Menjadi saksi kekalahan tim nasional sepakbola Indonesia di kandang Australia dengan selisih gol tidak sedikit beberapa waktu lalu sungguh menyesakkan. Rasanya berat untuk mengingat-ingat apalagi menceritakan pengalamannya. Tapi berhubung kepedihan telah cukup terobati dengan kemenangan Indonesia atas Bahrain di Jakarta, maka baiklah saya tuliskan cerita ini.
Saat itu, Kamis 20 Maret 2025, saya berkesempatan untuk hadir di Sydney Football Stadium yang kini dikenal sebagai Allianz Stadium, untuk menyaksikan pertandingan sepak bola Australia menjamu Indonesia. Pertandingan ini bagian dari babak ketiga kualifikasi Piala Dunia FIFA 2026 zona Asia grup C. Jika satu negara gagal lolos melalui babak ketiga ini, masih ada baginya kesempatan lolos melalui babak keempat dan kelima.
Hari itu adalah satu waktu di bulan Ramadan di mana pertandingan dijadwalkan dimulai pukul 20.00 waktu Sydney, sementara waktu maghrib tercatat datang pada pukul 19.09. Saya berangkat sekitar pukul 17.00 dari rumah, bersama dengan seorang teman sesama Indonesia. Dalam tiket pertandingan yang kami beli, saya tercatat sebagai carrier atau pendamping teman saya yang menggunakan kursi roda. Rencana kami menuju stadion adalah naik bus, lalu pindah kereta metro, lalu kereta light rail.
Di jalan menuju ke halte bus, nampak beberapa rombongan berkostum jersey Indonesia, lengkap dengan formasi keluarga termasuk anak-anak. Sampai di halte, rombongan Indonesia yang serupa pun nampak juga. Selama ini, sesama orang Indonesia di sekitar tempat tinggal memang tidak semua saling tahu dan berhubungan. Tapi sore itu kami bisa sama-sama saling melihat identitas Indonesia yang kami sandang.
Memang awalnya perkara nonton bola ini tidak terlalu ramai dibahas sesama orang Indonesia, cuma dibahas sepintas lalu seperlunya. Tapi makin dekat ke waktu pertandingan, orang makin ramai membahasnya baik ketika ketemu langsung atau melalui komunikasi online. Ternyata banyak orang Indonesia di sini yang begitu antusias untuk ikut hadir langsung dalam momen ini.
Dari Punchbowl, bus melaju menuju stasiun Sydenham, sambil kami sesama supporter Indonesia saling berkenalan seperti pada umumnya. Ada juga yang saling mengobrol membahas menu bekal buka puasa nanti. Kalau saja jalur kereta tidak sedang ditutup karena renovasinya, tentu kami tidak naik bus seperti ini. Untungnya bus replacement ini gratis, sebagai kompensasi transportasi kereta yang dihentikan dalam rangka upgrade ke sistem metro.
Sesampainya di stasiun Sydenham, kami ketemu dengan rombongan keluarga supporter Indonesia yang lain. Lalu dengan kereta metro dari Stasiun Sydenham, kami menuju Stasiun Central yang merupakan stasiun kereta terbesar di Australia. Di sini nampak makin banyaklah para pendukung Indonesia berlalu lalang. Memang stasiun kereta ini adalah yang terdekat dengan stadion tujuan yang terletak di kawasan Moore Park. Sebagaian dari mereka langsung keluar stasiun, sebagian lagi masih di dalam, mungkin karena janjian dengan teman yang lain.
Kami berdua termasuk di antara yang menununggu kedatangan rombongan teman Indonesia yang lain. Rombongan ini berasal dari Penrith, bagian barat kota Sydney sekira jarak 50an kilometer. Mereka berencana mengendarai mobil menuju ke area Stasiun Central, lalu parkir mobil dan ganti dengan kereta light train. Dalam pembicaraan telepon, kami dapat kabar kalau mobil ini kena macet di jalan tol, akibat adanya kecelakaan kendaraan. Maka kami berdua putuskan untuk berangkat lebih dahulu ke stadion.
