Salat i’adah, atau mengulang salat, adalah salah satu konsep dalam fikih Islam yang seringkali menimbulkan pertanyaan. Secara bahasa, i’adah berarti pengulangan. Dalam konteks ibadah, i’adah merujuk pada pengulangan salat yang telah dilakukan sebelumnya. Praktik ini tidaklah wajib, melainkan sunnah dalam kondisi-kondisi tertentu.
Lantas, kapan seorang Muslim disunnahkan untuk mengulang salatnya? Apa saja syarat dan kondisi yang membolehkan, bahkan menganjurkan, dilakukannya salat i’adah?
Dalam Islam, kesempurnaan salat menjadi salah satu indikator kualitas ibadah seorang hamba. Namun, sebagai manusia, tidak jarang kita melakukan kesalahan atau mendapati kekurangan dalam salat yang telah kita kerjakan. Di sinilah letak hikmah disunnahkannya salat i’adah. Salat i’adah menjadi bentuk ikhtiar untuk memperbaiki dan menyempurnakan ibadah kita kepada Allah SWT. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, pengulangan disini adalah ketika salat yang pertama dilakukan kurang dalam segi kesempurnaan. Apabila salat yang pertama kurang dalam artian tidak sah, maka hukumnya tidak lagi sunnah akan tetapi justru menjadi wajib. Mengingat salat yang pertama statusnya tidak sah.
Perintah Rasulullah
Perintah kesunahan mengulang shalat ini berdasarkan beberapa hadis Rasulullah Saw. Di antaranya adalah hadis yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al Umm.
Diriwayatkan dari Malik, dari Zaid bin Aslam. dari seorang laki-laki dari bani Dil (nama daerah), ia biasa disebut dengan nama Busro bin Mihjan, dari ayahnya: bahwa suatu ketika ayahnya berada di majelis bersama Rasulullah. Tak lama kemudian adzan waktu salat dikumandangkan. Semua jamaah termasuk Rasulullah berdiri. sedangkan Mihjan masih duduk di majelis tersebut.
Maka kemudian Rasulullah berkata kepadanya,:
مَا مَنَعَك أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ النَّاسِ؟ أَلَسْت بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ؟
“Mengapa engkau tidak berdiri untuk melaksanakan salat? Bukankah kamu seorang muslim?”
Lalu Mihjan berkata, iya wahai Rasulullah, tetapi saya melaksanakan shalat bersama keluargaku di rumah. Maka Rasulullah berkata:
إذَا جِئْت فَصَلِّ مَعَ النَّاسِ، وَإِنْ كُنْت قَدْ صَلَّيْت
“Jika kamu datang ke sini, maka shalatlah bersama semua orang, walaupun kamu telah melakukan shalat.”
Selain itu adapula hadis yang dikutip oleh Syaikh Abu Bakar bin Syatho dalam I’anat al-Thalibin. Suatu ketika Rasulullah Saw sedang melaksanakan salat Subuh. Kemudian beliau menengok ke belakang, terdapat dua orang yang tidak mengikuti salat berjamaah. Beliau pun bertanya:
ما منعكما أن تصليا معنا
“Mengapa kalian berdua tidak ikut salat bersama kita?”
Kedua pemuda tersebut kompak menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami telah melaksanakan shalat di tempat kami,’ jawab dua lelaki tersebut. Rasulullah lalu berkata:
إذا صليتما في رحالكما ثم أتيتما مسجد جماعة فصلياها معهم فإنها لكما نافلة
‘Jika kalian sudah shalat di tempat kalian, lalu kalian mendatangi imam (shalat jamaah), maka ikutlah shalat bersamanya, sesungguhnya shalat yang kalian lakukan adalah shalat sunnah.’ (HR. Turmudzi)
Di antara bentuk pengulangan salat yang dianjurkan dalam kehidupan sehari-hari pun bermacam-macam. Di antaranya adalah ketika salat yang kita lakukan kurang sempurna. Misalkan ketika kita sudah terlanjur untuk melakukan salat fardhu secara sendirian tidak berjamaah. Sehingga kita tidak mendapatkan pahala dan keutamaan sebagaimana salat berjamaah. Jika demikian, kita disunnahkan untuk melakukan i’adah shalat.
