Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Sikap Moderat (Juga) Dibutuhkan untuk Menangani Perubahan Iklim

Avatar photo
15
×

Sikap Moderat (Juga) Dibutuhkan untuk Menangani Perubahan Iklim

Share this article

Dalam kajian Fikih Ekologi beberapa waktu lalu, saya menekankan betapa pentingnya at-tawasuth wa al-i’tidal dalam sangkutannya dengan keberlanjutan alam lingkungan, yakni sikap moderat dengan menempuh jalan tengah untuk menghentikan perubahan iklim.

Sejauh ini peserta kajian menangkap moderatisme hanya pada ranah ‘tertentu’ yang sudah sangat umum, bagaimana bisa ia dipakai dalam menghentikan laju perubahan iklim?

Moderat dalam beragama sudah saatnya diterapkan dalam lingkup seluas mungkin, tidak terkecuali bermuamalah dengan alam lingkungan. Bagaimanapun juga ‘yang sedang-sedang saja’ adalah bentuk paling ideal hampir dalam segala hal. Jika air dijadikan perumpamaan, antara air yang membeku dan yang mendidih yang tidak mencelakai adalah yang hangat, tengah-tengahnya; demikian pula postur tubuh, siapapun akan mendambakan tubuhnya tidak terlalu kurus juga tidak terlampau gendut. Satu kata pendek menyebutnya ‘pas’. Suasana pas di tengah-tengah inilah iklim yang dibutuhkan dunia.

Gas Rumah Kaca Berikut Efeknya

Matahari adalah sumber segala daya dan energi, boleh dibilang seluruh kekuatan di bumi tidak lain berasal darinya. Ketika energi yang dihantarkannya tiba di permukaan bumi, dari semula cahaya berubah menjadi panas yang kemudian menghangatkan bumi. Permukaan bumi tidak menyerap seluruh energi panas yang diterima, melainkan menyisakan sebagian untuk dipantulkan kembali ke luar angkasa. Singkat cerita, sebagian panas yang terpantul itu tetap terperangkap di lingkaran atmosfer akibat menumpuknya gas rumah kaca berupa uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida, juga metana yang berperan sebagai penangkap gelombang radiasi dengan menahannya keluar dari pori-pori atmosfer. Berkat proses sehari-hari dari gas-gas ini akhirnya bumi menjadi hangat dan layak huni.

Kemampuan atmosfer dalam mempertahankan suhu udara yang pas, sedang, asik, dan senyaman mungkin itulah yang disebut dengan efek rumah kaca. Efek tersebut sangat dibutuhkan seluruh makhluk hidup, karena tanpanya planet ini niscaya menjadi bola es raksasa, beku selama-lamanya dengan suhu minus sekian belas derajat celsius.

Baca juga: Mengkampanyekan Gerakan Islam Peduli Lingkungan

Sebaliknya, bilamana gas-gas tersebut secara ekstrem dinilai berlebihan di atmosfer, dalam jumlah yang semakin hari semakin bertambah, bumi dapat diibaratkan bola plastik yang perlahan-lahan berputar ke arah tungku perapian. Iklim yang semakin memanas itulah yang saat ini sering disebut pemanasan global, yakni ketika ulah manusia memaksa planetnya meninggalkan titik moderasi.

Gas rumah kaca tidak hanya muncul secara alami, sebagian juga hasil aktivitas manusia. Produksi gas rumah kaca secara ekstrem akhirnya menyebabkan perubahan iklim. Selama kurang lebih 150 tahun terakhir, manusia musti bertanggung jawab atas aktivitasnya dalam meningkatkan gas rumah kaca di atmosfer.

Sumber emisi gas rumah kaca terbesar dari aktivitas manusia adalah pembakaran bahan bakar fosil untuk transportasi dan listrik. Emisi gas rumah kaca dari transportasi berasal dari pembakaran bahan bakar fosil untuk berbagai macam kendaraan di darat, laut, juga pesawat udara. Lebih dari 90 persen bahan bakar untuk transportasi berasal dari minyak bumi, terutama bensin dan solar. Demikian pula listrik, diperkirakan sekitar 62 persen listrik berasal dari pembakaran bahan bakar fosil berupa batu bara dan gas alam.

Perindustrian juga memainkan peran besarnya dalam membuang gas rumah kaca ke awang-awang dari pembakarannya untuk energi, serta reaksi kimia tertentu demi memproduksi barang dari bahan mentah. Setiap konsumen jelas turut andil, karena telah menggunakan produk-produk yang mengandung gas rumah kaca, juga dalam penanganan limbahnya masing-masing.

Manusia Adalah Masalah Sekaligus Solusi

Kiasan yang saya kemukakan dalam setiap kajian Fikih Ekologi adalah bila hari ini manusia kemana-mana mengenakan masker lantaran pandemi Covid-19, bisa jadi kelak suatu hari setiap orang membawa tabung gasnya masing-masing untuk bernafas. Barangkali kiasan ini terlalu berlebihan, tapi sangat memungkinkan dalam kurun 100 tahun mendatang bilamana alam tidak kunjung dikembalikan ke posisi moderatnya. Akan sangat ironis, jika generasi-generasi mendatang tanpa henti menyalah-nyalahkan anak Adam yang hidup di hari ini. Saya dan anda semua.

Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang?