Di luar Stasiun Central, di Halte Haymarket, suporter begitu ramai menunggu kedatangan kereta light train. Saya amati sejauh itu, suporter Indonesia jumlahnya lebih banyak dibanding suporter Australia. Beberapa sosok bule malah juga nampak memakai jersey Indonesia, khususnya yang datang bersama keluarga dan kebetulan pasangannya dari Indonesia. Kalau teman saya yang dari Penrith tadi malah sebaliknya, kelahiran Indonesia tapi menikah dengan orang kelahiran Australia.
Kereta light train pun datang dan gerbong menjadi sangat penuh, tak pernah sesesak itu saya melihatnya. Dengan perjuangan, kursi roda teman saya berhasil masuk, sementara orang-naik dan turun di halte berikutnya sungguh butuh perjuangan. Di gerbong saya mulai melihat semakin banyak suporter Australia, tapi kalau dibanding jumlah supporter Indonesia masih kalah menurut saya. Beberapa suporter Indonesia saya dengar mengobrol asyik dengan bahasa yang menurut pemahaman saya adalah Bahasa Tionghoa. Sebagian lagi saya dengar mengobrol dalam Bahasa Inggris.
Sesampai di area stadium, nampak makin ramailah supporter Indonesia, yang menurut teman saya lebih banyak dibanding jumlah supporter Australia. Kabarnya di depan stadion para supporter Indonesia mau chanting dulu, tapi kami memilih untuk langsung masuk. Setelah berjalan beberapa ratus meter, sampailah kami di depan stadion mencari petugas untuk bertanya tentang pintu masuk. Saya bertanya ke seorang petugas perempuan dalam Bahasa Inggris, malah dia balik bertanya, Indonesia?” Saya jawab “yes,” maka dia pun memberi penjelasan dalam Bahasa Indonesia. Ternyata dia orang setanah air.
***
Sekitar pukul 19.00 kurang kami sudah masuk stadion, dan sudah berhasil menemukan tempat duduk. Tempat ini sejajar dengan lorong tengah antara tribun atas dan bawah, memang didesain untuk tempat pengguna kursi roda ataupun pendampingnya. Kami dapat tempat yang tidak harus turun atau naik tribun, dekat dengan lalu lalang orang, strategis untuk menuju ke toilet atau ke kantin.
Kami pun mempersiapkan buka puasa, membuka wadah bekal kami yang isinya pizza, sandwich, keripik kentang, minuman soda, air putih, anggur dan kurma. Kami sengaja membawa hidangan praktis yang tidak merepotkan saat dibawa maupun disantap. Saat jam sudah menunjukkan waktunya, maka kami pun membatalkan puasa kami. Di kanan-kiri nampak juga sebagian suporter yang berbuka puasa, dengan menunya masing-masing. Saat itulah suara suporter mulai bergemuruh, karena pemain mulai masuk lapangan untuk pemanasan.
Suporter terus mengalir ke dalam stadion, dan dari pihak Australia jumlahnya makin menyamai jumlah suporter Indonesia. Kami duduk di bagian selatan, di belakang gawang, yang mayoritasnya adalah suporter Indonesia. Awalnya kami bertanya-tanya nanti bagian kami isinya suporter mana? Kami juga agak kecil hati karena beli tiket paling murah dan dibelakang gawang, jadi khawatir tidak bisa menonton pertandingan dengan nyaman. Tapi ternyata tempat ini adalah pusat konsentrasi suporter Indonesia, termasuk rombongan yang paling ramai dengan lagu dan bunyi-bunyian. Bahkan sebagian supporter Indonesia dari bagian lain akhirnya berpindah bergabung tempat ini.
