa.
Dengan demikian, bisa kita ketahui bersama bahwa manfaat puasa adalah untuk melemahkan besarnya kekuatan nafsu yang selalu mengajak pada kemaksiatan, dan puasa satu bulan Ramadhan menjadikan manusia merasakan manisnya istiqamah dalam beribadah kepada Allah.
Kenapa puasa pada bulan Ramadhan?
Menurut ulama yang memiliki gelar Imam ad-Du’ah abad 20 itu, pada dasarnya, Allah tidak hanya menuntuk manusia untuk istiqamah hanya pada bulan Ramadhan saja, akan tetapi Allah memilih bulan Ramadhan sebagai salah satu bulan untuk melatih orang-orang yang beriman agar bisa istiqamah dalam beribadah, khususnya ibadah puasa.
Selain itu, Allah memilih satu bulan untuk dijadikan bulan secara khusus untuk beribadah, seperti Ramadhan misalnya, tidak menunjukkan bahwa bulan-bulan yang lain adalah bulan hina, bukan pula untuk meremehkan suatu tempat, atau manusia yang ada di dalamnya.
Oleh karenanya, sangat heran jika ada umat Islam ketika bulan Ramadhan telah tiba sangat semangat dalam beribadah, banyak membaca Al-Quran dan berdzikir kapada Allah, namun lupa akan ibadah-ibadah tersebut ketika bulan Ramadhan telah pergi, bahkan cenderung tidak beribadah.
Oleh karenanya, semua bulan pada dasarnya adalah bulan ibadah. Semua ibadah yang dilakukan akan mendapatkan pahala, termasuk puasa. Akan tetapi, di antara hikmah puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah untuk selalu mengingat perjuangan utusan Allah yang sangat payah dan penuh derita.
Dalam catatan sejarah, ujian Rasulullah yang sangat berat terjadi pada bulan Ramadhan. Dia dihina, dicemooh, dimusuhi, bahkan hendak dibunuh oleh pemeluk agama lain, hingga kemudian meletus parang Badar. Kejadian bersejarah itu tentu agar bisa menjadi teladan bagi orang yang beriman, bahwa perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam sangat berat dan penuh tantangan.
Oleh karenanya, sudah seharusnya bulan Ramadhan banar-benar dijadikan momentum untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak melakukan ibadah, serta mengingat kembali betapa perjuangan Rasulullah sangat menyedihkan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.
Please login to comment