Selalu ada sikap-sikap moderat yang bisa dilakukan guna melawan perubahan iklim. Masing-masing dapat menjadi pahlawan lingkungan dengan menyadari bahwa melawan musuh sangat mengerikan ini merupakan tanggung jawab bersama. Tentu kesadaran yang dimaksud berimbang dengan aksi-aksi nyata, untuk kehidupan hari ini lebih-lebih demi kemaslahatan generasi-generasi mendatang.

Hal yang tidak dapat dihindari masyarakat modern adalah mengemudikan kendaran, jutaan orang berkendara ke tempat kerja setiap hari, sehingga jutaan pula mesin transportasi mengotori atmosfer dengan mengeluarkan gas rumah kaca. Setidaknya ada inisiasi untuk menciptakan perjalanan-perjalanan tersebut bernilai ramah lingkungan, misalnya, lebih mengutamakan transportasi umum dibanding berkendara mobil sendirian. Selama tujuan dapat ditempuh menggunakan sepeda pancal alangkah bijaknya jika memilih memancal pedal, selain lingkungan dapat lebih sehat badan juga akan lebih kuat.

Hemat energi adalah gaya hidup yang paling layak digalakkan, karena itu adalah sikap yang paling moderat, tidak terlalu pelit dan tidak begitu boros dalam memanfaatkan teknologi. Berkurangnya produksi gas rumah kaca oleh pembangkit listrik tergantung pada aktivitas setiap individu. Hal yang paling kecil misalnya, mengganti bola lampu yang dinilai lebih hemat tenaganya dan mematikannya ketika tidak dibutuhkan.

Mendukung para politisi mengkampanyekan perlawanan terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara terbaik yang bisa diupayakan. Hal ini berarti menyumbangkan suara untuk undang-undang dalam menghentikan efek negatif perubahan iklim. Memilih calon politisi yang tepat untuk menduduki kursi jabatan dengan siap meloloskan undang-undang ramah lingkungan terhitung shortcut yang musti diambil. Dengan menyalurkan suara artinya setiap orang terhitung aktif berpolitik, ini musti digencarkan selama agenda-agenda mereka terbilang moderat dan ramah terhadap lingkungan.

Baca juga: Make This World GRETA Again

Tidak dapat dipungkiri, sejumlah besar gas rumah kaca dikeluarkan oleh pabrik-pabrik setiap harinya, mereka memproduksi barang-barang yang secara rutin kita pakai. Program daur ulang musti dijadikan jalan tengah sebagai penyeimbang. Dengan memastikan barang-barang bekas berupa plastik, kaca, atau kertas yang sudah tidak layak pakai jatuh ke tangan yang tepat berarti telah mensukseskan program daur ulang yang telah ada, bila program serupa belum terbentuk selalu tidak ada kata terlambat untuk memulainya.

Menyebarluaskan gagasan tentang perubahan iklim tidak bisa dikesampingkan begitu saja, terdapat banyak platform yang bisa dengan mudah dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan positif. Entah itu dari mulut ke mulut, di dalam kelas maupun di sembarang tempat, juga via media sosial, selalu banyak cara untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang akibat buruk perubahan iklim. Tentu salah satunya dengan mensosialisasikan energi terbarukan (renewable energy) yang terbilang jauh lebih baik daripada menggunakan bahan bakar fosil.

Angin Segar Menjelang COP26

Angin segar datang dari Vatikan satu pekan lalu, dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Antar Agama untuk Perubahan Iklim bertajuk “Iman dan Sains”, Grand Syekh Al-Azhar, Dr. Ahmed at-Tayeb menekankan bahwa krisis perubahan iklim juga tanggung jawab ulama. Selaku tuan rumah, Vatikan mendatangkan para pemimpin agama dan cendekiawan dari seluruh dunia, forum tersebut bertujuan mengirimkan pesan kepada negara-negara peserta Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26) yang rencananya akan digelar mulai 31 Oktober hingga 12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia.

Pidato Imam Besar Al-Azhar Dr. Ahmed At-Tayeb dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Antar Agama untuk Perubahan Iklim di Vatikan, Senin (4/10).

Lebih lanjut lagi Grand Syekh Ahmed at-Tayeb menegaskan bahwa diciptakannya manusia sebagai penghuni bumi tidak lain berperan sebagai wakil Allah di dalamnya, yang oleh Al-Quran disebut sebagai khalifah. Tuhan memberi amanat kepada para wakilnya supaya tidak merusaknya dalam bentuk apapun. Lewat dalih-dalih keagamaan, secara khusus Grand Syekh mengajak para ulama beserta seluruh agamawan agar menunaikan kewajiban agama dalam memikul tanggung jawab terhadap krisis perubahan iklim.

 

Bila kita tengok kembali kisah-kisah dalam Al-Quran, tidak sedikit dinyatakan berbagai kaum telah berbuat kerusakan yang kemudian Allah menunjukkan mereka malapetaka berupa kematian, kehilangan harta dan bahan pangan, yang tidak lain adalah akibat dari perusakan-perusakan yang mereka lakukan sendiri.

Dengan tegas Al-Quran menyatakan kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan adalah akibat ulah tangan-tangan manusia (lihat ayat 41 surat Ar-Rum), hal ini dimaksudkan antara lain supaya tangan-tangan manusia (terutama mereka yang mengimani kitab suci Al-Quran) bukanlah tangan-tangan yang sedang disampaikan ayat itu, melainkan sebaliknya, yakni golongan yang menghentikan tindakan-tindakan destruktif terhadap semesta.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.