Sembari para pemain melakukan pemanasan, saya mengambil waktu untuk shalat maghrib. Sebelumnya di satu grup Whatssap pengajian, ada anggota grup yang membagikan info tempat shalat yang memang resmi disiapkan stadion. Tapi saya lihat di belakang saya beberapa orang mengambil tempat untuk shalat dengan menggelar alas masing-masing. Saya putuskan untuk ikut mereka saja, bersembahyang di tempat itu. Toh toilet tidak jauh dari situ, saya pun sudah membawa sajadah dari rumah.
Lalu keramaian lapangan terus berjalan, dengan beberapa seremoni yang saya perhatikan smabil lalu. Ada satu perempuan muda pemain biola memainkan musik yang saya juga tak terlalu perhatikan. Tapi satu lagu darinya tiba-tiba bikin saya memusatkan perhatian. Lagunya adalah Thunderstruck dari AC/DC, satu band rock kawakan yang asli dari kota Sydney. Seremoni berlanjut pengenalan pemain dari masing-masing tim, yang sayangnya diwarnai sorakan “huuu” dari supporter Indonesia untuk pemain Australia. Dalam hal ini, saya merasa tidak sepakat.
Banyak suporter Indonesia sibuk ambil foto dan video di sana dan di sini dengan berbagai gaya. Saya pun tidak mau kalah, ambil foto dan video sekedarnya sebagai kenang-kenangan. Saya juga sempat mekaukan video call dengan keluarga di tanah air, memamerkan suasana stadion malam itu. Lalu datanglah waktunya pemain masuk ke lapangan dengan starting lineup siap bermain. Lagu Indonesia Raya mengalun di dalam stadion, bersama seluruh supporter Indonesa yang berdiri ikut menyanyi.
Pertandingan dimulai dengan inisiatif menyerang dari tim Indonesia. Teman saya bilang ini tim nasional tidak main seperti biasanya. Kemudian datanglah kesempatan hadiah penalti untuk Indonesia yang diambil Kevin Diks. Para suporter Indonesia berdiri, lalu berteriak dan melompat saat bola melaju ke arah gawang. Rupanya kami salah kira, bola gagal masuk ke dalam gawang. Maka dimulailah momen menyedihkan malam itu, diawali gagalnya penalti Indonesia dan suksesnya penalty Australia melalui Martin Boyle. Bahkan selanjutnya sampai menit ke-34, skor sudah 3-0 untuk kemenangan Australia.
Para supporter Indonesia nampak terus bersemangat memberi dukungan meski jagoannya sudah tertinggal. Saya sendiri merasa menyaksikan ketinggalan skor langsung di stadion tidaklah semenyedihkan ketika menonton melalui televisi. Mungkin karena banyak hal di dalam stadion yang mengalihkan perhatian sehingga suasana hatinya tetap santai. Kalau di televisi pasti sedihnya makin bertambah karena bisa melihat sorotan gambar permainan dengan jelas termasuk close-up ekspresi para pemain dan ofisial.
Lalu kami berdua bisik-bisik bersepakat, hendak pulang sebelum pertandingan berakhir. Alasan utama jelas karena posisi kalah 3-0 itu berat untuk membalikkan keadaan. Teman saya juga khawatir kalau nanti pulang saat semua suporter bergerak meninggalkan stadion di waktu yang sama, dia akan akan kerepotan saat masuk kereta light train. Pikiran ini didasarkan pada pengalaman perjalanan datang menuju stadion tadi. Saya pun setuju pulang cepat untuk segera istirahat, karena besok paginya saya ada kegiatan, harus sudah berangkat di subuh hari.
Masuk babak kedua, kami menyempatkan untuk menonton pertandingan lagi beberapa saat. Hingga kemudian Australia menambah gol yang merubah kedudukan menjadi 4-0, mantaplah kami berdua untuk beranjak pulang. Di luar stadion, beberapa suporter Indonesia juga beranjak pulang. Tentu saja jumlahnya lebih sedikit dibanding yang masih bertahan mendukung skuad Garuda. Beberapa suporter Australia juga nampak meninggalkan stadion, bersama-sama dengan kami menuju halte kereta light trail.
