Solat hukumnya wajib. Bayar zakat wajib. Puasa di bulan Ramadhan juga wajib. Kita sudah tahu bahwa Rukun Islam ada 5, salah satunya juga ada melaksanakan ibadah Haji jika mampu. Dari sini timbul 2 pertanyaan:
- Apakah kita wajib menabung untuk berangkat haji? Karena haji termasuk islam.
- Apakah orang yang mampu (ada uang, ongkos, kendaraan, dll) boleh menunda-nunda ibadah haji, seperti, “nanti aja deh inshaallah tahun selanjutnya.”? Atau ketika ia mampu, wajib berangkat haji tahun itu juga?
Sebelum kita membahas apakah kita wajib menabung untuk berangkat haji atau tidak. Kita harus memahami apa perbedaan Wajib dengan Wujub. Karena, dari dua perbedaan itu melahirkan dua hukum yang berbeda. Nanti di akhir akan dituliskan ringkasan. Berangkat dari dua kaidah:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب & ما لا يتم الوجوب إلا به فهو غير واجب
Kaedah yang pertama menggunakan diksi, “al-Wajib” sedangkan kaedah kedua menggunakan diksi, “al-Wujub” yang di mana keduanya melahirkan dua hukum berbeda.
Kaedah pertama. Untuk melaksanakan perkara yang wajib, tak terlepas daripada instrumen yang menjadi penyempurna perkara yang wajib. Maka dari sini, kita mengenal sebuah kaidah yang masyhur di telinga pelajar:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Sesuatu yang menjadi penyempurna perkara wajib, maka hukumnya wajib juga.” Atau bisa kita gunakan dengan istilah Muqaddimah al-Wajib:
الأمر الذي يتوقف وجود الواجب عليه
Yakni “Sebuah perkara yang bergantung akan adanya hal yang wajib.”
Kurang lebih makna dari kaidah di atas seperti ini: sebuah perkara yang dapat menjadikan keabsahan suatu hal yang wajib untuk dilakukan, maka hukum melakukan sebuah perkara tersebut menjadi wajib (harus dilakukan). Dengan syarat perkara tersebut tidak bergantung kepada terjadinya hal lain (Kaun al-Wujub Muthlaqan Ghair Mu’allaq ‘ala Hushul Ma Yatawaqqaf Alaih) dan perkara tersebut mampu dilakukan oleh mukallaf (Maqdur li al-Mukallaf).
Kita aplikasikan dalam kasus solat. Perkara yang menjadikan keabsahan solat adalah di antaranya; berwudhu, menutup aurat, dst. Adapun hukum solat esensi/sendirinya adalah wajib untuk dilakukan. Tapi ingat, solat dianggap sah jika adanya perkara-perkara tersebut (wudhu, menutup aurat, dst). Sehingga kita wajib untuk melakukan perkara tersebut agar solat kita menjadi sah.
Kaedah kedua. Di sini kita akan membahas yang contohnya nanti dalam kasus haji. Yaitu:
ما لا يتم الوجوب إلا به فهو غير واجب
“Sesuatu yang menjadi tendensi atas kewajiban suatu perbuatan, hukumnya tidak wajib dilaksanakan.”
Kurang lebih maksudnya begini: suatu perkara yang menjadi titik tumpu atas hukum suatu perbuatan yang wajib dilakukan seperti Haji, maka bagi kita tidak wajib untuk melakukan perkara tersebut.
Pengaplikasiannya seperti ini: Haji termasuk perbuatan yang wajib dilakukan, namun kewajiban melaksanakan haji bertumpu atau bergantung kepada suatu hal, yaitu adanya kemampuan untuk melaksanakan haji (mulai ada ongkos, kendaraan, dll) sehingga lahirlah sebuah keterangan bahwa hanya orang yang mampu yang wajib melaksanakan haji, sedangkan bagi orang yang tidak mampu, maka hukumnya tidak wajib.