Atau ketika kita sudah melakukan salat secara berjamaah, akan tetapi tiba-tiba ada teman atau saudara yang datang dan tidak menemukan orang untuk berjamaah selain kita. Sehingga kita membantunya menemani berjamaah dengan mengulang salat agar teman kita mendapatkan fadhilah berjamaah.
Syarat Salat I’adah
Contoh yang demikian, kita disunnahkan untuk mengulang salat secara jamaah. Namun, perlu diingat terdapat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam salat i’adah ini. Di antaranya terdapat 13 Syarat yang sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Kasyifat al Saja:
Pertama, Salat yang diulang merupakan salat fardhu atau salat sunnah yang dianjurkan dilakukan secara berjamaah. Hal ini mengecualikan salat sunnah yang dilakukan sendiri seperti, salat dzuha. Salat yang dilakukan juga harus salat ada’ (masih pada waktunya) bukan salat qodho’.
Kedua, salat yang sudah dilakukan pertama statusnya sah dan tidak harus diulang karena ada hal yang membatalkan. Sehingga ketika salat yang pertama, statusnya tidak sah, maka hukum mengulang salat tidak lagi sunnah akan tetapi shalat yang wajib.
Ketiga, Menurut pendapat yang mu’tamad seorang yang mengulang salatnya hanya boleh mengulang sebanyak satu kali saja dan tidak lebih.
Keempat, dalam melafalkan niat salat i’adah harus menggunakan niat fardhu, bukan niat salat sunnah. Sekalipun sejatinya salat i’adah dihitung sebagai sunnah.
Kelima, salat i’adah harus dilakukan secara berjamaah mulai takbir hingga salam. syarat jamaah dalam salat i’adah ini adalah sebagaimana syarat salat yang harus suci. Jika dalam pertengahan salat tersebut, ia keluar (mufaroqoh) dari jamaah dan meneruskan salat sendiri, maka salatnya tidak sah. Begitu pula, ketika ia tertinggal dalam rakaat, maka tidak sah salat i’adahnya.
Keenam, shalat i’adah harus dilakukan pada waktu shalat tersebut masih ada. Sehingga jika waktu salat tersebut sudah habis, maka tidak disunnahkan untuk melakukan shalat i’adah. Misalkan seperti i’adah shalat Zuhur di waktu ashar, maka hal tersebut tidak dianjurkan. Atau minimal ia sudah mendapatkan satu rakaat dalam waktu salat tersebut.
Ketujuh, jika orang yang melakukan salat i’adah bertindak sebagai imam, maka ia wajib melafalkan niat imamah (menjadi imam) dalam niatnya.
Kedelapan, ketika ia melakukan salat i’adah ia harus mencari orang yang memang boleh atau disunnahkan melakukan salat i’adah. Seperti ketika orang yang mengulang salat adalah bermazhab syafii, sedangkan makmumnya bermazhab Hanafi atau Maliki. Maka yang demikian hukumnya tidak sah, karena dalam mazhab maliki dan hanafi salat yang diulang hukumnya tidak sah. Kecuali dibalik, yang menjadi imam adalah bermazhab Hanafi/Maliki sedangkan yang mengulang salat bermazhab syafi’i, maka yang demikian hukumnya sah.
Kesembilan, ketika takbiratul ihram ia harus memastikan ia memenuhi syarat-syarat mendapatkan pahala fadhilah berjamaah. Sehingga ketika misal, ia ikut berjamaah akan tetapi ia tidak bergabung dalam shaf yang ada padahal masih ada tempat di sana (menyendiri dan terpisah dari saf), maka salat i’adahnya tidak sah.
Kesepuluh, shalat i’adah harus dilakukan dengan berdiri. Karena bagaimanapun ia sedan mengerjakan shalat fardhu. Selagi ia mampu untuk berdiri ia wajib untuk berdiri.
Kesebelas, Tujuan mengulang salat bukan karena keluar dari khilaf (khuruj minal khilaf).
Kedua belas, salat yang diulang tidak dalam kondisi salat syiidatul khouf (salat dalam peperangan).
Please login to comment