***
Di dalam kereta light trail kami memutuskan untuk turun tidak di Halte Haymarket dekat Stasiun Central sebagaimana kami datang tadi. Kami turun sedikit lebih jauh di Halte Town Hall. Serombongan supporter Indonesia juga nampak turun di sini bersama kami. Selanjutnya kami berjalan ke di Stasiun Gadigal untuk naik kereta metro menuju Stasiun Sydenham. Dari sini kami kembali naik bus yang sama seperti saat berangkat, kali ini ke arah pulang.
Sepanjang perjalanan pulang saya mengingat kembali momen pertandingan barusan. Betapa ternyata supporter Indonesia sebanyak itu, begitu antusias mendukung tim nasional. Meski tidak semua berangkat tentunya, tapi di antara orang-orang yang saya kenal sebagian besar turut hadir. Bahkan orang yang nampaknya tidak terlalu antusias dalam perkara sepak bola pun tidak mau ketinggalan.
Momen itu menunjukkan betapa dengan berbagai latar belakangnya, orang-orang denagn identitas Indonesia mau berkumpul bersama. Mereka tidak hanya para pemegang paspor Indonesia, tapi juga yang sudah menjadi permanent resident serta yang sudah berpaspor Australia. Mungkin dalam kesempatan lain, mereka tidak bisa berkumpul dalam skala semasif ini, karena beragam hal. Bisa saja tak ada satu momen yang bisa menyatukan mereka dengan perbedaan latar belakang, baik daerah asal, etnis sampai agama. Bisa juga perbedaan itu berupa status, semisal antara yang tua dan kanak-kanak, antara yang bekerja dan yang menempuh studi.
Satu orang yang kebetulan kenalan teman saya, sempat mengajak ngobrol saat masih ada di stadion. Kata dia, lebaran saja tidak bisa membuat orang Indonesia kumpul sampai sebanyak ini. Saat itu dalam hati saya menimpali “ya jelas lah. Sesama Muslim saja pun tidak bisa semua berkumpul bersama di satu waktu dan satu tempat di momen lebaran.” Tapi malam itu sungguh satu momen spesial. Beberapa suporter Indonesia nampak tampil dengan baju etnis khas daerah Nusantara. Orang berwajah bukan khas Indonesia memakai jersey Indonesia ada, yang memakai seragam batik Korpri dan jaket Gojek pun ada juga!
Kemudian saya teringat rami-rami soal tagar #kaburajadulu yang masih terngiang. Di Tengah berita-berita negatif soal tanah air yang sekan tak kunjung berhenti, segolongan orang berpikir bahwa meninggalkan Indonesia adalah satu pilihan yang tepat. Lalu pilihan ini dianggap sebagian golongan yang lain menjadi penanda kurangnya rasa nasionalisme. Tapi malam itu menunjukkan bahwa betapa orang sudah ‘kabur’ dari tanah air, denga apa pun statusnya, maka rasa cinta terhadap Indonesia itu tak akan semudah itu hilang. Sampai di rumah, saya yang masih merasa lapar pun langsung makan lagi dengan menu tanah air yaitu mie ayam. Hidangan ini adalah sisa berbuka puasa sehari sebelumnya, hasil memasak sendiri!
Satu siang, dua hari setelah pertandingan itu, saya melintas di sebuah jalan tak jauh dari area tempat tinggal saya. Nampak beberapa anak kecil berwajah Indonesia berjalan di trotoar, salah satunya dengan memakai jersey sepak bola tim nasional tanah air. Mereka nampak seolah di sebuah trotoar pinggir jalan di Indonesia saja. Saya punya dugaan kuat, bahwa mereka malam itu juga ada stadion, dan pengalaman itu membuat mereka bangga dengan Indonesia, meskipun setelah momen kekalahan sekalipun. Bahkan kebanggaan ini mungkin dalam keadaan mereka sebagai bukan kelahiran Indonesia, pun sebagai anak-anak yang tidak fasih berbahasa Indonesia pula.
Please login to comment