Perbedaan dari kedua kaidah tersebut adalah:
Kaedah pertama membahas Syarat Wajib yang berarti adalah perkara yang menjadikan keabsahannya suatu perbuatan yang wajib. Seandainya syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hukum melakukan perbuatan tersebut masih tetap wajib. Sehingga orang yang tidak mengenakan pakaian (telanjang) tetaplah wajib solat, akan tetapi agar solatnya menjadi sah, maka ia harus memenuhi Syarat Wajib.
Sedangkan kaedah kedua menekankan kepada Syarat Wujub. Yang berarti sebuah perkara (baik syarat atau sebab) yang bisa menetapkan sebuah hukum wajib pada suatu perbuatan. Sehingga orang yang belum mampu tidak diwajibkan berangkat haji dan tidak diwajibkan menabung untuk berangkat haji.
Kesimpulan:
- Berangkat haji hanya berlaku bagi orang yang mampu saja.
- Tidak wajib menabung untuk berangkat haji.
- Tidak wajib mencari uang ke sana ke mari sampai lupa keluarga untuk berangkat haji.
Seandainya menabung untuk berangkat haji itu diwajibkan, bagaimana nasib para muslimin yang gajinya di bawah rata-rata? Uang mereka sudah habis duluan untuk bayar tanggungan serta cicilan?
Atau bahkan para homeless (sebut saja gelandangan)? Yang mereka saja boro-boro untuk punya tabungan, untuk makan sehari-hari saja susahnya setengah hidup. Seandainya diwajibkan menabung untuk berangkat haji, sedangkan mereka posisinya seperti itu tidak menabung (karena ga mampu) niscaya mereka akan mendapatkan dosa karena meninggalkan hal yang wajib.
Beranjak ke pertanyaan kedua: apakah orang yang mampu, wajib berangkat haji ketika itu juga?
Jawabannya adalah boleh menunda-nunda. Karena perintah melaksanakan tidak menunjukkan seketika itu juga, melainkan boleh nanti-nanti saja.
الأمر في الحج يدل على التراخي لا على الفور
- Melaksanakan ibadah haji boleh ditunda, selagi orang yang mampu tersebut berazam/niat untuk melakukannya di tahun lain.
- Lain halnya dengan orang yang mampu akan tetapi ia divonis oleh dokter bahwa perkiraan umurnya sudah tiada di tahun depan, maka ia wajib berangkat haji tahun itu juga maksudnya jangan ditunda-tunda.
- Berbeda dengan orang yang mampu berangkat haji tapi tidak ada niatan untuk haji seumur hidupnya, dalam kasus ini maka hukumnya tidak boleh.
والقول الثاني أنها سنة للخبر المار ولا تجب بأصل الشرع في العمر سوى مرة واحدة لخبر أبي هريرة قال: «خطبنا رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فقال: أيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا، فقال رجل: أكل عام يا رسول الله؟ فسكت، حتى قالها ثلاثا، فقال: لو قلت نعم لوجب ولما استطعتم» رواه مسلم، وسميت عمرة؛ لانها تفعل في العمر كله وصح «عن سراقة قلت: يا رسول الله عمرتنا هذه لعامنا هذا أم للابد؟ فقال: لا بل للابد» أو وجوبهما من حيث الاداء على التراخي فلمن وجبا عليه بنفسه أو نائبه تاخير هما بعد سنة الإمكان؛ لان الحج فرض سنة ست ولم يحج – صلى الله عليه وسلم – إلا سنة عشر ومعه مياسير لا عذر بهم، وقيس به العمرة وتضييقهما بنذر أو خوف عضب أو تلف مال أو قضاء عارض، ثم محل جواز التاخير إن عزم على فعلهما في المستقبل كما مر بيانه في الصلاة وإنما لم تؤثر فيهما الردة بعدهما؛ لأنها لا تحبط العمل إلا إن اتصلت بالموت وإن أحبطت ثواب العمل بطلقا كما نص عليه الشافعي – رضي اللّه عنه – في الأم فلا يجب عليه
[الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٢٣٥/٣]
Referensi:
- Al-Luma’ li al-Imam al-Syirazi
- Al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri’ al-Islami li al-Syekh Muhammad Hasan Hito
- Nihayah al-Muhtaj li al-Imam al-Ramli
Please login to comment